CALL - 29 | PILLOWTALK

7.4K 557 81
                                    

Seperti seorang bayi yang baru saja terlahir ke dunia, keduanya dalam keadaan polos tanpa pakaian di dalam balutan sebuah selimut tebal. Meski suhu ruangan cukup tinggi dan tampaknya selimut itu pun tidak berpengaruh banyak, keduanya tetap terlihat nyaman dalam keadaan seperti itu. Saling memeluk dalam keadaan tubuh polos tanpa pakaian apapun menyalurkan kehangatan yang jauh lebih alami.

Mereka baru saja menuntaskan hingga tandas sebuah permainan baru yang sangat melelahkan dan hanya legal bila dilakukan oleh orang dewasa. Sebuah permainan yang membuat suhu ruangan terasa begitu panas hingga peluh mereka bercucuran seraya mereguk udara seperti unta padang pasir yang terengah-engah kelelahan.

Rasanya, Samira malu sekali menyebut nama permainan itu. Lihat saja, sejak tadi wajahnya tidak mampu berhenti merona. Kemerahan seperti buah jambu yang sedang cantik-cantiknya. Tanpa ragu, berkali-kali Jan Lakis mengecup kedua pipi itu bergantian. Sepertinya, karena kecupan itulah yang membuat rona di pipi Samira begitu bertahan lama membuatnya semakin menggemaskan seperti bayi dalam pelukan Jan Lakis.

"Mas ...," panggil Samira, meski wajahnya membenam pada dada Jan Lakis, lengannya malah semakin mengerat memeluk perut suaminya.

Rasa malu masih terasa atas pergerumulan panas mereka beberapa saat lalu. Namun, diam dalam keheningan—meskipun nyaman—juga lama-kelamaan akan semakin terasa canggung. Sebab, alih-alih Samira merasa mengantuk akibat kelelahan, ia malah terlihat segar.

"Kenapa, Amiyaku ...." Disingkirkannya rambut panjang Samira yang terurai menutupi sebagian wajah istrinya itu.

Tatapan Jan Lakis terlihat begitu mendamba seperti seorang raja yang baru saja menemukan permaisuri sejatinya. Efek permainan tadi memang sangat terasa luar biasa menumbuhkan benih-benih yang memang seharusnya ada dalam setiap pasang-pasangan. Itulah sebabnya, permainan itu disebut dengan making love.

Samira berdeham menetralkan degup jantungnya yang bertalu-talu merasa malu karena ditatap sedemikian dalam oleh suaminya. Mata tajam itu menyorotnya penuh dengan kelembutan yang hangat. Samira dibuatnya mengerjap salah tingkah, "I-itu ...," Akibatnya, tergagaplah wanita itu.

Jan Lakis tergelitik geli melihat istrinya salah tingkah dengan manis seperti itu. "Kenapa, Bu ... ngomong aja ...."

"Aku ... malu," cicit Samira.

"Malu kenapa, Bu sayang?" Diusapnya punggung polos sang istri membuat Samira meremang.

"Ta-tadi ...."

Jan Lakis dengan begitu peka tahu istrinya tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Untuk itu, ia berinisiatif mengerti dan menenangkannya. Dengan suara teduh, dia berkata, "Iya ... kita baru aja melakukannya, Bu. Are you okay?"

Samira Noa terdiam.

Hal itu membuat Jan Lakis khawatir dengan segala ketakutannya. Berbagai pemikiran menyeruak ke dalam kepalanya membuat pria itu merenggangkan pelukannya. Disentuhnya dagu Samira dengan lembut agar mata mereka saling bersibobrok.

"Bu ...," Halus sekali panggilan itu. Seolah bila ia terlalu keras bersuara, Samira akan terluka. "Apa ... apa aku menyakiti kamu? Apa aku terlalu kasar tadi, Bu?"

Samira menggeleng kepala dengan malu-malu. Lengannya semakin mengerat memeluk Jan Lakis dan wajahnya kembali menunduk tak berani menatap suaminya.

"Terus, kenapa, Bu? Ada yang sakit? Biar aku periksa, ya?" Dahi Jan Lakis kian berkerut dalam. Pertanyaan itu membuat Samira Noa menggeleng kepala berkali-kali dengan cepat. "Lalu kenapa, Bu? Jangan buat aku khawatir ...."

"Maaf buat kamu khawatir, Mas," kata Samira, kali ini menongkak menatap suaminya dengan sorot polos dan bersalah yang membuat Jan Lakis tak tega.

"Bukan begitu, Bu. Enggak usah minta maaf ... aku cuma takut kamu kenapa-kenapa. Ayo, ngomong aja. Kenapa, hm?"

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang