***Arloji di pergelangan tangan Raline berdetak keras. Raline menelisik dalam-dalam, sekarang sudah jam setengah tujuh. Waktu masuk ke sekolah masih dua puluh menit lagi. Tanpa sadar, gadis itu membentuk kurva senyum. Ia membuka pintu kamar dengan apik. Mengintip meja makan, apa ada sepotong kue untuknya hari ini?
Setelahnya, senyum di wajah gadis itu pudar. Sama sekali tidak ada makanan. Kue yang ia harap-harap tidak terpampang. Raline termangu sesaat, apa mereka lupa hari ini aku bertambah usia?
Kemungkinan yang sangat pasti. Toh, memangnya Raline pernah dianggap? Salah Raline juga terlalu berharap. Iya, ini salahku, tidak perlu menyalahkan orang lain.
Gadis itu menatap meja makan yang kosong. Mungkin saja, sang bunda sedang ada agenda ke luar kota (seperti bulan-bulan sebelumnya), dan sang ayah tengah sibuk dengan segala tetek bengek perkantoran. Bisa dibilang, ia sendiri lagi di apartemen.
Raline bisa mewajarkan, kok. Gadis itu tidak pernah sedikitpun kecewa dengan orangtuanya. Namun, hari ini nampaknya berbeda. Ia mengharapkan sesuatu yang spesial pada hari ulang tahunnya.
Persetan, gadis itu tidak mau peduli lagi. Lebih baik ia segera pergi ke sekolah.
Pintu apartemen terbuka. Raline melihat seorang pemuda, mengenakan seragam yang sama seperti seragamnya, dengan tinggi badan yang fantastis, tengah membelakanginya. Penasaran, Raline memanggil pemuda itu. “Halo, siapa ya?”
Pemuda itu tampak terlonjak kaget, dia dengan refleks membalikkan badannya. Pemuda itu semakin kaget ketika melihat siapa yang ada di hadapannya.
“Raline!?, hah, RALINE!?”
Raline mengernyit heran. Tingkah pemuda itu sebelas-duabelas dengan anak spesial. Duh, dia ini siapa sih?
“Lo siapa, ngapain di sini?” tanya Raline gusar. Giginya bergemelatuk dengan sangar. Ayolah! Harinya sudah sangat buruk. Dengan munculnya pemuda anonim ini, membuat harinya semakin buruk.
Pemuda itu menetralkan napasnya sejenak. Ia menatap netra Raline dalam-dalam, membuat yang ditatap sedemikian rupa sedikit gugup.
“Line, gue disuruh sama nyokap gue buat ngejemput anak temennya. Kata nyokap gue, dia satu sekolah sama gue. Tapi nyokap gue nggak ngasih tau namanya! Nyokap gue bilang dia tinggal di apartemen. So, gue kesini, sesuai sama alamat yang nyokap gue kasih—” kalimatnya menggantung di udara, Raline semakin penasaran.
“—kata nyokap gue juga ... Anaknya cewek, cantik, terus sopan. Dia beneran tinggal di sini, Line! Lo tinggal sama someone gitu? Apa gue salah alamat?”
Raline termangu sejenak.
“Nama temen nyokap lo siapa?” tanya Raline setelahnya.
Pemuda itu berseru dengan nyaring, “LAVINIA TERESSA!”
Raline menutup mulutnya dengan mata membulat sempurna. “Itu nama nyokap gue, please,”
Pemuda itu menatap Raline dengan tak percaya. “Lo, anaknya temen nyokap gue?”
“Perhaps,” jawab Raline sekenanya.
“Anyways, who are you? At least tell me your name or some information like that.” Raline melangkah lebih dulu, meninggalkan pemuda itu yang masih berusaha mencerna segalanya.
“Me? Aster Emerald. Olive Renderic's best friend,” kata Aster, diakhiri dengan seringai.
Raline menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik arah. “Olive Renderic? Same class as you?”
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭
Fiksi Penggemar"Gue juga sakit," lirih Raline pada insan yang ia anggap sebagai semesta. Berharap insan itu mengasihani, lalu segera mendekapnya dalam sunyi. Nihil, semuanya tidak sesuai ekspektasi. Insan itu berbalik, tersenyum timpang ke arahnya. "Olive lebih s...