***
Kaki jenjang Olive menaiki anak tangga tertatih-tatih. Degup jantungnya menggila, rasa antusiasnya sangat meledak. Hingga kurva senyumnya terlihat mengembang cantik. Matanya membola saat ia menemukan insan yang dicari-cari.
Sementara di seberang, Laluna menatap Olive dengan heran. Namun, sekadar formalitas belaka, Laluna menyapa Olive lebih dulu, "Ada apa, Live?" katanya dengan senyum yang ia paksakan.
Olive enggan membalas sapaan barusan. Tak menunggu lama, lengan Laluna ia tarik. Laluna ia tuntun menyusuri lorong, menuju gudang sekolah yang sudah lawas. Tempatnya berdebu, laba-laba membuat sarangnya secara sembrono, mayat-mayat kecoak berserakan di lantai. Laluna mau muntah rasanya. Untuk apa Olive membawanya ke tempat seperti ini?
"Ada apa sih, Live?" kernyitan tak suka terpampang di dahi Laluna. Gadis itu terus menutup hidungnya menggunakan tangan.
Olive memperhatikan gudang itu lamat-lamat. Memastikan tidak ada kamera yang mengintai mereka. Dirasa aman, pintu gudang yang sudah seret itu ia tutup. Olive merogoh sakunya, lantas mengeluarkan kunci gudang yang ia pinta pada Hiraeth. Laluna mengernyit heran, binar matanya menatap Olive penuh pertanyaan. Namun, saat Olive berbalik, gadis itu tak langsung memberikan penjelasan.
"Lo ngapain, Live? Aneh banget...."
Suara tawa Olive menggelora. Getaran tawanya dipantulkan oleh dinding gudang yang sempit. Tawanya reda, namun, seringai Olive enggan beranjak dari wajahnya. Tak ada lagi tatapan polos di binar mata Olive. Laluna tak percaya, ia bagaikan melihat sosok antagonis di novel yang sering ia baca.
"A-ada apa?" dengan gugup, Laluna kembali bertanya. Tangannya ia kepalkan guna menahan gemetar. Tangisnya ia tahan, rasa takutnya membuncah saat ini. Berkali-kali Laluna meyakinkan dirinya sendiri, Olive tak akan melakukan sesuatu yang laknat.
Namun, semua rasa yakin itu kandas, kala Olive mencengkeram kuat bahu Laluna. Tatapan mata Olive tajam, mengintimidasi Laluna dibawah kungkungannya. Laluna menitikan air matanya, hatinya terus-terusan merapalkan doa.
Suara Olive terdengar mendayu berat, tepat di telinga Laluna ia berbisik.
"Tolong bantu saya, Lun."
***
Raline menduduki kursinya yang jelek; dihiasi oleh coretan abstrak, kata-kata cacian, dan gambar tak senonoh. Jijik memang, ingin rasanya kursi itu ia banting. Namun Raline masih punya akal sehat. Sehingga keinginannya untuk membanting kursi ia tepis jauh-jauh.
Matanya berkelana, menatap seisi kelas lamat-lamat. Ia menghembuskan napas lega, bersyukur karena perundungnya belum datang memasuki kelas. Ia masih memiliki waktu beberapa menit untuk bersantai. Sebelum akhirnya, ia kembali dianiaya.
Belum sempat mata Raline terpejam, telinganya kembali menangkap suara gebrakan meja. Raline mendongak, ingin marah karena telah mengganggu waktu santainya. Namun marahnya buru-buru ia urungkan. Karena ternyata, yang menggebrak mejanya adalah gadis paling pendiam di kelas. Gadis itu menatapnya takut-takut, maniknya gemetar, enggan bersitatap langsung dengan milik Raline.
Ia sedikit lega, saat mengetahui yang menggebrak mejanya barusan adalah gadis paling lugu di kelas. Dia pasti nggak berani macem-macem sama gue. Begitulah monolog Raline yang tidak ia suarakan.
Raline tersenyum, lantas bertanya pada gadis itu, "Ada apa?"
Gadis itu kebingungan. Namun dengan segera, mata polosnya ia paksa melotot tajam.
"H-hey kamu! K-kasih gue uang!" katanya dengan sok galak, nada bicaranya ia paksa meninggi. Namun, yang ada malah menimbulkan kesan kocak. Semakin tinggi nadanya, semakin gemetar suaranya. Raline mati-matian menahan gelaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭
Fanfiction"Gue juga sakit," lirih Raline pada insan yang ia anggap sebagai semesta. Berharap insan itu mengasihani, lalu segera mendekapnya dalam sunyi. Nihil, semuanya tidak sesuai ekspektasi. Insan itu berbalik, tersenyum timpang ke arahnya. "Olive lebih s...