5

28.3K 1.8K 67
                                    

"Kau seharusnya menghentikanku semalam, Leila."

Arsen meletakkan kompres di keningku. Wajahnya tampak khawatir. Lelaki itu sudah rapi, siap berangkat ke kantor, tetapi mengurungkan niatnya saat menyadari kondisi tubuhku yang panas.

Aku terbaring di ranjang, masih mengenakan pakaian tidur yang dipakaikan oleh Arsen semalam. Tubuhku lemas dan memang aku merasa panas. Kuamati Arsen yang dengan penuh perhatian memeriksa kondisiku. Senyum tipis terkembang di bibirku, sedang tanganku terulur untuk menggenggam tangan Arsen yang sedang menyentuh wajahku.

"Sebaiknya kau segera berangkat. Nanti kau terlambat," kataku halus.

Arsen membalas genggaman tanganku, menggunakan tangannya yang bebas untuk mencubit pipiku agak kuat.

"Apa hanya itu yang bisa kau katakan? Aku mengkhawatirkanmu, Leila!" omelnya membuatku terkekeh.

Jika Arsen bersikap seperti ini, aku merasa seolah dicintai. Walau aku tahu, ia melakukannya karena merasa bertanggung jawab atas diriku.

"Aku membelikan setelan jas baru buatmu. Ada di ruang cuci karena aku mencucinya sendiri kemarin. Kau sudah lihat?" tanyaku membuat kening Arsen berkerut. Reaksinya menunjukkan bahwa ia belum memeriksa ruang cuci.

"Apa kau membeli yang lain?" balasnya.

"Aku beli dasi untukmu." Aku tersenyum.

"Bagaimana dengan dirimu?" tanyanya sambil menatapku lekat.

"Aku menikmati jalan-jalanku, juga spa-nya. Terima kasih sudah mereservasikan tempat spa itu buatku," jawabku, mengeratkan genggamanku di tangannya.

"Leila..." Arsen membuka mulut, kelihatan siap mengomeliku.

Aku langsung menatapnya memelas, membuat lelaki itu menghela napas dan menggeleng lemah.

"Aku tidak bisa mengomel jika kau menatapku begitu," desahnya dengan nada menyerah.

Aku tersenyum, menatap jemarinya yang bertaut dengan jemariku. Kemudian, aku teringat jika Arsen pergi ke toko perhiasan dengan Helena Baldwin di hari yang sama. Aku tidak tahu apakah Arsen sudah melihat berita yang beredar di internet karena aku tidak melihatnya menyentuh ponsel sejak kemarin. Namun, aku berasumsi jika ia memang sudah tahu mengenai berita itu karena ia melarangku menyentuh ponselku sejak semalam.

"Ngomong-ngomong, apa kau pergi ke toko perhiasan dengan Helena Baldwin?" tanyaku pelan sambil memainkan jari Arsen dalam genggamanku.

Hening sesaat. Arsen tidak langsung menjawabku. Namun, ia kemudian tersenyum dan mengelus wajahku lagi.

"Aku tidak bertemu dengannya."

Mataku menatap Arsen lekat. Genggamanku pada tangannya melemah. Aku masih belum mau melepaskan tatapanku darinya, sehingga aku terus menunggu sambil mengamati raut wajahnya. Tidak ada sedikit pun perubahan ekspresi di wajah Arsen. Ia kelihatan sangat tenang, seolah yang diucapkannya adalah kebenaran.

Hatiku langsung nyeri sejadi-jadinya. Arsen membohongiku. Kulepaskan genggamanku darinya.

"Aku melihat beritanya kemarin," bisikku pelan. "Kau pergi ke toko perhiasan dan restoran bersama dengannya."

"Berita apa?" ujar Arsen dengan nada bertanya, menautkan alisnya dan menatapku dengan wajah serius. "Tidak ada berita apa pun tentangku dan Helena."

Aku menarik napas panjang. "Tidak perlu berbohong. Aku sudah melihatnya."

Hening lagi. Aku dan Arsen saling bertatapan, tapi tidak ada kata yang terucap di antara kami. Ekspresinya perlahan berubah. Bukan rasa bersalah yang kulihat di wajahnya. Alih-alih, ia kelihatan jengkel. Gantian Arsen yang mengembuskan napas kasar kali ini.

"Aku sudah meminta Dannisa untuk mengurus artikel murahan itu, tapi ternyata ia kalah cepat darimu," gumamnya.

Dannisa bukannya kalah cepat, tapi sebelum artikel itu keluar, aku sudah tahu dirinya pergi ke toko perhiasan dengan Helena Baldwin. Arsen masih mengamatiku yang terdiam dan menunggunya. Namun, lelakiku masih belum membuka mulut untuk memberiku penjelasan. Aku menelan ludah kasar, merasa sedih, takut dan resah.

Jika Arsen akhirnya melabuhkan hati untuk Helena Baldwin, bagaimana denganku? Apakah ia akan membuangku?

Arsen kembali mengelus wajahku lembut. Sikapnya masih sama seperti biasa. Aku tidak melihatnya bertingkah seakan ia segera membuangku. Akan tetapi, aku juga tidak bisa membaca pikirannya. Aku tidak tahu bagaimana tentang perasaannya untuk Helena Baldwin. Yang kubutuhkan hanyalah penjelasan dari Arsen.

"Jangan khawatirkan itu," katanya seraya menunduk untuk mengecup keningku. "Meski aku bertemu dengan Helena, tidak akan ada yang terjadi di antara kita."

"Apa ayahmu mencoba menjodohkan kalian? Apa ia benar-benar serius dengan keinginannya kali ini?" tanyaku pelan.

Arsen tidak menjawab. Ia menggenggam tanganku lagi, menatapku lekat tanpa memberi kepastian.

"Tidak akan ada yang berubah, Leila. Seperti biasanya, abaikan saja rumor itu." Ia mengecup tanganku satu kali. "Aku berjanji, tidak akan ada yang berubah dalam hubungan kita."

Jika ia berjanji bahwa tidak akan ada yang berubah dalam hubungan kami, apakah itu menandakan bahwa ia tak akan pernah tumbuh perasaan untukku yang mencintainya? Rasa hampa menyergap relung hatiku. Mataku sedikit panas dan berair.

"Apa artinya aku bagimu, Arsen?" bisikku lirih dengan suara bergetar.

Lama Arsen tidak menjawab pertanyaanku. Manik cokelatnya tertuju kepadaku dengan ekspresi wajah yang tak bisa kuartikan. Hatiku semakin tercabik selama aku menunggu jawaban dari Arsen. Apakah butuh waktu baginya untuk tahu apa arti diriku? Apa ia harus memikirkannya lebih dahulu, baru bisa menentukan seperti apa arti diriku baginya?

"Kau kekasihku."

Benar, aku kekasihnya, tetapi ia sudah terlambat. Hatiku sudah terlanjur perih. Air mata berkumpul di satu titik mataku, memaksa keluar padahal aku tidak mengizinkan. Aku menarik napas panjang, menarik lepas tanganku dari genggamannya.

"Pergilah bekerja Arsen," kataku parau. "Kau sudah terlambat."

Arsen lagi-lagi diam sambil menatapku lekat. Ia tidak mengiyakan atau menolak ucapanku. Barulah beberapa saat kemudian ia bersuara.

"Aku akan minta asisten rumah tangga kita datang lebih awal untuk menjagamu," ujarnya.

Lelaki itu beranjak bangun dari sisi tempat tidur. Aku diam, menatapnya yang bersiap untuk pergi. Bibirku terbuka, mengucapkan sebuah kalimat yang jarang kukatakan karena aku tak pernah mendapat balasan.

"Hati-hati, aku mencintaimu."

Kalimat yang kuucapkan hanyalah sebuah kalimat normal yang biasa diucapkan oleh sepasang kekasih yang saling mencintai. Dan biasanya, ucapan seperti itu akan mendapat balasan seperti, aku juga mencintaimu. Alih-alih, yang kudapatkan hanyalah senyum tipis dari Arsen dan sebuah kecupan di kening.

"Terima kasih," jawabnya rendah dengan halus.

Benar. Inilah kalimat balasan yang selalu kuterima dari Arsen setiap aku memberitahu bahwa aku mencintainya. Sebuah ungkapan terima kasih. Mataku semakin panas dan berair, tapi kupaksakan seulas senyum di bibirku. Kuamatai Arsen yang berbalik meninggalkanku, menyisakan aroma nilam dan cendana dari parfum yang ia kenakan di kamar kami.

Air mataku langsung menetes deras di wajahku begitu pintu ditutup. Dadaku sesak, tenggorokanku tercekat dan leherku bagai tercekik karena isakan yang kutahan. Aku menangis dalam diam, merasa sakit karena cinta yang kurasakan. Begitu besar cinta dan kasih sayangku untuk Arsen, sehingga sakit yang kuderita karenanya semakin nyeri. Apakah aku salah mencintai Arsen? Apakah aku tidak seharusnya mencintai lelaki itu?

Aku akhirnya menghabiskan sepanjang pagi menangisi Arsen, menangisi hatiku yang retak dan menangisi perpisahan yang entah kenapa terasa sudah tiba di depan mata.

Fault in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang