4

27.1K 1.7K 32
                                    

Arsen memberitahuku lewat telepon bahwa ia tak bisa pulang karena harus lembur. Juga, ia harus menyelesaikan masalah di salah satu pabrik yang terletak di Torgard. Jarak Edorra dan Torgard hanya membutuhkan satu jam perjalanan dengan naik mobil. Namun, karena masalah yang terjadi di sana cukup serius, Arsen harus lembur dan menginap di sana selama satu hari.

Aku menghabiskan malam sendirian. Kamar dan ranjang Arsen terlalu besar untuk kutempati sendiri, makanya aku selalu tak bisa tidur jika ia tak ada di sini. Malam ini pun, aku merasakan hal yang sama. Selain tak bisa tidur karena kesepian, aku juga tak bisa tidur karena memikirkan alasan kenapa Arsen bersama dengan Helena Baldwin di toko perhiasan itu tadi siang.

Puluhan kali aku membolak-balikkan tubuhku di atas kasur, memejamkan mata agar bisa tertidur tapi kantuk tak kunjung datang. Mataku membuka, menatap langit-langit kamar yang hanya remang diterangi cahaya lampu tidur. Kemudian, pandanganku beralih ke arah tas karton tebal yang di dalamnya terdapat setelan jas untuk Arsen yang kubeli tadi siang. Tas karton itu masih belum kusentuh, sengaja kuletakkan di atas meja rias dengan tujuan ingin segera menunjukkannya kepada Arsen. Ternyata, ia tidak pulang malam ini.

Aku menegakkan tubuh, menyalakan lampu di meja dan melirik jam dinding di kamar. Pukul setengah dua dinihari. Aku menarik napas panjang, memutuskan untuk meraih ponselku dan memeriksa notifikasi. Tidak ada notifikasi apa pun di layar ponselku. Akhirnya, kubuka sosmedku, berselancar di sana untuk melihat-lihat berita terbaru. Karena masih pukul dua dinihari, kebanyakan yang kutemukan di sosmedku hanyalah foto-foto pemandangan alam atau foto satwa-satwa liar eksotis yang hampir punah.

Beberapa kali aku mencoba memperbarui laman sosmedku, sampai akhirnya aku menemukan sebuah berita tentang Helena Baldwin. Kali ini, foto yang digunakan di berita tentang Helena adalah foto sepasang lelaki dan perempuan yang berdiri memunggungi kamera. Dari latarnya, kedua orang itu sedang berada di sebuah toko perhiasan. Ada beberapa tangkapan kamera yang menunjukkan keakraban keduanya.

Aku menggigit bibir. Itu adalah foto Helena bersama dengan Arsen yang diambil di Mal Halton tadi siang. Isi beritanya pun melaporkan bahwa keduanya tertangkap tidak hanya pergi ke toko perhiasan, tetapi juga sempat makan siang bersama di sebuah restoran fine dining eksklusif yang tidak memperbolehkan juru kamera masuk. Dadaku sesak hanya dengan membaca berita itu. Kuputuskan untuk mematikan ponsel dan berhenti mencari-cari berita tentang Helena.

Aku menggeleng pelan, menepuk wajahku beberapa kali sambil menarik napas berulang kali. Kucoba untuk menghilangkan prasangka yang kumiliki pada Arsen, tapi prasangka yang tertanam dalam hatiku tak kunjung pergi. Akhirnya, aku bangkit dari ranjang, mendekat ke arah meja rias dan membuka tas karton yang kuabaikan sejak siang.

Kuputuskan untuk membawa setelan jas Arsen ke ruang cuci, mencucinya dengan hati-hati dinihari itu dan menggantungnya di ruang cuci. Tanganku membeku karena kedinginan, wajar karena aku adalah orang gila yang memutuskan untuk mencuci dinihari begini di tengah musim gugur. Walau begitu, aku merasa agak puas melihat setelan jas yang kubeli tergantung rapi dalam keadaan wangi di ruang cuci. Aroma pelembut pakaian yang kugunakan tercium di hidung.

Mataku terasa sedikit perih karena lelah. Kuamati setelan jas itu, sambil membayangkan betapa gagah Arsen saat ia mengenakannya. Namun, dalam bayanganku, Helena juga ada di sana, berdiri di sebalah Arsen yang tampak gagah dan kelihatan serasi untuknya. Aku tidak bisa menahan air mataku.

Tanpa kata, pipiku basah oleh air mata. Sedang dadaku sesak dan aku merasakan tubuhku langsung lemas. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dari berita yang kulihat beberapa saat lalu. Aku mencoba untuk tidak memikirkannya. Aku juga berusaha untuk meyakini Arsen yang tidak pernah mendustaiku. Namun, hatiku terus mengkhianatiku yang sudah berusaha.

Di dalam sana, ia berteriak kepadaku, memberontak karena cemburu dan memintaku agar berhenti mempercayai Arsen. Seakan ia memberitahuku, tidak peduli sebesar apa pun aku mempercayai Arsen, aku tetap akan dibohongi dan terluka. Aku berjongkok di tengah ruang cuci, memeluk lututku sambil terisak. Entah kenapa firasatku memberitahuku untuk tidak merasa aman. Intuisiku mencecarku agar waspada. Kali ini, seluruh indraku bagai memberi petunjuk bahwa aku akan terluka dan ini akan jadi yang terakhir.

Aku takut dan cemas. Jika bukan bersama Arsen, maka dengan siapa hidupku ini kuhabiskan? Aku tidak punya siapa-siapa, hanya Arsen. Jika ia pun pergi, maka aku pun akan kehilangan duniaku.

Aku menangis selama berjam-jam di ruang cuci, tertidur di sana sampai pagi menjelang karena lelah menangis. Kudapati tubuhku sakit dan nyeri karena tertidur di sana. Tidak hanya itu, aku juga merasa sedikit demam.

Aku tidak berselera makan sepanjang hari itu, sampai Arsen pulang ke rumah. Ia tampak kelelahan dan berantakan. Namun, aku menyambutnya penuh kehangatan begitu melihat wajahnya.

"Kau sudah makan?" tanyaku, tersenyum sambil memeluknya.

Arsen melepaskan pelukanku. Kulihat, wajahnya yang lelah berkerut. Telapak tangannya menyentuh keningku, kemudian ia mengusap wajahku.

"Badanmu panas, matamu juga agak sembap. Kau sakit?" balasnya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Aku baik-baik saja," sahutku masih tersenyum.

Namun, Arsen menggeleng, tampak tak setuju dengan balasanku.

"Kau sakit," tukasnya menyatakan. "Kenapa? Apa jalan-jalan di luar kemarin membuatmu lelah?"

Pertanyaan Arsen membuatku menyadari jika ia belum melihat berita tentang dirinya dan Helena. Aku tersenyum hambar, menggeleng sambil memeluknya lagi. Aroma nilam dan cendana yang bercampur di tubuhnya membuatku enggan melepaskannya. Arsen membalas pelukanku, membiarkanku menempel padanya seperti bayi koala.

"Ada apa? Terjadi sesuatu?" tanyanya lagi dengan halus. "Kau tidak biasanya begini."

Arsen benar. Biasanya, aku akan membiarkan Arsen membersihkan diri dan beristirahat setelah kembali dari luar kota. Aku juga tidak akan mengganggunya, tidak peduli berapa besar rasa rinduku padanya. Meski kemudian Arsen tetap akan memelukku  sepanjang malam tidak peduli berapa kalipun kukatakan padanya untuk beristirahat.

Namun, hari ini, aku merasa tidak ingin melepasnya. Aku hanya ingin menempel padanya, dan menghabiskan setiap detik yang kami miliki bersama.

"Leila..." Arsen memanggilku lembut, menguraikan pelukan kami dan menatap mataku lekat penuh tanya.

Aku merasa ingin menangis saat membalas tatapannya. Dadaku sesak karena perasaan yang meluap-luap. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan dan juga kutanyakan pada Arsen. Namun, yang bisa kukatakan hanyalah rasa rinduku.

"Aku merindukanmu."

Lelakiku tersenyum. Ia mengecup keningku lama, mengusap pipiku lembut usai melepaskan kecupannya di kening.

"Aku juga, tapi bisakah kau membiarkanku membersihkan diri sebentar?" pintanya halus.

Aku melangkah mundur, menatap Arsen dengan perasaan sedikit menyesal karena menempelinya yang lelah.

"Kubuatkan makan malam, ya?" tawarku, bersiap menuju dapur.

Namun, Arsen menggeleng. "Aku akan memesan makanan dari luar. Kau sebaiknya istirahat karena tubuhmu agak demam."

"Aku baik-baik saja."

"Leila," tegur Arsen. "Istirahatlah. Aku suka masakanmu, tapi aku tidak suka jika kau bekerja dalam kondisi seperti ini."

Aku terdiam, terpaksa menurut dan mengekorinya ke kamar. Sementara Arsen mandi, aku berbaring di ranjang, menunggunya keluar dari kamar mandi. Niat Arsen untuk memesan makanan dari luar tak terlaksana.

Segera usai ia membersihkan diri, ia sudah mulai mencium bibirku, menggerayangi tubuhku dan mulai menanggalkan pakaianku. Pembicaraan soal makan malam langsung terlupakan. Arsen memberiku kesempatan untuk melepas rindu padanya. Ia juga habis-habisan membuatku menjerit lebih nyaring dari biasanya.

Lelaki itu menyuruhku beristirahat karena tubuhku yang sedikit demam, tapi ia jugalah yang menjadi penyebab demamku bertambah parah keesokan harinya.

Fault in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang