***
Desas-desus bagaikan santapan sehari-hari di menfess sekolah. Namun agaknya, desas-desus yang kali ini terlalu menggemparkan. Menfess tersebut menunjukkan video berdurasi singkat, di mana Raline tengah mendorong tubuh Olive, lalu berteriak kasar kepadanya. Tepat jam 5 sore, di taman kejora. Sender juga mengatakan, bahwa setelah itu, masih banyak hal keji yang dilakukan Raline, namun tidak tertangkap kamera.
Dan di hari yang sama, Olive menghilang entah kemana.
Sender semakin memprovokasi dengan mengatakan, bahwasanya Raline adalah orang terakhir yang Olive temui pada hari itu. Sehingga banyak yang berasumsi, Raline adalah sebab dari menghilangnya Olive. Meskipun yang bersangkutan belum memberi kejelasan, namun semua orang sudah yakin akan asumsinya. Toh, sekali lagi, nama Raline sudah terlanjur buruk. Susah juga jika ingin diperbaiki.
Pasti semua orang percaya, bahwa Raline adalah pelakunya.
Sedangkan Raline yang sedari kemarin belum membuka menfess, masih bisa berjalan santai di koridor sekolah. Padahal, kentara sekali banyak yang menggunjinginya. Banyak yang menatap jijik ke arahnya, bahkan menutup hidungnya saat Raline mulai mendekat. Raline kesal, jujur. Ada apa sebenarnya?
“AH!” Tasnya tiba-tiba ditarik dari belakang, dan, Sabrina yang menariknya. Raline menjinjit, berusaha mengambil tas yang Sabrina bawa setinggi mungkin, “Lo ngapain sih? Balikin sialan! Gue nggak ada salah sama lo.”
Sabrina menaikkan sebelah alisnya, mulutnya tersenyum timpang. Ia menatap Raline lamat-lamat, seraya membisikkan sesuatu di telinganya, “Tapi lo yang udah buat Olive menghilang, iya kan?”
Raline tentu tak mengerti, sontak ia menggeleng cepat, “Hilang? Apaansih, enggak. Emangnya Olive hilang kemana? Dia kan—”
“Nggak usah sok polos! Itu bisa ditindak hukum, penculikan itu termasuk kejahatan fatal. Dan emang bener, lo yang paling jahat di antara kita. Lo manusia yang paling banyak dosa, pantes masuk neraka! Kasih tau gue, di mana Olive!?” Sabrina mendorong tubuh Raline lumayan keras, hingga Raline terhuyung ke belakang. Padahal, banyak siswa-siswi di lorong yang melihat aksi tersebut. Namun mereka enggan ringan tangan untuk Raline. Mereka pikir, sudah sepantasnya Raline mendapat itu. Sabrina menatap Raline dengan wajah memerah, penuh amarah. Raline menunduk, merasa diintimidasi. Namun dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia kembali mendekat. Mencengkeram kuat bahu Sabrina yang selama ini merundungnya.
“Gue nggak ngerti, sumpah. Tolong jelasin dulu. Gue nggak pernah nyulik orang, buat apaan coba? Tolong, jelasin, kenapa lo bisa mikir kalau gue nyulik Olive?” tanya Raline penuh keheranan. Sedangkan Sabrina lagi-lagi terkekeh, merasa Raline sedang berpura-pura lupa.
“Yang pertama, lo adalah orang terakhir yang nemuin Olive di taman kejora, di hari Jum'at, tanggal 22. Olive nggak ketemu sama orang lagi habis itu. Dan ada video di base yang ngasih bukti, di mana lo sama Olive lagi berantem besar. Dan temennya Olive, Laluna, dia nggak nemuin Olive di rumahnya pada hari Sabtu dan Minggu. Dia juga bilang, kalau penyakit jantung mamanya Olive kambuh, karena Olive nggak pulang dua hari. Itu semua gara-gara lo, Ra. Pasti lo yang sembunyiin dia! Semua orang yakin, dan lo nggak bisa ngelak. Buktinya juga udah kuat.” Sabrina senyum penuh kemenangan. Sementara Raline, badannya gemetar, matanya membola, bahkan pelupuknya sudah digenangi air. Ia tidak menyangka, dirinya akan dijebak. Ini semua pasti rencana sialan Olive. Masalahnya, kemana dia?
“Enggak! Gue dijebak. Gue disuruh Laluna untuk ke taman kejora hari itu. Gue nggak tau buat apa, tapi—”
“HALAH BERISIK LO!” seruan dari siswa yang tak ia kenali tiba-tiba menggelegar. Banyak yang bersorak kepadanya, telinganya pengang, sangat berisik. “Keluarin aja dari sekolah! Nggak guna, malu-maluin nama sekolah doang.”
Semua orang menangguk mantap, lantas kembali bersorak kepada Raline. Yang disoraki hanya bisa menutup telinganya. Demi Tuhan, hatinya sangat ngilu. Ia sudah lelah akan semua ini, sungguh.
“Mati aja lo sana, jijik lama-lama gue ngeliat muka lo.”
“Nggak usah sok kecakepan, hati lo aja busuk gitu.”
“D.O aja dari sekolah, setuju banget gue.”
“Olive lo ilangin kemana woy!?”
“Kenapa lo nyulik Olive, Ra? Iri ya gara-gara dia pinter? Lo kan bodoh, iya nggak?”
Semua cacian itu tentu saja terdengar oleh Raline. Namun gadis itu memilih abai, walaupun sangat sulit. Ucapan mereka rasanya lebih tajam dari belati. Raline terus berari, berharap cepat sampai ke kelas. Lehernya sudah terasa sangat panas, dadanya juga kelewat sesak, apalagi lidahnya kelu, tidak mampu untuk memberi sanggahan atas segala tuduhan. Terlebih saat ia mengingat, fakta bahwa Hiraeth dan Olive resmi bertunangan. Cukup, hancur sudah masa mudanya.
Raline akhirnya tak lagi menahan tangisnya. Pecah, begitu saja. Ia tidak mau memendam rasa sakit terlalu lama.
Karena tidak fokus, tubuhnya bertabrakan dengan seseorang. Saat Raline mengadah, ia mendapati Aster menatapnya dingin. Raline buru-buru mengelap air matanya, juga meredakan tangisnya, “As? Lo udah tau ya?”
Aster lantas mengangguk.
“Lo nggak percaya, kan?” tanya Raline penuh harap. Dalam benaknya, ia yakin Aster tak akan segampang itu termakan kabar burung. Setidaknya ia masih membutuhkan Aster di sisinya saat ini. Namun hati Raline semakin berdenyut ngilu, saat ia lihat Aster menggeleng mantap.
“Kenapa? Kenapa lo nggak percaya? Tolong percaya, As. Gue nggak sehina itu.... ”
“Tapi buktinya udah jelas. Maaf, gue benci banget sama lo. Gimanapun juga, gue nggak membenarkan apa yang lo lakuin. Jangan pernah muncul dihadapan gue lagi, Raline.”
Aster berjalan gontai, menabrak bahu Raline yang rapuh. Binar Raline menatap sendu kepergian Aster. Ia kira, Aster adalah orang yang akan berada di sisinya. Namun dugaannya salah. Itu artinya dia sendirian, tidak punya seorangpun untuk dipeluk kala butuh. Hiraeth? Ah, jangan bercanda. Dia pasti tidak akan percaya padanya.
Raline terlalu tenggelam pada lamunannya. Hingga tak sadar, seseorang memperhatikannya dari belakang. Lalu dengan amarah yang meletup-letup, orang itu mendorong tubuh Raline hingga sang empu jatuh ke lantai. Raline meringis, namun tetap berusaha menengok ke belakang, melihat siapa pelakunya.
"Hiraeth?” kata Raline takut-takut, melihat wajah Hiraeth yang sudah memerah sempurna.
“DI MANA OLIVE!? BALIKIN TUNANGAN GUE!” Hiraeth mencengkeram kerah seragam Raline dengan kasar. Raline kembali menitikan air matanya, ia menggeleng ribut. Demi Tuhan, ia tidak tahu apa-apa. Sungguh, Raline tidak mungkin melakukan hal sekeji itu.
“Bukan gue, tolong percaya. Gue nggak sejahat itu.”
Hiraeth enggan mendengarkan. Pipi mulus Raline ia berikan satu tamparan. Semua orang yang ada di koridor menatap naas, namun enggan membantu. Hiraeth mencengkeram kerah baju Raline semakin kuat, lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Raline, hanya tersisa jarak satu senti meter di antara keduanya, “DI MANA OLIVE, SIALAN!?” katanya dengan nada yang semakin tinggi. Raline lagi-lagi menggeleng, dengan tangisnya yang semakin pecah.
“BUKAN GUE! KENAPA SIH LO NGGAK PERCAYA!?” dengan mata sembab nan memerah, Raline berujar penuh emosi. Tubuhnya gemetar, kepalanya juga pening karena dibentak sebegitunya. Dirinya hanya bisa mengeluarkan tangis. Membuatnya terkesan lemah di hadapan banyak insan. Raline malu, demi Tuhan.
“Lo.” Raline menunjuk Hiraeth.
“Lo lebih percaya sama Olive yang baru lo temuin, ketimbang gue, sahabat lo dari kecil?”
Satu tamparan kembali mendarat di pipi Raline. Gadis itu meringis sakit, namun Hiraeth tetap abai. “Iya. Olive jelas anak baik-baik, nggak kayak lo.”
Raline mengangguk seraya terkekeh. Dengan tenaga yang ia kumpulkan, tubuh Hiraeth ia dorong ke belakang. Kepala Hiraeth terbentur permukaan lantai yang dingin. Semua orang di koridor terkejut, lantas segera mengerubungi Hiraeth yang tampak kesakitan. Raline menghembuskan napasnya berat. Ia bangkit dari duduknya, lalu memfokuskan langkahnya ke kelas. Tidak mempedulikan Hiraeth yang menatapnya nyalang.
Kenapa kepala gue pusing, ya?
***
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭
Fanfic"Gue juga sakit," lirih Raline pada insan yang ia anggap sebagai semesta. Berharap insan itu mengasihani, lalu segera mendekapnya dalam sunyi. Nihil, semuanya tidak sesuai ekspektasi. Insan itu berbalik, tersenyum timpang ke arahnya. "Olive lebih s...