Ketujuh (Takut)

95 10 0
                                    

Hari tanpa adanya hiruk pikuk kota, langit cerah dan udara segar. Tentunya itu adalah waktu untuk beristirahat yang bagus untuk Laren. Akan tetapi, seperti biasanya ...

“Oi  Pendek kecil, Rencil!!” teriak seseorang tak lain dan tak buka Bintara, bersamaan dengan langkah kaki yang terdengar berakhir dengan suara pintu yang terbuka kasar membuat Laren yang tenang dalam posisi rebahannya terlonjak.

“Lo bisa ga sih suara lo di pelanin sedikit?” tanyanya. “Gue kaget anjing!” Dada Laren kini sudah naik turun karna menahan amarahnya. Sedangkan Bintara, ia hanya terkekeh nyengir seperti orang idiot tidak tau salahnya dimana.

“Oi Hitam jelek!! nyengir mata lo,” kesalnya, “dan lo bisa ga sih, kalo masuk kamar orang tuh yang sopan anjing!!” bentaknya.

“Ini kan rumah aku juga.”

Laren ingin sekali memakan Bintara hidup-hidup. Karna semenjak ada dia di hidupnya, entah kenapa ia selalu merasa beban di hidupnya semakin bertambah. Karna harus terus memarahi Bintara setiap hari karna tingkahnya yang membuatnya naik darah. Namun disisi lain, dia sangat senang bertemu Bintara yang selalu membuatnya tertawa.

“Ke intinya saja lah babi. Ada apa?” tanyanya dengan teramat kesal.

“Cari kayu bakar, disuruh Ninik,” ucapnya bersemangat.

“Sekarang?!” tanya ketus Laren, berharap mencari kayunya ditunda tahun depan saja.

Bintara mengangguk. “Sekarang.” Jawab Bintara yang membuat Laren menatapnya tak percaya.

Seriously?” tanyanya tak percaya. “Siang bolong begini ke hutan cari kayu bakar!? What the fuck!

“Siang darimananya?” tanya Bintara. “Sudah sore juga.”

“Lo aja sendiri!” ketus Laren menatap Bintara kesal.

“Nenek!! Ren—mmpth.” Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Laren dengan secepat kilat membekap mulut Bintara yang membuat pemuda itu berhenti bicara.

“Iya anjing,” kesalnya. “Iya dah ayok!” pasrah Laren dengan wajah yang kesal.

Sedangkan Bintara tersenyum lebar penuh kemenangan. Laren semakin kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain terpaksa pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar.

Di perjalanan di tengah hutan, Laren terus saja menggerutu. Sedangkan Bintara yang melihatnya tertawa puas.

“Woy, Kalian!”

Teriakan seseorang membuat Laren terkejut dan beralih bersembunyi di balik badan Bintara,  mengintip sedikit melihat seseorang yang memanggil mereka.  “Jendra?”

Setelah mengetahui siapa yang memanggil, lantas Laren bernafas lega dan keluar dari persembunyiannya.  “Kirain siapa.” Leganya mengusap-usap dada.

“Laren toh, ta kirain kamu bawa perempuan asing.” Pemuda itu tersenyum dengan mata yang ikut tersenyum.

“Anjing! Emang gue kayak cewek gitu maksud lo?” tanyanya yang sialnya diangguki oleh Jendra.

“Tidak, tapi iya,” jawab Jendra cepat membuat Laren tak bisa berkata-kata lagi dan hanya memutar bola matanya malas diakhiri menghela nafas kasar.

“Terserah anjing, iya in aja iya in. Emang gitu udah, iya in aja udah iya aja,” gerutunya tidak jelas.

Tidak heran lagi banyak yang mengira Laren perempuan, tubuhnya yang mungil dan rambut dengan potongan curtain haircut membuatnya terkesan seperti perempuan,  belum lagi bajunya yang kebesaran nampak cocok juga untuknya.

Dari BentalunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang