06. Getting Closer

127 19 2
                                    

"CONGRATULATION! CHEERS!"

Tentu saja kemenangan kini berada di telapak tangan Chimon dan Nanon. Perusahaan tempat mereka mengais rejeki memenangkan tender dengan Sukumpantanasan Company.

Saat ini mereka sedang merayakan kemenangan itu berdua saja di apartemen Chimon. Kenapa hanya berdua ? Ya karena ini sudah ronde kedua, awalnya mereka sudah merayakan itu di kantor dengan yang lain, tapi sayangnya tidak ada alkohol kala itu hingga Nanon berinisiatif untuk merayakan kembali dengan Chimon, dan lagi mereka akan lebih bebas minum jika berdua.

"Pihak kita bakalan ketemu sama pihak dari Sukumpantanasan Company." Ucap Nanon meminum winenya sembari melirik Chimon yang duduk selonjoran di lantai, menumpuhkan badannya pada kaki sofa.

"Ya iyalah bangsat." Timpal Chimon agak kesal.

"Lo atau gue ?"

"APAAN SIH WAN! YANG JELAS! LO ATAU GUE APA ?"

"SENSI BANGET ADUL. KENAPA ? YAH MAKSUD GUE, LO ATAU GUE YANG KETEMU SAMA MEREKA ?"

"Oh." Hanya itu, dan Chimon kembali sibuk dengan gelas winenya.

"EH ADUL JAWAB!" Nanon yang duduk di atas sofa kemudian ikut bergabung duduk di lantai bersama Chimon.

"Kapan Wan ?"

"Akhir bulan ini sih. Berarti minggu depan."

"Lo aja."

Ada jeda sedikit, sebelum Nanon berucap lagi. "Hm, gue ada acara hari itu."

"EH WAN NGAPAIN LO KASIH PILIHAN KALO UJUNGNYA LO NYURUH GUE ?" Chimon berdiri, memandang emosi Nanon yang tersenyum seperti tidak berdosa.

"Gak. Gue gak mau." Lanjut Chimon.

"Kenapa Chi ? Takut lo ketemu 'dia' ?" Nanon kemudian meraih tangan Chimon, mengisyaratkan sahabatnya itu untuk duduk.

Wajah Chimon yang awalnya kesal kini makin menjadi, di jambaknya rambut Nanon kasar dan menindih tubuh Nanon. Nanon yang sudah terlungkup susah payah bernafas kemudian menepuk-nepuk lantai tanda dia sudah kalah.

Chimon bangkit kembali dan tertawa melihat Nanon dengan muka merahnya.
"Dia gak sih yang harusnya takut ketemu gue Non ?"

Nanon yang awalnya kesal kini memandang sahabatnya itu dengan kagum. Dipeluknya Chimon erat-erat.

"Thats my boy! Gue bangga sama lo Chi." Ucap Nanon masih dengan Chimon dalam pelukannya.

"Iyalah. Gue punya abang juga." Chimon dan keyakinannya tentang perasaannya pada Purim. Hatinya kini sudah berlabuh, bagaimana mungkin dia kembali pada dermaga sebelumnya yang tidak menyambutnya kan ?

🍃🍃🍃

Pemandangan dari lantai tiga puluh cukup menawan. Dari sini kendaraan terlihat seperti mainan yang bergerak lucu, manusia-manusia terlihat seperti semut. Tidak jarang ada burung-burung kecil yang hinggap di jendela kaca gedung itu.

Bisingnya kota kadang menjadi alunan sendiri dikala sibuk mendera. Sudah setahun ini Perth kembali ke Indonesia setelah menghabiskan tahun-tahun hidupnya di negeri Jiran.

"Minggu depan kita ketemu sama pihak dari PT. Second." Perth yang mulanya sibuk pada laptopnya kini memberi perhatian pada lawan bicaranya.

"Siapa ?"

"PT. Second, mereka yang menang tender untuk pembangunan Rumah Sakit kita di Ibu Kota."

"Oh ya ? Bagus dong. Kita bisa gerak cepat untuk proyek itu."

"Mereka ngirim satu perwakilan kok. Jadi lo atau gue nih yang ketemu ? Atau kita berdua ?" Tanya Pawat, sahabat karib sekaligus asisten Perth.

"Hmm, boleh deh kita berdua aja." Jawab Perth.

"Oh oke deh, nanti gue hubungin Pak Chimon, katanya dia yang bakal ketemu kita."

"Si-siapa Wat ?" Pawat bingung dengan perubahan ekspresi yang begitu kentara pada sahabatnya, dengan pelan dan yakin dia mengulangi nama yang dia sebutkan tadi. "Chimon Adulkittiporn."

Seketika air muka Perth berubah. Jantungnya berdegub kencang. Tangannya bertaut di bawah meja kerjanya. Kepalanya mendadak berat dan yang paling terasa hatinya mencelos. Sungguh efek luar biasa hanya untuk sebuah nama.

"Kenapa lo ?" Pawat pun semakin bingung dengan reaksi Perth hanya karena nama itu.

Apa aku masih punya muka buat ketemu kamu Chi ?
Oh bukan, bukan. Apa kamu masih mau ketemu aku, setelah semua yang terjadi ?

🍃🍃🍃

Saat Purim memutuskan kembali ke kota kelahirannya, saat itu juga dia siap untuk menetap. Bukan hanya karena pekerjaan, namun separuh hatinya juga tinggal di kota ini. Kini dia memantapkan hatinya, siap untuk melanjutkan hidup dengan seseorang yang sudah menemani dia selama ini, pilihan hatinya.

Hari hampir berakhir dalam bulan November ini, hujan kian sering berkunjung dan dingin kian menyelimuti kota.

"Chi, " Purim menggenggam tangan Chimon yang duduk di sebelahnya. Jalanan sedang macet, kendaraan merayap lambat di tengah hujan dan dingin, namun hangat tangan Purim berhasil sampai pada Chimon hingga di hatinya.

"Kenapa abang ?" Chimon menoleh mendapati Purim yang masih setia memperhatikan jalanan di depan mereka dengan satu tangan di balik kemudi membuat lelaki berkulit cerah itu makin mempesona saja.

"Aku mau ketemu Papi sama Mami kamu."

"Kan udah sering ketemu abang. Kemarin juga ketemu kan pas jemput Chi di rumah ?" Chimon merasakan genggaman Purim makin mengerat, perlahan suhu dingin di luar menjalar masuk di mobil.

"Ayo hidup sama-sama Chi. Aku mau kamu jadi yang terakhir aku lihat saat sebelum tidur. Aku mau kamu jadi yang pertama dikala aku buka mata setiap pagi. Aku mau kamu jadi bagian perjalanan hidup ku. Aku mau kamu menua sama aku. Aku mau kamu, Chimon Adulkittiporn."

Ada jeda sebentar. Purim merasakan getar tangan Chimon yang dia genggam. Keduanya tampak kaget sendiri dengan topik pembicaraan mereka.

"Abang ... " Ucap Chimon lirih sambil menahan tangis.

"Makanya, aku mau ketemu sama Papi dan Mami kamu secara resmi meminta kamu di hadapan mereka."

"Abang ... "

"Iya Chi kenapa ? Jangan bikin abang tambah deg-degan." Ada raut khawatir di wajah Purim. Entah bagaimana Chimon menyikapi ungkapan hatinya malam ini.

"Abang ini lagi lamar Chi kah ?" Chi dengan muka semerah-merahnya dan mata berkaca-kaca hanya tersenyum kikuk salah tingkah sendiri kala dada Purim sudah bertaluh begitu hebatnya.

"Kinda ?" Jawab Purim.

"HAHAHAAAA." Mereka lalu berpandangan. Sepersekian detik akhirnya tawa mereka meledak, melerai segala haru dan canggung yang sempat terasa. Chimon mengangguk di tengah tawanya  kemudian perlahan genggaman tangannya pada Purim berganti menjadi pelukan. Chimon memeluk tangan kiri Purim dan menyandarkan kepalanya di situ.

Malam ini, di tengah hujan, macet dan dinginnya Ibu Kota, sepasang kekasih baru saja mengambil langkah lebih serius. Ternyata semudah itu berkomitmen dengan orang yang tepat, tidak butuh perayaan khusus. Cukup mereka berdua yang berjanji dan menentukan. Dan juga tentu saja malam itu mereka berdua habiskan di apartemen Chimon, deep talk hingga fajar datang menyingsing.

🍃🍃🍃

Author Notes :

Guys please let me know what do you think about this story ?
Bingung gak sama alurnya ?
Aku bikin ini alur maju mundur. Jadi you guys know what happened to them in the past gitu loh👻

Let Me BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang