Keempat (Kebahagiaan yang Tidak Lama)

127 13 0
                                    

Disaat arunika menyinari seluruh penjuru desa, didalam rumah kayu itu seorang lelaki keluar menerjang cahya jingga tersebut sembari menenteng sepatu dan tasnya. Bajunya yang putih kini terlihat jingga, wajahnya terlihat lebih bercaha begitupula mata coklat terangnya. Dia duduk ditangga, memasang sepatunya satu persatu.

“LAREN!!”

Suara teriakan terdengar, membuat Laren dengan cepat memasang sepatunya. Ia melihat sekilas ke arah bawah, dimana teman barunya yaitu; Bintara dan Geya memang tengah menunggunya di bawah, duduk bersama dengan neneknya di saung yang berada di halaman rumah.

Dia mengambil tasnya dan segera turun tangga, menghampiri kedua temannya. “Ayo pergi.”

Setelah beberama minggu membiasakan diri dari lingkungan baru, hari ini adalah tepat dimana hari pertama Larenza sekolah di kota itu. Menjadi orang baru di desa ini, tentunya dia belum menghapal arah. Di sana terdapat hutan lebat dan jalan yang melenggak-lenggok, dia takut tersesat hingga menyuruh Bintara menunggunya.

“Lama sekali kamu, seperti perempuan saja,” cetusnya, “Bahkan Geyatri yang perempuan tidak lama seperti kamu.”

“Bacot bener lu ya!” ia menatap Bintara tajam, membuat pemuda itu tersenyum dengan gigi yang terlihat.

“Sudah, kalian jangan berantem. Masih pagi ini,” lerai Geya.

“Siap cantik!” kata Bintara dengan hormat, membuat Laren melemparkan wajah julidnya.

Dijalan menuju sekolah, beberapa kali ia terkagum melihat keindahan desa Bentalun. Dimana desa itu adalah desa tradisional yang tentunya tidak banyak motor atau mobil serta kendaraan yang melintas.

Kalau memang ada, ada beberapa saja, bahkan bisa dihitung pakai jari. Karna kebanyakan penduduk desa memakai kuda sebagai alat transportasi. Dan tentu saja desa itu aman dari segala polusi, dengan udara yang segar serta pemandangan di sekelilingnya yang menyejukkan hati.

“Woy, tunggu.” Teriakan seseorang di belakang membuat mereka menghentikan langkah mereka kemudian menoleh ke sumber suara.

Dapat dilihat terdapat dua pemuda melambai ke arah mereka seraya berjalan menuju mereka. Laren menyipitkan mata, memperjelas penglihatannya mencari jawaban siapa dua pemuda itu.

“Na! Jen! Lebih cepat!” teriak Geyatri bersamaan dengan Bintara, sedangkan Laren menutup telinganya karna teriakan yang membuat telinganya sakit.

Mereka menunggu, menatap kedua lelaki itu berlari ke arah mereka kemudian melanjutkan langkah mereka setelah kedua pemuda itu tepat berada di dekat mereka.

“Dasar tidak setia kawan!” ucap lelaki manis itu dengan suara yang tak beraturan menatap Bintara dengan tatapan kesal. “Kenapa tidak menunggu kita?”

“Kalian lupa sama teman sendiri setelah ada Laren, dia saja yang kalian ingat,” lanjutnya.

“Memangnya kalian teman kita?” ucap Bintara enteng.

Perkataan Bintara jelas membuat dua orang yang mengaku temannya itu tidak bisa berkata-kata. Secara tidak langsung, ia menyakal bahwa mereka bukan temannya.

“Anjing emang perkataan lo!” sarkas Laren.

Sedangkan Geya, dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya jengah. Terlihat dia sudah lelah melihat dan mendengar ucapan memutus hubungan pertemanan yang selalu keluar dari mulut pemuda tan itu.

“Na, kita pergi saja. Dia memang bukan temen kita,” ucap pemuda yang terlihat lebih tampan dengan rahang tegas dan tubuh yang kekar menatap tajam Bintara. Setelahnya, dia menarik tangan pemuda manis yang bersamanya tadi lalu pergi dari hadapan ketiga wajah itu.

Dari BentalunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang