Kelima belas ("Sadari itu")

84 12 1
                                    

Bell istirahat berbunyi kencang, diiringi dengan helaan nafas panjang serta sorakan gembira dari murid-murid didalam ruangan kelas tersebut. Mereka lantas meregangkan otot-otot mereka di akhiri hembusan nafas lega.

“Anjing dah, pantat gue tepos rasanya,” celetuk Laren setelah meregangkan ototnya.

Lantas Bintara yang mendengar celotehannya memegang bokong Laren lalu meremasnya sekilas. “Tidak tepos kok,” ucapnya dengan polos.

“Anjing!!” umpat Laren menepis tangan Bintara.

Tentu saja dia sangat terkejut dengan perlakuan Bintara yang tidak senonoh tersebut. Ia hendak melayangkan pukulannya, namun dia mengurungkan niatnya dan hanya menatap kesal Bintara.

Bintara tertawa melihat reaksi Laren yang terlihat lucu dimatanya. Tentu saja itu membuat Laren menjadi kesal dan hendak mengomel, akan tetapi  seseorang terlebih dahulu menyela perkatannya.

“Woy, suaminya Laren!” ucap salah satu murid yang tak lain adalah Nararya yang berjalan ke arahnya.

“Hah? Apa?” tanya Bintara dengan sisa tawanya mengangkat dagu sekilas.

Sedangkan Laren, dia menatap Nararya tajam. “Lo bisa gak, berhenti bilang gitu?” ucapnya setelah Nararya sudah berada tepat dihadapannya.

Disekolah banyak yang selalu memanggil mereka dengan sebutan suami-istri. Bukan tanpa alasan, mereka disebut seperti itu karna mereka sering sekali berjalan berdua serta membuat keributan dengan saling bertengkar. Sekarang, mereka sudah dijuluki suami-istri disekolah.

“Istri kamu lagi datang bulan, Bin? Sepertinya dia marah?” godanya menatap ke arah Bintara dan melempar tatapan ke arah Laren.

“Sekali lagi, gue siram pake air panas lo, anjing!” gertaknya. “Bangsat banget anjing bercandaan lo!” menunjuk Nararya kesal dengan kepalan tangan.

“Kalian bisa cepat tidak? Nanti kita kehabisan.” timbrung seseorang yang membuat mereka menatap ke arah suara. Mereka dapat melihat Jendra menatap mereka di depan pintu kelas.

Nararya mengangguk menatap ke arah pemuda itu. “Daweg babatur!” ajaknya. (Ayo teman-teman)

“Daweg!” seru Bintara bangun dari kursinya mengikuti langkah Nararya, begitupula Laren.

Mereka berempat berjalan seraya berbincang dan bercandaan dengan bercerita diiringi kata-kata receh mereka hingga sampai pada tempat dimana seseorang mengisi perut mereka, yaitu kantin.

Mereka duduk di meja dengan empat kursi pas untuk jumlah mereka. Namun tidak dengan Nararya, dia langsung pergi memesan makanan mereka. Tidak bperlu bertanya lagi, karna diperjalanan mereka sudah membicarakannya.

“Laren, lihatlah.” Bintara menepuk-nepuk punggung Laren yang sibuk menatap ponselnya. “Ada perempuan yang menatap ke arahmu.”

Laren yang merasa terganggu menatap bintara dengan tatapan bertanya. “Apa!?” tanyanya ketus.

“Lihatlah, ada kembang desa sebelah yang menatap kamu.” Bintara menunjuk dengan sudut matanya. Hal itu dia lakukan supaya tidak membuat seseorang merasa tersinggung.

Antara penasaran dan tidak, dia mencari-cari siapa yang Bintara maksud sampai pada dititik dimana dia kontak mata dengan seorang gadis. Dilihatnya gadis tersebut tersenyum menunduk malu setelah ia tatap. Dapat dia pastikan bahwa yang dimaksud Bintara adalah gadis tersebut. “Ooh, yang it—”

Braak!!

Belum sempat Laren menyelesaikan perkataannya, seorang siswa mengebrak meja tempat mereka duduk, tentunya membuat mereka terlonjak kaget dan berdiri seketika. Suasana yang tadinya ramai, hening seketika.

Dari BentalunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang