Kesembilan (Sebuah Fakta)

115 11 0
                                    

Laren berteriak histeris kala melihat salah satu monyet berada di pundaknya. Tentunya dia sangat terkejut sehingga membuat monyet yang berada di pundaknya ikut berteriak.

“Aaaak.” Dengan suara nyaring khas monyet, monyet itu berteriak lalu menampar Laren dengan tangan kecilnya sebelum pergi ke Bintara.

“Aaaa mamaaaa.” Laren berlari mondar mandir mengusap-usap pundaknya takut jikalau monyet tersebut masih berada di punggungnya.

Melihat Laren seperti itu, Bintara tertawa terbahak-bahak. Menurut dia itu lucu, tetapi tidak bagi Laren yang ketakutan setengah mati. Bahkan sekarang Laren sudah menangis saking takutnya.

Karna rasa kasihan baru saja menghampirinya, Bintara menghampiri Laren yang tengah ketakutan dengan memeluk kakinya seraya menyembunyikan wajahnya di sela paha.

“Tidak apa-apa, Laren. Mereka baik, tidak gigit,” ucapnya mencoba menenangkan Laren dengan tawa yang masih tersisa.

Sungguh, Laren benar-benar ingin membunuh Bintara saat ini juga, pasal pemuda itu selalu saja tertawa atas penderitaannya.

“Monyet lu Bi!!” umpat Laren mendongakkan kepalanya menatap kesal bintara dengan buliran air mata.

“Gapapa kok. Hahhaha,” Memeluk Laren dengan tertawa keras mengingat wajah laren yangblucu disaat ketakutan barusan.

Bugh!!

“Ngapain lo peluk-peluk gue?” Mendorong dada Bintara sehingga membuat pemuda itu menjauh darinya.

Dia mendengus menatap pemuda itu kesal. “Gue mau pulang!” Berbalik dan hendak pergi.

“Nanti dulu, Laren.”  Bintara menahan tangannya. “Lihat ini!”

Mendengar itu Laren menurut, karna tidak mungkin dia pergi sendiri mengingat dia yang tidak hapal jalan. Dia melakukan itu hanya untuk menggertak Bintara saja.

Bintara mengeluarkan suara seperti monyet, seolah berbicara dengan segerombolan spesies tersebut. Dan ya! Segerombolan monyet itupun pergi dari sana kecuali monyet yang menepuk pundak Laren tadi.

Laren yang melihat itu tercengang. Dia tidak berteman dengan siluman monyet kan? Dia bertanya-tanya dalam hati.

Bintara menunjukkan monyet tersebut kepada Larenza. “Ini monyet namanya ucup, sekarang kalian minta maaf.” Memperkenalkan monyet tersebut dan memintanya supaya mereka berbaikan.

Seolah mengerti, monyet tersebut mengulurkan tangannya ke Laren. Laren semakin dibuat tercengang, menatap ke arah Bintara takut. Pemuda itu mengangguk meyakinkan Laren.

“Nggak gigit, dia cuma mau minta maaf,” ucapnya menenangkan.

Laren mengangguk mengerti. Dengan perlahan dia mengulurkan tangannya dan dibalas oleh monyet itu. Dengan cepat ia menarik tangannya sendiri karna geli dengan gestur tangan monyet tersebut.

“Tidak gigit bukan?” Bintara terkekeh.

Laren hanya berdecak kesal, menatap Bintara datar kemudian bangun dari duduknya, menepuk bokongnya dengan pelan, membersihkannya dari tanah.

“Mau manggis tidak?” tanya Bintara. “Kalau mau, biar saya memetiknya untuk kamu.”

Mendengar perkataan Bintara, Laren melihat sekeliling mencari buah yang dimaksud dan benar saja, maniknya menatap salah satu pohon dimana terdapat buah ungu dan hijau bergelantungan di dahannya.

Laren mengangguk. “Lo bisa naik pohon?” tanyanya memastikan.

“Mudah sekali kalau itu mah,” ucapnya dengan bangga. Sedangkan Laren yang mendengarkannya menyombongkan diri hanya menatap datar.

Dari BentalunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang