"Rasa sakit itu membuatku mati rasa, padahal itu sakit, bodohnya aku malah kehilangan obatnya."
-Aksa Jeandra-
Apa yang dikatakan oleh Kirana tentang demam Jean ternyata benar, kondisi Jean semakin memburuk karena tidak beristirahat. Malam ini suhu badan Jean naik cepat, tubuhnya lemas, kepalanya pening seperti dihantam sebongkah batu besar. Meskipun begitu, Jean tetap memaksakan diri mengerjakan tugas merangkum walaupun dalam keadaan tubuhnya yang mungkin saja hampir kehilangan kesadaran.
Di sela-sela kesibukannya yang tengah mengerjakan tugas, Jean diam sejenak kala telinganya menangkap samar-samar suara gelak tawa yang bersumber dari orang-orang yang tengah makan malam di dapur. Jean menghela napas, berusaha menetralkan perasaannya.
Bahkan disaat seperti ini tidak ada yang tahu kalau Jean sedang sakit, mengajak Jean makan malam bersama pun tidak, malah mereka asyik bergurau seolah semuanya sedang baik-baik saja. Sebenarnya dia siapa di rumah ini, tidak ada yang peduli satu pun.
Setelah diam sejenak, Jean melirik pada sebuah bingkai foto yang terpajang di sudut meja belajarnya. Jean meraih benda itu, menatap pilu pada sebuah foto yang diambil oleh Papanya 10 tahun silam.
Dalam foto itu Jean duduk di pangkuan Bundanya sambil memegang bunga tulip berwarna merah muda-bunga kesukaan Bundanya- begitu juga kakaknya yang memeluk leher Bundanya dari belakang. Di sebuah padang rumput yang luas saat itu, Jean tersenyum bahagia, tidak ada kebohongan dari senyumnya, semuanya masih nyata. Tapi sekarang, hidup Jean sungguh penuh kebohongan, semuanya palsu.
Jean mengelus lembut foto itu, seolah dia tengah mengelus pipi orang yang ada di foto itu. Bayang-bayang kejadian 8 tahun silam kembali bermunculan, menyayat hatinya yang bahkan belum kunjung sembuh.
"Bunda... Kakak... Jean rindu..." Parau Jean.
"Jean lagi sakit, tapi nggak ada yang tahu." Remaja lelaki itu tak lagi mampu membendung air matanya, dia tumpahkan saat itu juga.
"Nggak ada gunanya aku kayak gini. Ayolah Jean, jangan lemah." Jean mendongak, menatap langit-langit kamarnya, menghembuskan nafas pelan seraya mencoba melenyapkan perasaan gundah yang tak karuan menyerang hatinya, pun berharap agar air matanya tak lagi mengalir.
Jean tidak menghiraukan rasa sakit yang menjalar di kepalanya maupun perih yang menyambar ulu hatinya. Dengan terpaksa, dia lantas memaksakan diri untuk menyelesaikan tugas merangkum milik Wisam dan Arga, supaya dia bisa beranjak tidur setelah itu.
Tidak seperti Jean yang sibuk mengerjakan tugas, di dalam kamar yang berada tepat di samping kamar Jean, seorang lelaki yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua dari Jean malah sedang larut dengan ponselnya. Dia sesekali diam sejenak, mengecek apakah ada suara pintu yang terbuka atau tidak, tapi nyatanya sedari tadi sunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSA JEANDRA | Park Jisung
Teen FictionTak heran kalau Jeandra menyebut dunianya sudah tak layak lagi untuk dihuni. Badai dimana-mana, hujan tidak pernah berhenti, petir tak jarang bergemuruh. Tapi itu hanya ibarat, seolah semesta sudah benar-benar membencinya kala itu. Senyumnya bisa me...