"Lo kenapa sih, Rav? Dari tadi lo tuh cuma diam aja. Mana cuma mendengus kayak lagi kesel banget gitu," Edlyn mulai kesal. Pasalnya dari tadi Raveena tidak berkutik sama sekali. Justru hanya mendengus kesal dan tidak mendengarkan pembicaraan antara Edlyn dan Ailee.
"Lo masih kesel sama Zayn?" tanya Ailee spontan.
"Siapa yang nggak kesel coba? Dia yang bikin ulah, gue yang minta maaf terus. Gue capek sama dia. Pas kita putus, nama gue yang tercemar. Yang katanya gue selingkuh lah, inilah. Gue capek sama semua yang dilakuin Zayn. Gue emang suka, cinta, tapi sekarang gue capek banget. Kalian ngerti kan?" jawab Raveena memberanikan diri untuk bercerita. Matanya berkaca-kaca ingin menangis. Tapi Raveena tidak mau melakukannya karena hal yang sudah berlalu. Ini pilihannya. Jadi, mau tidak mau dia harus menanggung konsekuensinya.
"Kita paham kok, Rav. Lo yang sabar ya. Di luar sana masih banyak kok orang ganteng, nggak cuma Zayn doang!" seru Edlyn menghibur.
Sepulang sekolah Raveena tidak langsung pulang. Ia hanya duduk di halte bus dan melewatkan bus yang seharusnya ia naiki. Masih ada angkot atau ojek lain pikirnya. Ia menatap sekitar. Udara begitu dingin. Langit begitu gelap. Sepertinya akan hujan. Raveena tidak suka hujan, tapi dia juga tidak mau pulang. Mungkin menunggu sampai hujan reda baru ia pulang.
Benar saja. Beberapa menit kemudian hujan turun. Hujan disertai angin dan juga petir itu membuat Raveena kesal. Pasalnya Raveena tidak suka hujan disertai angin, karena airnya akan mengenai tubuhnya. Begitu juga petir. Suaranya membuat Raveena merasa terganggu juga sedikit takut.
Raveena melihat sekitar. Putri malu yang ia pernah lihat kini sudah basah kuyup. Daunnya sudah menutup sedari tadi. Tapi lihatlah, dia masih kokoh berdiri walau diterpa hujan angin sekalipun. Tidak ada satu daun pun yang jatuh. Walaupun kecil dia sangat kuat.
"Putri malu, sepertinya aku lebih malu daripada dia. Aku malu pada diriku sendiri yang lemah. Aku mudah goyah. Bahkan aku masih ingin kembali dengan Zayn yang sudah menyakitiku. Tapi-" Kalimatnya tertenti. Airmatanya tidak bisa ia bendung lagi. Kini Raveena benar-benar menangis.
"Bagaimana bisa aku kembali sedangkan itu sangat menyakitkan. Aku tidak tau dia menyakitiku dengan apa, tapi ini sangat sakit. Dia tidak pernah berusaha untuk berubah sejak awal. Dia memang baik padaku, tapi aku tidak bisa membiarkan dia berbuat seenaknya dengan orang lain. Itu hal yang jahat, Zayn!" Raveena benar-benar seperti orang gila. Menangis dan berbicara sendiri ditengah hujan angin disertai petir. Jika ada yang melihatnya pasti akan mengira Raveena gila, atau justru mengasihani Raveena.
Beberapa jam kemudian. Hujan sudah reda, hanya menyisakan gerimis kecil yang bisa diterpa. Raveena masih duduk di halte bus. Sedangkan hari sudah malam. Beberapa bus yang berhenti, berlalu begitu saja meninggalkan Raveena. Tidak ada yang bertanya kenapa Raveena? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia butuh sesuatu?
"Kamu baik-baik saja?" Satu kalimat itu berhasil membuat lamunan Raveena bubar. Ia mendongakkan kepalanya dan terkejut.
"Untuk apa lo datang kesini?" tanya Raveena memalingkan wajahnya.
"Aku ingin meminta maaf," jawabnya.
"Tidak ada yang harus dimaafkan, Zayn!" Ya itu adalah Zayn. Dia membawa sekuntum bunga tulip putih sebagai permintaan maafnya.
"Gue nggak akan menerimanya Zayn. Pergilah. Gue sudah cukup lelah sama lo," lanjut Raveena sama sekali tidak menatap Zayn.
"Aku mohon Raveena, maafkan aku. Aku tau aku salah. Beri aku kesempatan kedua!"
"Kesempatan kedua? Sepertinya lo lupa Zayn. Kalaupun gue ngasih kesempatan, sepertinya ini kesempatan yang ke seribu atau bahkan kesepuluh ribu Zayn!" ucap Raveena langsung berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Break-up
Teen FictionTerlalu banyak kesalahan untuk dimaafkan. Raveena, dia selalu memaafkan kesalahan Zayn. Sebagai kekasih selama empat tahun, Raveena merasa gagal. Raveena merasa tidak bisa mengubah sifat buruk Zayn. Sekuat apapun Raveena bertahan, akhirnya rasa lel...