***
Di sini, tempat bagi insan yang tak berjiwa. Raganya sudah tak karuan, paling-paling hanya ada tulang. Tempat yang akan menjadi rumah terakhir semua insan. Tempat yang akan memendan raga dengan bengis.Raline berdiri timpang di sini. Tempat pemakaman umum. Mata cantiknya bak dilapisi kaca. Batu nisan yang kokoh, bertuliskan 'Cecilia Giovany', menjadi objek yang paling menyakitkan. Raline berjongkok di depan makam sang kakak. Tangan lentiknya mengelus batu nisan itu.
"Kak, kenapa?"
Raline tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Suaranya dihiasi ribuan aquiver. Dan akhirnya, gadis itu terisak.
"Lo selalu dielu-elukan, sama Ayah, sama Bunda. Kalau lo nggak ada, Ayah sama Bunda sedih, loh. Gue juga sedih, Kak. Kenapa lo harus bunuh diri?"
Senyap, Cecilia enggan menjawab. Raline masih setia menunggu jawaban. Konyol memang.
"Kak, tau nggak? Gue sakit. Katanya sih, berpotensi menyebabkan kematian. Tapi ... Ayah sama Bunda kayaknya nggak peduli. Tadi pagi, mereka masih bisa ngebentak gue. Kepala gue langsung sakit, gue jadi linglung. Tapi, mereka malah ngedorong gue." Raline menghiasi kalimatnya dengan kekehan di akhir. Sekarang gadis itu tersenyum getir. Ia menatap batu nisan itu, menganggap kakaknya ada di sini. Menatapnya dengan hangat, selagi memberi jutaan penenang.
"Lo tau Hiraeth? Dia jadi cueeekk banget sama gue, Kak. Katanya, dia benci sama gue,"
Raline membiarkan air matanya mengalir. Membasahi pipinya yang memerah, efek dari pedasnya seblak yang ia makan barusan. Jika Cecilia ada di sini, pasti puan itu langsung mendekap tubuh Raline. Mengelus surai Raline, melontarkan sejuta "tak apa".
"Gue jahat ya, Kak? Semua orang bilang gue jahat,"
Tangisnya makin keras, padahal kalimatnya masih belum usai.
"S-semua orang, kecuali...."
Di kepalanya, terlintas satu nama. Nama dari seorang insan, yang telah menjadi penenang untuknya. Satu-satunya insan yang mengetahui seluk-beluk hidupnya. Satu-satunya insan yang tidak menatapnya dengan kejam.
"Aster Emerald,"
Benar, seonggok insan yang telah memberikannya afeksi dengan lembut. Bahkan, insan itu secara blak-blakan menyatakan khawatir. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh kedua orangtuanya, dan Hiraeth.
"Gue akuin dia baik, Kak. Tapi dia nyebelin!"
Raline memanyunkan bibirnya kesal. Mengingat perlakuan jahil dari Aster, membuat sumbu emosinya kembali terpantik. Sungguh, Aster benar-benar menguji kesabarannya.
"Dia jadi terkenal, gara-gara nyiptain lagu, Kak. Gue belum denger lagunya, sih. Tapi kayaknya mid, cuman overrated aja," ujar Raline dengan nada remeh, yang tentu maksudnya bercanda.
"Hih, apaan, lagu gitu doang bisa viral. Gue juga bisa buat yang lebih keren!" Raline tertawa dengan riang. Sungguh, sesi obrolnya dengan sang kakak menjadi lebih santai. Tidak lagi diselimuti dengan hawa biru.
"Lagunya nggak enak, Kak. Suer deh. Walaupun gue belum denger lagunya. Tapi gue yakin, enakan juga 'Cake batter' Junior Baby," kata Raline dengan maksud bergurau.
"Whatever, he is my happy pill. Gue bersyukur bisa ketemu Aster,"
Tanpa sadar, seorang gadis merekam segala ucap milik Raline. Gadis itu menyeringai bengis, kemudian berlari menjauhi makam. Video itu terputar, video yang akan memutilasi Raline dengan mudah.
"Kena lo, Lavinia Raline,"
***
"WAH GILA, BELAGU AMAT JADI ORANG." Laluna berteriak histeris, dengan kedua alis menukik tajam. Kaleesha mengangguk dengan mantap. Kedua gadis itu tengah berapi-api sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭
Fanfiction"Gue juga sakit," lirih Raline pada insan yang ia anggap sebagai semesta. Berharap insan itu mengasihani, lalu segera mendekapnya dalam sunyi. Nihil, semuanya tidak sesuai ekspektasi. Insan itu berbalik, tersenyum timpang ke arahnya. "Olive lebih s...