Kedua puluh delapan (Kembali)

90 9 0
                                    

Terlihat seorang pemuda kini tengah terduduk, hanya menatap kosong ke depan di ruangan yang bernuansa putih itu. Lamunannya buyar, disaat pintu terbuka memperlihatkan empat pemuda berbaju seragam sekolah putih abu yang berjalan ke arahnya dengan senyuman sumringah di wajah mereka. Mereka adalah Marvel, Nathan, Jenathan, dan Jiandi, orang yang telah mengaku sebagai temannya.

“Zan, apa kabar lo?” tanya Nathan yang berjalan paling depan seraya menghampirinya.

“Saya baik,” jawabnya. “Sebentar lagi saya pulang.”

“Pffth!” Nathan hampir tertawa jika saja dia tidak menutup mulutnya.

Bukan hanya Nathan, yang lainnya pun terlihat menahan tawa. Hal itu membuat Haizan terlihat mengernyit bingung karna tidak mengerti apa yang orang-orang di penglihatannya ini pikirnya. “Aneh!”

“Lo yang aneh, Zan.” Nathan menimpali. “Tiba-tiba banget jadi sopan kek gitu. Padahal disini yang paling bangor ga bisa jaga ucapan itu lo,“

Pemuda itu terlihat mengernyit heran, merasa aneh serta bingung dengan sekitarnya saat ini. “Saya benar-benar mau pulang, saya sungguh lelah dengan memikirkan semua ini,”

“Sebentar lagi kamu pulang, Haizan.” Marvel menimpali. “Tunggu aja, lo ga bakalan di penjara juga disini.”

“Tau tuh!” celetuk Nathan. “Dokter-dokter disini juga keknya udah muak liat wajah lo, Zan,” kelakarnya mencoba memancing Haizan untuk berdebat dengan namun tak berhasil.

“Kenapa kalian aneh sekali?” tanya Haizan dengan menyerngit sangat kebingungan. “Kenapa kalian malah meniru gaya bicara Laren!?” kesalnya.

“Laren?” Jiandi menyerngit, “Kek kenal namanya,” gumam Jiandi menatap kosong ke samping dengan sudut matanya, mengingat-ingat dimana sekiranya dia mendengar kata itu sebelumnya.

“Iyalah, orang dia yang peduli sangat sama kamu dari pada saudaramu,” cetus Haizan. “Saya tahu gaya bicara Laren memang terdengar sedikit keren, tetapi jangan menirunya karna tidak baik meniru seseorang yang telah tiada!”

Hening. Mereka menatap satu persatu, seolah bertanya-tanya. Terutama Jiandi, kini ia menjadi pusat perhatian oleh teman-temannya, sedangkan dia hanya mengangkat bahu singkat sebagai tanda tidak tahu. Bukannya apa, pasalnya mereka tahu bahwa Jiandi adalah anak tunggal.

“Tidak mungkin bukan tiyang koma sebulan kalian sudah ganti nama?” ucapnya. “Aneh sekali 'kan? Hentikan saja drama kalian, saya tidak bisa di bohongi!”

“Haizan, lo beneran ga inget kita?” tanya Marvel menatap manik mata Haizan memastikan bahwa tak ada kebohongan disana.

“Aku bukan Haizan!” celetuknya. “Kalau kamu saya tidak kenal, tapi mereka aku kenal.” Menunjuk ke arah si kembar dan Jiandi.”

Mereka menghela nafas kasar, lalu terdiam menatap Haizan dengan sedu sebelum akhirnya Jenathan berkata, “Lo kehilangan ingatan, Zan.”

“Hilang ingatan itu tandanya tidak mengingat apapun, bodoh!” sarkasnya. “Saya masih ingat diri saya dan semuanya dengan jelas!” tekannya menatap keempat lelaki itu kesal karna kata itu sering kali di lisankan. “Kalian rajin sekolah, tetapi mengapa sangat bodoh sekali? Begitu saja tidak tahu! Apakah kalian memakan capung?!”

“Anjir ni anak, bicaranya si formal kek sopan gitu, tapi nyatanya mah sama aja sifatnya,” gumam Nathan.

“Iya ya!” Jiandi menatap Haizan dari bawah ke atas. “Ya balik lagi, jangan lupa kalau dia memang masih Haizan, bedanya dia berkata dengan sopan berkedok kurang ajar,”

Marvel berdecak menatap mereka dengan tajam, dengan maksud menyuruh mereka untuk diam, sebelum akhirnya kembali menatap Haizan. “Masih ga percaya sama apa yang kita ceritain, Zan?” tanya Marvel, “Itu cuma alam bawah sadar kamu, Zan. Itu nggak nyata. Coba lo inget-inget.”

Dari BentalunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang