21

26.8K 1.6K 20
                                    

Aku terbangun pagi hari itu karena mendengar suara tawa melengking Ranran. Mataku masih terasa berat. Aku juga masih merasa lelah dan mengantuk. Akan tetapi, rasa kantuk itu lenyap seketika saat aku melirik ke arah ranjang Ranran yang kosong. Aku melonjak dari tempat tidur, bangun dengan terburu-buru karena terkejut akan ketidakhadiran Ranran di ranjangnya. Melihat pintu kamarku yang setengah terbuka membuat jantungku mau copot.

Dengan tergopoh-gopoh, aku bangkit dari ranjang dan beranjak menuju ke arah suara Ranran yang sedang tertawa. Dengan siapa ia bermain...?

Ah. Aku menyentuh dadaku, merasakan jantungku yang masih berdentum tak karuan. Kakiku lemas, kehilangan tenaga saat melihat Ranran sedang duduk di atas perut Arsen sambil memukul-mukul dadanya. Sedang Arsen, masih dalam balutan pakaianku yang terlalu ketat di tubuhnya, memegangi Ranran agar tak jatuh.

Aku lupa jika Arsen tidur di rumahku. Menyadari kedatanganku, Arsen yang masih berbaring di atas sofa menoleh padaku dengan wajah bingung. Ia langsung bangun sambil menggendong Ranran, menatapku khawatir dengan wajah penuh tanya.

"Leila, kau tampak pucat. Ada apa?"

"Oh, Tuhan!" desahku pelan. "Aku terkejut melihat Ranran tidak ada di ranjang."

"Aku tidak tahu bagaimana Ranran turun dari ranjang, tapi ia tiba-tiba sudah berada di sini dan membangunkanku," jelas Arsen.

"Aku biasa tidak mengunci pintu kamar. Ia sudah bisa menggapai grendel pintu dan membukanya sendiri," balasku sambil meringis.

Kutatap Ranran yang dengan polosnya duduk di pangkuan Arsen. Rambutnya berantakan dengan wajah khas baru bangun tidurnya yang membuatku menarik napas panjang. Mata bulatnya menatapku tanpa dosa, membuatku tidak bisa marah.

"Apa aku membuatmu ketakutan?" Arsen bersuara lagi, membuatku kini beralih kepadanya. Ia menatapku dengan ekspresi bersalah. "Maafkan aku. Aku ingin mengembalikan Ranran ke kamarnya, tapi aku takut kau akan merasa tidak nyaman jika aku masuk ke kamarmu tanpa izin."

"Tidak, lupakan saja. Aku hanya agak terkejut." Aku mengulas senyum kaku. "Oh, setelan jasmu mungkin akan selesai sebelum pukul satu siang. Aku akan meminjamkan pakaian Miro untukmu."

Arsen yang memangku Ranran terdiam. Matanya tertuju padaku dan ekspresi wajahnya mendadak berubah.

"Miro. Siapa dia?" tanya Arsen rendah. "Aku sempat mendengar namanya kemarin, tapi aku tidak menyangka jika ia adalah seorang laki-laki."

"Paman Milo! Paman Milo!" Ranran membeo ucapan Arsen yang menyebutkan nama Miro. Putraku yang masih bermuka bantal melompat-lompat di pangkuan Arsen dengan penuh semangat.

Selain Gerald, ia juga sangat menyukai Miro karena Miro sangat memanjakannya. Tingkah Ranran yang tampak antusias saat menyebutkan nama Miro membuat wajah Arsen berkerut, kelihatan masam dan tak senang. Matanya menatapku lekat, menunggu penjelasanku.

Namun, pintu rumahku yang diketuk menghentikan percakapan kami. Aku memutuskan untuk melangkah menuju pintu dan membukanya. Miro berdiri di depan pintu dengan wajah khawatir, tampak baru selesai mandi dan siap pergi bekerja.

"Leila! Kudengar dari Pak Gerald anaknya mengunjungimu. Kau baik-baik saja?" Miro mendekat kepadaku, meletakkan tangannya di atas bahuku dan mengguncang bahuku pelan. "Aku ingin menemuimu dari semalam, tapi Yuzi dan Pak Gerald melarangku. Kau tahu, aku agak khawatir jika..."

Ucapan Miro terhenti. Lelaki itu menatap ke arah belakang tubuhku. Aku ikut berbalik, menatap ke arah yang ditatap oleh Miro. Kudapati Arsen berdiri tegak di sana sambil menggendong Ranran, dengan tubuh dibalut pakaianku yang kekecilan. Wajah Miro kelihatan aneh saat ia melihat sosok Arsen dalam balutan pakaianku, tapi ia langsung menutup mulut, memasang wajah seakan tak enak karena baru saja mengatakan sesuatu soal lelaki itu.

Fault in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang