Kedua (Awal Perbincangan)

166 10 0
                                    

Didalam rumah kayu dengan dinding kayu yang berlapiskan ilalang, begitupula dengan atapnya, di lantai atas tepat dimana hari itu sudah seminggu dia menetap disana, di Desa yang sering disebut Bentalun. Desa itu cukup terkenal di pulau Aksata karena keindahan yang dimilikinya.

Dimana di sanalah Laren akan tinggal dan menetap hingga hari kelulusan sekolah menengah atasnya, atau selama dia hidup? Entahlah.

Tidak pernah dia berpikir akan tinggal di desa tersebut. Namun karena kesalahan fatal yang dibuatnya, dia harus dikirim ke desa Bentalun ini. Dan tentunya ia sangat berharap bisa betah tinggal disini, desa Bentalun ini.

Di atas kasur kapuk, di sanalah daksanya terlentang, dengan manik yang menatap langit kamarnya dengan pandangan kosong. Hingga pada akhirnya, sebuah tepukan halus membuyarkan lamunannya.

Ngalamun wae, bekedeq ke sana cari baturna.

'Ngelamun mulu, bermain sana cari teman'

Itu adalah wanita yang terlihat sudah tak muda lagi dengan muka keriput dan rambut yang memutih. Bisa diyakini kalau wanita itu adalah neneknya.

“Gak ada temen nek, males.” balasnya setelah berdecak kesal karna harus berfikir maksud dari perkataan sang nenek.

Berembe mau dapet temen kamu kalau pegawean kamu mensare doang.” Omel neneknya ; 'bagaimana mau dapet temen kamu kalau kerjaan kamu tidur doang'

“Tapi kan Laren gak ngerti bahasa daerah sini. Gimana mau dapet temen?” tanyanya. “Yang ada Laren Ngang-ngeng-ngong palaga-plogo kayak monyet.” Dengan nada sedikit ketus.

Lamun begitu, eta jangan tindoq wae gawena. Kaluar barbaur ke sama bajang-bajang kadieu. Toh mereka juga pasti bisa basa Indonesia. Sampunang e tindoq terus, nanti bisa-bisa jegol kamu za,” anjurannya. 'Kalau begitu, kamu jangan tidur saja kerjaannya. Keluar berbaur sama remaja seumuran kamu disini. Toh mereka juga pasti bisa berbahasa Indonesia. Tidak usah tidur terus, nanti kamu bisa gila'

Sedangkan Laren hanya diam dan tidak memperdulikan neneknya dan masih setia rebahan disana, memperbaiki posisinya dengan telungkup. Bukan karna apa-apa, hanya saja dia tidak mengerti apa yang dikatakan neneknya, terlebihnya dia terlalu malas untuk bertanya.

“Ya gusti, emang bandel ya kamu, Ren.” Karna kesal neneknya dengan menepuk pantatnya yang seketika membuat dia mendesis kesakitan. “Kalau Nenek bicara tuh dibalas dan di dengarin!” sedangkan Laren masih diam memegang pantatnya yang terasa panas.

“Cepat bangun! Ikut nenek ke sawah,” perintah lansia itu. Bukannya bangun, dia masih setia memejamkan matanya meski tidak benar-benar tertidur.

“Cepat bangun!” seru neneknya setelah menepuk pantat Laren pelan, lalu pergi dari ruangan itu.

Tapi bukannya bangun, Laren malah lanjut melamun melihat ke arah langit-langit kamarnya. Sehingga suara neneknya lagi dan lagi membuyarkan lamunannya.

“Laren, turun cepat!”

“IYAA NEK!” teriaknya.

Dengan perasaan yang kesal, Laren bangun dari rebahannya sembari mengacak rambutnya. Kemudian ia keluar dari kamarnya menuruni tangga dan menghampiri neneknya dengan wajah masam.

“Ini topi buat kamu.”

Neneknya menyodorkan topi anyaman yang dibuat dari bambu untuk dipakainya. Dia mengambilnya dan hanya menatap topi itu dengan tatapan kosong, membuat neneknya merampas topi itu dan dipasangkan nya ke kepalanya dengan berjinjit.

Dari BentalunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang