19. The truth

133 23 6
                                    


***

"Raline.... "

Anak semata wayang mereka berdua. Anak yang kehadirannya sempat diabaikan. Anak yang sempat mereka anggap sebagai malapetaka.

Kini, anak mereka terkapar lemah di atas ranjang. Bibirnya pucat, begitupun dengan seluruh wajahnya. Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di raga Raline. Namun, detak jantungnya masih mendengkur berisik. Urat nadinya masih menghasilkan denyut kehidupan. Masih ada secercah harapan untuk mereka berdua.

Semoga.

Sirine ambulans terdengar memedihkan. Tubuh Raline bergoyang tak seimbang di atas ranjang ambulans. Ambulans itu menyibak mobil-mobil egois di perkotaan. Ini perihal nyawa yang harus diselamatkan.

"Raline, bertahan ya, sayang?" suara sangat Ibunda terdengar lirih dan menyakitkan. Sang Ayah mengelus surai Raline dengan penuh kasih sayang. Sembari merapalkan do'a di hati mereka masing-masing. Karena mereka percaya, bahwa Tuhan tidak akan terlelap.

"Mas, kenapa ambulansnya lamban banget?" Sang Ibunda berseru frustasi. Suaminya dengan sigap mendekap tubuh istrinya, berusaha meredakan segala kekhawatiran.

"Raline anak kuat, dia bisa bertahan. Trust me."

Persetan!

Raline sekarang terbaring lemah, bak raga tak punya jiwa. Bahkan derajat tubuhnya kelewat panas. Sudah seperti setengah mayat setengah manusia. Raline tidak sekuat itu.

"Mas, Raline itu lemah. Dia nggak kuat," suara istrinya sangat serak. Air mata juga mulai membasahi pipi istrinya. Tatapan kecewa jelas tersirat di manik sang istri.

"Tapi, kita yang paksa dia buat jadi kuat."

Sepotong kalimat yang berhasil membuat hati keduanya terasa kosong.

"Mas, dia selama ini dapet sanksi sosial di sekolahnya. Dia diperlakukan berbeda, dia juga difitnah, Mas! Kalau aku jadi Raline, aku nggak bakal kuat."

Tangisan istrinya terdengar semakin menyakitkan. Dekapan keduanya semakin mengerat. Berusaha memberikan kekuatan untuk satu sama lain.

"Anak kita hebat, ya? Kita beruntung, sayang. Kita beruntung punya Raline. Kita nggak seharusnya anggap Raline sebagai malapetaka...."

Ya Tuhan, ingin rasanya mereka berdua mengulang waktu yang ada. Ingin rasanya mereka berdua melimpahkan kasih sayang untuk Raline, sebelum semuanya hancur lebur.

Bangunan megah berwarna putih langsung menyambut mereka. Mereka telah tiba di rumah sakit. Tempat yang semoga membawa keberuntungan.

"Raline, kamu bisa bertahan. Ayah yakin."

***

Aneh sekali.

Sejak memasuki koridor sekolah, bisik-bisik terdengar riuh menyebalkan. Nama Raline terus-terusan bergumam memenuhi ruangan. Memang, Raline selalu menjadi perbincangan hangat di antara warga sekolah. Namun, kali ini, ada apa lagi?

"Aneh deh, Raline udah diskors masih aja banyak yang ngomongin." Langkah Kaleesha sengaja dipelankan. Agar ia bisa mendengar perbincangan siswa-siswi mengenai Raline. Ia tidak mau ketinggalan kabar. Harus tetap update pokoknya!

"Biasa, Kal. Namanya juga orang julid." Laluna merotasikan bola matanya jengah.

Tiba-tiba, langkah Aster terhenti. Lantas langkah Laluna dan Kaleesha juga terhenti. Mereka berdua saling tatap, lalu menatap Aster penuh pertanyaan.

Ekspresi tak lazim terpampang di wajah Aster. Lelaki itu melongo; matanya membulat seram, mulutnya membentuk oval, keningnya mengerut seperti lansia.

Namun, tangannya masih memegang ponsel dengan erat. Wah, jelas, Aster baru saja mendapatkan kabar mengejutkan dari ponselnya!

If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang