Kelima (Kesedihan Rentara)

112 11 0
                                    

Malam yang dihiasi bintang dan bulan sebagai pelengkap, bulannya menyinari daksa yang tengah duduk di tangga rumah, tepatnya pada tangga atas. Dia menatap kosong dengan rokok yang dia selipkan di sela-sela jarinya. 

Dia menghela nafas panjang, lalu menghisap rokoknya kemudian mengeluarkan asapnya dari celah bibirnya perlahan.

Karna rumah Bintara dan Laren berdekatan, secara kebetulan balkon mereka berdua berhadapan. Dan dengan tak sengaja, Bintara yang baru saja naik tangga menuju ke arah kamarnya melihat Laren yang duduk di seberang. Dia menghentikan langkahnya.

Oi babatur, lagi apa!?” Tanya Bintara sedikit berteriak dari balkon kamarnya, melambaikan tangan berharap Laren melihatnya. 'Hey kawan, lagi apa!?'

Laren tersentak, lalu melihat Bintara yang tengah berdiri menumpu pada pagar balkon sebrang. Dia menatap datar pemuda itu, setelahnya dia menukik kan alisnya tajam dan sedikit berteriak. “Gue lagi tidur!” 

“Bohong!”

“YA LO GAK LIAT?? UDAH JELAS GUE DUDUK DISINI!! GOBLOK BENER PERTANYAAN LO!” teriaknya lebih keras, tidak perduli dengan tetangganya yang bisa saja memarahinya.

Lagipula itu adalah pertanyaan yang bodoh. Bukankah dia melihat Laren sedang duduk, lalu kenapa dia bertanya? Tidakkah dia melihatnya?

Bintara hanya tersenyum nyengir, dan terlihat dia menuruni tangga dan berjalan menuju ke arahnya.
“Tiyang kenapa Za. Ada masalah?”  Tanya Bintara seraya duduk tepat di sebelahnya.

“Nih, Rokok.” Laren menyodorkan sebungkus rokok yang diterima dengan senang hati oleh Bintang.

Bintara menyalakan ujung rokok dengan korek api sembari menghisapnya, namun..

“Uhuk uhuk”

Bugh!

“Anjing!” sentak Laren yang refleks memukul punggung Bintara. “Kaget cok!”

Bintara tersedak, membuat Laren terkejut. Bagaimana tidak? Suasana yang dulunya hening tiba-tiba menjadi pecah seketika akibat suara batuk dari pemuda itu.

“Ekhem, hahaha.”

Entah apa yang lucu, Bintara tertawa sendiri selayaknya orang gila membuat Laren menatapnya aneh. Sungguh tidak jelas manusia satu ini, pikirnya.

“Maaf.” singkatnya, lalu menyebat rokoknya kembali.

Laren hanya mengangguk, menghisap benda kecil itu lalu mengeluarkan asap dari celah bibirnya dengan perlahan.

“Kamu ada masalah?” tanyanya yang membuat keheningan kembali pecah.

“Sedikit.”

“Cerita saja sama tiyang. Tidak apa-apa.”

“Kalo gue cerita, lo masih mau kan temenan sama gue?” Menatap Bintara dengan satu alis yang dinaikkannya.

“Maksudnya?”

“Gue putus sama pacar gue.”  Dia kembali menyebat rokoknya dan menghembuskan perlahan dengan helaan nafas.

“Baru saja?” tanya Bintara dengan hati-hati.

Laren menggeleng, dia kembali menyebat rokok ditangannya. “Hari dimana lo ngajak gue ke bukit.” Dengan kekehan pelan bersamaan dengan asap yang keluar dari mulutnya. “Gue berterima kasih banget sama lo waktu itu.”

“Terimakasih, karna telah buat gue lupa tentang masalah itu meski hanya sementara.” Laren tersenyum menatap ke arah Bintara.

Bintara ikut tersenyum melihat Laren tersenyum, merangkul Laren dan menepuk pundak pemuda itu. “Tidak apa, Ren. Gadis-gadis di desa ini inges pisan, tinggal kamu pilih saja,” ujarnya. 'cantik banget'

Dari BentalunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang