***
Cermin memantulkan bayangan Raline yang berdiri tegap. Setelan seragam putih dan abu-abu melekat pada tubuhnya. Hari ini, Raline akan kembali masuk sekolah, setelah gadis itu izin selama 2 hari.Gadis itu mengambil ransel merah muda dengan motif floral. Kemudian menggendong ransel itu di punggungnya. Raline membuka kenop pintu, bersiap menyambut dunia sekolah yang pasti sangat sialan.
"Raline." Langkah gadis itu terhenti ketika mendengar seseorang memanggilnya. Raline berbalik badan, mendapati bundanya yang tengah menatapnya nyalang.
"Jangan jadiin penyakit kamu sebagai alasan kamu susah konsentrasi. Pastiin kamu bisa jadi kayak kakak kamu, Cecilia. Saya nggak mau peduli lagi dengan penyakit kamu. Ngerepotin. Kamu emang bisanya cuman ngerepotin hidup saya aja,"
Raline menghembuskan napasnya dengan kasar. Ayolah, ia sedang tidak mau berdebat.
"Terserah bunda aja. Aku tau aku ngerepotin. Dan maaf karena udah lahir dan bikin bunda repot," jawab Raline ketus.
Gadis itu berjalan menjauh dari kedua orangtuanya. Tak mengindahkan tatapan menghakimi yang kedua orangtuanya berikan.
Saat membuka kenop pintu apartemen, ia dikagetkan dengan kehadiran entitas tidak dikenal.
Ah, tidak, Raline mengenalnya. Entitas itu adalah Aster dengan senyumnya yang menjengkelkan. Pemuda itu berdiri dan melambaikan tangan kearahnya. "Hai," kata pemuda itu.
Raline merotasikan bola matanya. "Lo ngapain kesini! Kurang kerjaan banget,"
Mata Aster melotot seram. "Gue disuruh nyokap gue, cok. Gue juga ogah kesini, to be honest,"
Belum sempat Raline menjawab dengan kalimat cercaan, Aster sudah menarik pergelangan tangannya. Mereka berlari di lorong apartemen. Mengejar waktu yang tinggal tiga puluh menit lagi hingga bel berbunyi nyaring.
"Lagian nyokap lo kenapa nyuruh-nyuruh mulu sih? Gue bukan bayi, gue bisa kali jalan sendiri." Raline melepaskan tautan tangannya dengan Aster. Seakan jijik, Raline segera mengelap tangannya dengan tisu basah.
"Sombong amat lo, dielap segala," protes Aster tak terima. Memangnya ia semenjijikan itu apa?
"Berisik lo. Udah jawab dulu, motif nyokap lo nyuruh lo jemput gue tuh apa?" tanya Raline penasaran. Masalahnya, setahu Raline, orangtua Aster dan Raline tidak begitu dekat. Mengapa sekarang Raline diperlakukan bak ratu oleh orangtuanya Aster?
Aster bergerak gelisah. Netranya tidak berani menatap gadis di hadapannya itu. "Aduh, gue nggak enak nih tapi ngomongnya...."
"Jawab aja sih, ribet!" kata Raline dengan kesal. Padahal masih pagi, kesabarannya sudah diuji.
Aster menatap Raline yang dilanda penasaran. Hingga akhirnya pemuda itu membuka suara, dengan ragu.
"Kata nyokap gue, hubungan keluarga lo kurang bagus. Apa ya istilahnya? Broken home kalo nggak salah. Nyokap gue kasihan sama lo, jadinya nyuruh gue buat ngejemput lo mulu,"
Ah, ternyata begitu.
"Maaf kalo menyinggung." Aster membungkukkan badannya sembilan puluh derajat. Tanda ia sangat meminta maaf.
Tawa Raline mengudara ditengah dadanya yang terasa ngilu. Tawa yang terdengar begitu canggung dan dipaksa. "Gakpapa,"
Aster kembali menegakkan badannya. Kemudian pemuda itu melangkah lebih dulu, meninggalkan Raline yang masih termangu.
"Ra, kalau gue boleh tanya, alesan lo ngerundung Olive tuh apa, sih?" ujar pemuda itu sambil terus berjalan. Mata pemuda itu menelisik daerah sekitar yang tampak asri, terlalu larut dengan kegiatannya, hingga tidak sadar Raline sudah berdiri di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭
Fanfiction"Gue juga sakit," lirih Raline pada insan yang ia anggap sebagai semesta. Berharap insan itu mengasihani, lalu segera mendekapnya dalam sunyi. Nihil, semuanya tidak sesuai ekspektasi. Insan itu berbalik, tersenyum timpang ke arahnya. "Olive lebih s...