Kedua puluh sembilan (Bertemu, Lagi)

90 10 0
                                    

Senin, adalah hari yang paling di benci kebanyakan orang, terutama bagi siswa sekolah menengah atas. Karna hari senin adalah hari terberat bagi mereka, dimana pelajaran yang di sukai ada, dan hari upacara yang membuat mereka panas-panasan. Namun apa yang bisa diperbuat? Mereka harus tetap menjalaninya sebagai bekal untuk hidup dewasa.

Termasuk kepada seorang pemuda tengah memasang sepatunya dengan terburu-buru, itu. Dia sangat membeci hari senin, dan sekolah, namun dia tetap menjalaninya meski tidak ingin, karena dia sadar, sekolah adalah kunci menjadi pintar. Dia tidak ingin rajin, tetapi dia harus demi masa depannya. Meski dengan menggerutu tidak jelas, pada akhirnya dia pergi usai memakai sepatunya.

“Oma, Razeldo pergi!” Teriaknya kepada sang nenek yang berada di depan pintu, bersamaan dengan itu mobil berjalan maju. Tidak lupa dia melambaikan tangan dengan senyuman yang memang terpaksa.

Hari ini adalah hari dimana Razeldo pertama kali akan bersekolah di sekolah barunya, di Kota Braga itu. Seharusnya dia merasa antusias layaknya memakai pakaian baru, tetapi mengingat dia akan berinteraksi dan memperkenalkan diri kepada orang baru membuatnya sangat malas, itulah mengapa hari ini perasaannya sangat memburuk.

Dia tidak bisa menyalahkan siapapun, karna ini adalah hal yang dia inginkan. Pindah dari kotanya dan dinggal di kota kelahiran ibunya ini. Dia tidak mengerti dengan dirinya yang entah mengapa ingin sekali menetap disini, seolah merasa ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang mungkin dia tunggu-tunggu. Beruntungnya setelah membujuk kedua orang tuanya, dia diizinkan untuk tinggal di kota ini, menemani sang nenek yang sudah lanjut usia.

Didalam perjalanan, dia hanya bisa menatap kosong ke kaca mobil, menghadap langit memikirkan hal yang mungkin bisa terjadi selanjutnya hingga lamunanya pecah kala deringan ponsel mengalihkan perhatiannya. Dia merogoh ponselnya di celana abu-abu itu, menatap layar dan mendapati nama Juna yang tertera disana.

Dengan berdecak kesal dia mengangkat panggilan itu sebelum akhirnya suara nyaring terdengar dari benda persegi tersebut. “Anjing lo Zel. Kenapa pindah ga bilang-bilang si, Bangsat!?”

Razeldo meringis, menjauhi benda itu dari telinganya karna merasakan telinganya yang sakit akibat suara pekikan itu. “Kalau gue ada salah bilang! Jangan ngilang kek gini lah Jingan!”

Razeldo menghela nafas panjang. “Suka-suka gue lah, monyet!” timpalnya. “Emangnya lo siapanya gue? Orang pacar atau keluarga juga bukan!”

“Wah temen macam apa lo ninggalin bestfriend-nya gitu aja?” protesnya tidak terima. “Emang penghianat lo!”

Terlihat Razeldo merotasi bola matanya, dan dengan tidak rela dia berkata, “Sorry, gue nggak punya waktu soalnya.”

“Sorry-sorry, terus sekarang gue duduk sama siapa Raz?” ucapnya terdengar frustasi. “Minimal lo ngasih tau supaya gue siap buat sendiri. Ini mendadak banget buat gue.”

“Lebay amat sih lo jadi cowok!“ sarkas Razeldo. “Temen lo juga kan banyak, bukan cuman gue doang! Lagipula lo cowok, masa ga bisa bergaul sih?” ucapnya cepat.

Terdengar decakan dari benda persegi itu. “Tapi lo yang gue suka,” Suara lirih, tertangkap samar-samar di telinga Razeldo.

“Apa lo bilang?” tanya Razeldo. “Nggak harus gue, Jun. Lo bisa tuh sama Vernon. Lagian juga gue ga bakal mati, gue masih bisa ngobrol sama lo di waktu luang. Sebelum gue sama lo juga, ada belasan temen lo,” celotehannya.

“Lo emang ga pernah peka ya njing ama gue!” ketus dari sebrang. “Gue bahkan rela ninggalin geng gue cuma karna mau sama lo, gila.”

“Dih, lo naksir ya sama gue?” ucap Razel asal.

Dari BentalunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang