***
Olive adalah korban dari permainan yang ia ciptakan sendiri.
Tentu, banyak yang tidak percaya akan hal itu. Selama ini, mereka menganggap bahwa Raline adalah antagonisnya. Raline adalah makhluk paling hina yang pernah mereka temui. Raline adalah manusia yang tidak manusiawi. Raline itu iblis, lalu Olive adalah malaikat kecil yang tidak bersalah. Namun faktanya sangat terbalik. Olive adalah iblis yang sebenarnya.
Olive berdiri dengan wajah tertunduk lesu. Kedua lengannya dikaitkan dengan borgol besi. Ia mengenakan pakaian yang teramat rendahan: baju penjara. Pemilik yayasan, dan kepala sekolah sedang diwawancarai. Permintaan maaf terus disampaikan oleh petinggi sekolah. Agaknya mereka khawatir SMA Nusa bangsa dicap buruk oleh masyarakat. Beberapa murid SMA Nusa Bangsa juga menghadiri polres. Mereka tentu tidak percaya, bahwa Olive, murid yang sangat pintar dan berprestasi, menjadi aib terburuk bagi sekolah.
Kamera terus menyorot Olive, terus menunjukkan wajah hina gadis itu di depan publik. Olive tentu merasa malu. Harga dirinya sudah lenyap dimakan ego.
Sementara, Emilia, Laluna, Aster, dan Kaleesha hanya bisa tersenyum semringah. Mereka melihat wajah mengenaskan Olive dari balik layar televisi. Pasalnya, hari ini, mereka belum sempat mendatangai polres. Mereka harus menjenguk Raline yang kondisinya semakin kritis.
Layar televisi rumah sakit, terus menampakkan wajah menyebalkan milik Olive. Aster sampai meninjukan tangannya ke televisi, terlampau kesal dengan gadis itu.
"Gila, gue hampir dibunuh sama dia." Aster menyeka keringat dinginnya yang membasahi pipi. Mengingat kejadian semalam, membuatnya sangat merinding.
Kaleesha menahan tawanya mati-matian. Ia paham, bahwa itu bukanlah hal yang patut untuk ditertawakan. Namun Laluna dengan kurang ajarnya malah tertawa kencang.
"Aduh, makasih ya, Aster. Kamu keren banget semalem." Emilia tersenyum manis. Gadis itu merinding, saat mengingat betapa mengerikannya suara pistol. Apalagi, nyawanya juga hampir lenyap, jika saja polisi tidak datang tepat waktu.
Aster hanya bisa mengangguk lesu. Sebenarnya, ia merasa bersalah, karena tidak berani untuk sekadar melawan Olive. Ia malah bersimpuh di hadapan gadis itu, membuatnya terlihat sangat putus asa.
"Maaf, ya. Gara-gara gue, kalian jadi kena imbasnya."
Emilia, Aster, dan Kaleesha menengok ke arah Laluna yang berseru lesu. Pelupuk mata gadis itu masih terlihat sembab. Pasti, rasa bersalah yang teramat sangat, bertengger di hatinya.
Kaleesha dengan sigap memeluk Laluna, sahabatnya. Tangannya terus menepuk pundak rapuh milik Laluna, "gakpapa, lo udah keren! Tapi inget, jangan mau kalau disuruh ngelakuin kejahatan. Lo bisa cerita ke kita, jangan dipendam sendiri."
Laluna mengangguk lemah dalam dekapan. Ia sangat menyesal. Jika saja dari awal, gadis itu tidak menerima suruhan Olive, pasti masalahnya tidak akan serumit ini. Tidak akan ada yang perlu menderita karenanya. Ia tidak akan dibebani oleh rasa bersalah.
Raline, maaf.
Entah sudah berapa kali ia mengagungkan kata itu di dalam hatinya. Sekalipun jutaan orang mengatakan "ini bukan salahmu!" kepadanya, ia tetap merasa bersalah. Raline, gadis baik yang harus menanggung banyak penderitaan. Ia tidak tega, apalagi saat melihat wajah pucat itu di depan matanya. Tangannya seperti tidak dapat pasokan denyut nadi. Ia coba goyangkan tubuh itu, menyerukan namanya, namun Raline enggan bergeming.
"Raline bakal siuman, kan?" tanya Aster ragu-ragu. Walaupun masih ada setitik harapan, namun itu sangat sedikit. Agaknya sangat mustahil untuk meraih harapan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭
Fanfic"Gue juga sakit," lirih Raline pada insan yang ia anggap sebagai semesta. Berharap insan itu mengasihani, lalu segera mendekapnya dalam sunyi. Nihil, semuanya tidak sesuai ekspektasi. Insan itu berbalik, tersenyum timpang ke arahnya. "Olive lebih s...