22. Once upon an Olive

132 21 4
                                    

***

“Anak bodoh!”

Olive menunduk lesu, tak kuasa melihat Ayahnya yang semakin beringas. Bahkan Ibunya melihat, namun memilih tak acuh. Kakinya gemetar lemas, ia ingin menangis.

“Tidur di luar! Kalau belum dapat A+, kamu harus tidur di luar!”

Lagi-lagi, Olive hanya bisa mengangguk. Ia menuju halaman rumah. Malam ini, tidurnya akan tidak tenang. Ia harus diganggu nyamuk, juga dilingkupi hawa dingin.

Jangan memijakkan kaki di dalam rumah, jika belum menjadi yang terpintar. Itu adalah aturan tak tertulis di keluarga Renderic.

Ayahnya Olive—Patricio Renderic. Pria itu menghempaskan tubuhnya ke sofa. Pelipisnya ia pijat, seakan lelah memikul beban dunia.

“Ya ampun, kenapa Olive nggak bisa menjadi se-sempurna Cecilia?”

Ibunya Olive—Selly Renderic. Wanita itu mengalihkan atensi dari koran yang ia baca. “Mungkin karena Olive tidak tertarik di bidang musik. Makanya main pianonya payah. Kalau Cecilia, dia kan memang pasionnya di sana,” jawab wanita itu santai. Teh yang ada di meja kembali ia angkat, ia seruput lagi.

Patricio menggerutu tidak suka, “Bukan cuman di bidang musik. Olive juga payah di bidang sastra, bahasa, dan seni! Dia cuman ahli menghitung. Beda sama Cecilia, anak itu pandai dalam segala bidang.”

Selly terkekeh, terdengar seperti menghina. Wanita itu bersedekap dada, menatap sang suami dengan tajam, “Kamu tahu adiknya Cecilia? Namanya Raline. Dia bahkan sangat payah, nggak seperti kakaknya.”

Sang suami agaknya tertarik dengan topik pembicaraan ini. Pria itu balik menatap istrinya. Binarnya terlihat sangat penasaran.

“Keluarga Joan punya dua anak. Yang sulung namanya Cecilia, anak jenius yang menjadi saingan Olive. Yang bungsu, namanya Raline. Nah, Raline itu sangat bodoh. Anaknya juga sering linglung, nggak tahu karena apa.”

Patricio menyeringai jahat. Ia menggeleng tak habis pikir, “Berarti, Olive jauh lebih unggul dari Raline?”

Selly mengangguk.

“Keluarga Joan nggak akan se-istimewa itu, kalau saja Cecilia nggak ada.”

Patricio mengernyit, “Maksud kamu?”

“Buat Cecilia menghilang.”

***

“Kenapa bisa dapat 95?” Selly berujar marah. Anaknya itu ia tatap tajam. Olive hanya bisa menunduk takut. Jari tangannya ia mainkan, guna melepas rasa gugup.

Selalu begini. Olive selalu dituntun untuk menjadi sempurna. Tidak pernah sekalipun diberi napas, selalu dikecam. Bahkan di saat Olive sudah berusaha semaksimal mungkin.

Olive yang masih duduk di sekolah dasar, jelas merasa lelah diberi tekanan yang begitu berat.

“T-tapi, nilai aku paling tinggi satu angkatan.” Olive memberanikan diri untuk balik menatap ibunya. Kemudian, ekspresi ibunya berubah menjadi lebih ramah. Entah pertanda baik atau buruk. Yang jelas, Olive masih ketakutan.

“Bagus! Pertahankan terus.”

Mata Olive berbinar cerah. Bocah itu memamerkan deretan giginya yang rapi. Tubuhnya melompat-lompat kecil.

“Berarti, aku boleh minta sesuatu?”

Selly mengangguk lembut. Wanita itu membungkuk, mensejajarkan tingginya agar sama dengan anaknya. Surai anaknya itu ia elus, “Mau apa?”

Olive membuat gestur, seolah sedang berpikir keras. Kemudian, jari telunjuk gadis itu diacungkan ke udara, sembari mengucapkan, “Aha!”

“Aku mau ice cream.” Olive tersenyum, kemudian memeluk ibunya itu.

If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang