Halte bus sepi. Mungkin mereka lebih memilih naik angkot yang murah atau naik kendaraan pribadi. Jarang sekali ada yang baik bus. Hanya beberapa karena kedatangan bus cukup lama. Hampir setengah jam setelah bel pulang sekolah berbunyi. Karena itulah jarang yang naik bus.
Raveena duduk di bangku halte, sedangkan Dylan berdiri di samping Raveena. Dylan merasa lelah duduk, jadi dia memilih untuk berdiri. Ia menatap sekitar. Tidak ada yang menarik menurutnya. Raveena sesekali melirik Dylan. Kali ini Dylan membiarkan Raveena dan tidak menggodanya.
Lenggang. Beberapa menit kemudian Dylan membuka percakapan.
"Adik cantik, lihat ini!" seru Dylan yang kini sedang berjongkok tidak jauh dari halte. Raveena yang penasaran segera menghampiri dan berdiri di belakang Dylan.
"Apa itu kak?" tanya Raveena.
"Lihat!" Dylan menyentuh daun tumbuhan kecil itu. Daunnya mengatup. Raveena terkejut antusias. Raveena segera ikut berjongkok di samping Dylan. Dia menyentuh daun yang lain yang belum tersentuh Dylan. Lagi-lagi daunnya mengatup. Raveena terlihat senang.
"Ini apa kak?" tanya Raveena menunjuk tumbuhan kecil itu.
"Kamu beneran nggak tau ini apa?" tanya Dylan heran. Raveena menggeleng tidak tau.
"Ini namanya Putri Malu," jawab Dylan. Raveena tidak percaya. Namanya aneh.
"Kenapa Putri Malu?" tanya Raveena lagi.
"Kan kamu udah lihat tadi. Dia mengatup saat di sentuh. Karena mengatup saat disentuh seakan malu, makanya disebut Putri Malu." jawab Dylan. Raveena masih tidak percaya.
"Sebenarnya tumbuhan ini namanya Mimosa pudica Linn. Dia mengatup akibat perubahan tiba-tiba dalam keseimbangan air yang terjadi pada batang daun yang kehilangan tekanan air sehingga tangkai daun mengatup." jelas Dylan lagi.
"Oooh, jadi Mimosa pudica Linn ini Putri Malu. Pak Rozi pernah membahas tentang ini. Tapi aku baru tau kalau nama lainnya Putri Malu. Lucu namanya. Tapi kenapa tidak ada bunganya?" tanya Raveena lagi.
"Karena masih kecil," jawab Dylan singkat.
"Kak, aku boleh bawa pulang ini? Mau aku rawat, biar aku tau bunganya." ucap Raveena meminta izin.
"Ini bunga liar, ada durinya. Kamu ceroboh, nanti kalau menyakiti orang rumah." jawab Dylan membuat Raveena cemberut. Raveena tidak marah karena apa yang dikatakan Dylan memang benar, dirinya ceroboh. Bagaimana jika nanti tumbuhannya tidak sengaja ditabrak atau injak, pasti durinya akan menyakiti orang.
Mereka kembali duduk di halte. Kembali menunggu bus. Beberapa menit kemudian bus sampai. Keduanya naik dan duduk dibangku untuk berdua. Raveena duduk di samping jendela. Bus sepi. Hanya beberapa orang saja. Mungkin karena anak sekolah sudah pulang dan orang yang kerja belum pulang.
Hening. Lagi-lagi mereka tidak berbicara. Raveena tidak bisa membuka pembicaraan. Ia takut apa yang diucapkannya tidak nyambung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menunggu Dylan yang bicara. Dylan menghela nafas, Raveena menoleh. Keduanya bertatapan.
"Kenapa kak?" tanya Raveena takut-takut.
"Omong-omong, kamu belum memperkenalkan diri ke kakak!" ucap Dylan.
"Tapikan kakak sudah tau," jawab Raveena.
"Kakak tidak tau," ucap Dylan singkat.
"Raveena, Raveena Ayyana Zoy Thaddeus." jawab Raveena menatap Dylan. Dylan hanya mengangguk membuat Raveena kesal.
"Kalau kakak?" tanya Raveena penasaran.
"Dylan, kakak kamu sudah memperkenalkannya kemarin." ucap Dylan membuat Raveena semakin kesal.
"Nama panjangnya!" ujar Raveena kesal.
"Dylannnda cewek-cewek yang suka aku karena aku ganteng," jawab Dylan semakin kesal. Dylan tidak pernah serius.
"Kapan-kapan saja, kalau kamu sudah besar." ucap Dylan semakin membuat Raveena kesal. Apakah dia kurang besar? Maksudnya dewasa? Dia sudah kelas 12, dan tahun depan dia sudah masuk kuliah. Mama Papa nya bilang dia sudah besar. Sebentar, apa besar yang dimaksud bentuk tubuh? Gendut? Tidak, Raveena tidak mau gendut. Pasti ini tentang umur.
Raveena tidak menanggapinya lagi. Ia memalingkan wajahnya dan menghadap jendela. Sedangkan Dylan kini merasa puas karena melihat Raveena kesal. Jalanan terlihat ramai. Cahaya matahari masuk ke dalam bus dan membuat silau mata Raveena. Matanya menyipit karena silau. Sebuah telapak tangan besar berada diatas dahi Raveena, membuatnya terlindung dari cahaya matahari. Ia menoleh ke Dylan. Dylan tersenyum. Dylan menghalangi cahaya matahari agar tidak mengenai Raveena. Raveena memalingkan wajahnya. Ia tau pasti pipinya memerah karena malu. Jika dia menjadi tumbuhan Putri Malu pasti daunnya tidak hanya mengatup, tapi gugur karena saking malunya.
Dua puluh menit berlalu. Kini mereka sudah sampai. Raveena segera turun diikuti oleh Dylan. Raveena membuka pintu. Sayangnya pintunya terkunci. Raveena berjalan ke arah bunga hias yang ada di meja teras. Dia mengambil kunci dari bawah bunganya, di dalam pot. Lalu membuka rumah. Pasti tidak ada orang di rumah. Karena Raveena tidak punya ponsel, jadi orang rumah tidak bisa menghubungi Raveena.
Raveena mempersilahkan Dylan masuk. Dylan duduk di ruang tamu menunggu Raveena turun dari kamar.
"Kakak mau minum?" tanya Raveena menawari.
"Bagaimana kalau kakak minta es dawet bikinan kamu?" tanya Dylan balik.
"Aku tidak bisa membuatnya," jawab Raveena. Lagi pula ini baru pertama kalinya dia mendapat tamu yang minta es dawet bikinan nya sendiri. Raveena bahkan tidak pernah berpikir membuat es dawet sendiri.
"Kalau es selendang mayang?" Raveena menghela nafas gusar dan segera masuk ke dapur. Kini Dylan yang bingung. Raveena akan membuatkannya? Sungguhan? Padahal Dylan hanya bercanda.
Dylan menunggu. Tidak ada satu menit, Raveena kembali. Dylan terkejut karena Raveena datang cepat sekali. Raveena memberikan segelas air putih di hadapan Dylan. Dylan termangu.
"Kakak mintanya nggak normal. Orang kalau bertamu biasanya jawabnya terserah. Tapi kakak minta es dawet lah, es selendang bidadari lah, eh selendang mayang. Kalau gitu ini air putih, lebih sehat dari es es yang kakak minta." ucap Raveena membuat Dylan terkekeh. Ini benar-benar diluar ekspektasi Dylan.
"Kakak hanya bercanda. Jangan marah adik cantik. Nggak kamu kasih minum juga gapapa!" seru Dylan mengangkat gelasnya.
Raveena menahan lengan Dylan. "Kalau gitu jangan diminum." Lagi-lagi Dylan termangu heran. Benar kata Ravin, Raveena sangat sensitif. Bahkan jika bertengkar dengan macan, macannya lah yang akan minta maaf.
"Kakak haus, Rav!" ucap Dylan menatap Raveena yang masih menahan lengannya.
"Kalau begitu bilang makasih dulu," ucap Raveena masih cemberut.
"Terima kasih adik cantik. Air putih ini pasti akan menyegarkan tenggorokan kakak yang kering karena sudah lama menunggu minum." ucap Dylan dengan senyumannya. Raveena melepaskan tangannya dan membiarkan Dylan minum.
Dylan menghabiskan air putih nya, bahkan tidak meninggalkan setetes pun. Raveena mulai tersenyum puas karena kali ini dia menang dari Dylan. Kapan lagi Raveena bisa menggerakkan Dylan. Raveena tau bahwa Dylan sedang haus karena cuaca luar sangat panas.
"Enak?" tanya Raveena dengan senyum jahilnya.
"Ini bahkan jauh lebih enak dari es dawet dan es selendang mayang. Terima kasih banyak adik cantik!" seru Dylan agar Raveena lebih puas. Raveena terlihat senang karena jawaban Dylan yang mengikuti alurnya.
Tidak lama Dylan di sana. Setelah perdebatan kecil itu, Dylan segera mengambil barangnya yang tertinggal dan kembali ke asrama. Sedangkan Raveena kini kembali ke kamar dan berganti pakaian. Tidak lupa Raveena mengeluarkan jaket Zayn yang dibuang tadi di tempat sampah sekolah. Raveena mencucinya kembali hingga bersih. Setelah bersih dan kering Raveena memasukan ke dalam plastik lalu digantung dalam lemari. Agar tidak kotor lagi, pikirnya. Raveena merebahkan tubuhnya ke kasur dan memejamkan mata. Hari ini melelahkan tapi juga menyenangkan.
❀❀❀❀
KAMU SEDANG MEMBACA
After Break-up
Teen FictionTerlalu banyak kesalahan untuk dimaafkan. Raveena, dia selalu memaafkan kesalahan Zayn. Sebagai kekasih selama empat tahun, Raveena merasa gagal. Raveena merasa tidak bisa mengubah sifat buruk Zayn. Sekuat apapun Raveena bertahan, akhirnya rasa lel...