Keinginan Kecil

273 23 0
                                    

Latihan dari pagi-pagi buta sampai malam masih lebih baik dibandingkan acara sesi keakraban. Kalau bisa, Jennie mau pura pura kesakitan karena datang bulan. Dia memang ahlinya menyuarakan apa yang dipikirkan tanpa disaring, tapi dia tidak pandai berakting.

          Acara penutupan pelatihan ini adalah yang paling dia hindari. Jennie malas berada di tengah-tengah anggota lain dan mendengarkan mereka menyampaikan kesan dan pesan selama pelatihan ini.
          Apalagi setelah kejadian semalam. Mereka masih berbisik-bisik menjelekkan dirinya. Yang diomongin seperti itu pastinya capek juga. Jennie heran kenapa mereka tidak memilih berbicara langsung kepadanya daripada cara picik seperti itu.
          Mau tak mau, Jennie harus mengikuti acara tersebut. Masih bertempat di gimnasium. Seluruh anggota pemandu sorak disuruh duduk dilantai membentuk lingkaran.
        Namanya sesi keakraban, tapi Jennie tidak ada niat untuk mengakrabkan dirinya pada siapapun. Setidaknya dia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Sebenarnya bukan salahnya jika pernah disakiti oleh temannya sendiri. Salahnya itu adalah mau-maunya berteman dengan orang itu. Pokoknya, dia berjanji tidak akan jatuh pada lubang yang sama.
       Jennie memilih posisi paling pojok dekat pintu keluar. Jaga-jaga untuk dirinya bisa mengendap-endap pergi dari tempat ini. Semoga saja dia tidak ketiduran saking bosannya.
        Jennie hanya perlu bersabar diri sampai acara ini selesai.
        "Terimakasih yang sudah berpartisipasi untuk mengisi kegiatan yang menyenangkan ini," sambut pelatih. Kedua tangan nya merentang ke dua sisi.
       Menyenangkan dari mana? Jennie menopang dagunya dengan tangan yang bertumpu pada lututnya. Matanya menatap malas.
       "Sebelum acara ini ditutup, kita akan saling berbagi pengalaman singkat di sini. Sampaikan kesan dan pesan kalian."
        Kalimat selanjutnya tidak begitu terdengar jelas karena Jennie tidak menaruh fokusnya pada pelatih yang masih berceloteh. Dia malah menyadari masih ada bisik-bisik yang berlangsung. Beberapa cewek terkekeh sembari mencuri pandang padanya.
          Jennie berusaha membaca gerak bibir cewek-cewek yang sedang sibuk dengan kegiatan mereka. Lucu karena pelatih tidak menyadari bahwa tidak ada yang peduli kata sambutan nya. Yang Jennie tangkap adalah... sesuatu... Jennie... sesuatu... Nicky.
      Tidak begitu jelas.
       Saat pelatih akhirnya mencoba komunikasi dua arah, semuanya mendadak memperhatikan. Semua mata langsung tertuju pada pelatih. Bibir terkatup rapat tanpa ada bisikan-bisikan lagi.
      "Jadi, siapa yang mau berbagi duluan?"
        Jangankan jadi yang duluan, jadi yang berbagi saja Jennie menolak keras.
        Kemudian Jennie melihat satu tangan junior yang kemarin terangkat. Perasaannya seketika tidak enak. Dirinya bertanya-tanya apakah junior nya ini mau bermain jadi pengadu. Maka Jennie mengamati nya dengan tatapan lekat.
       Junior itu berdiri dan berjalan ke tengah-tengah lingkaran.
"Halo, semuanya. Seperti yang kalian tahu, kemarin aku ngerepotin semuanya. Aku mau berterimakasih buat kak Nicky yang mendukung ku untuk jadi lebih baik." Junior itu bertemu mata dengan Nicky. Jennie melihat Nicky mengacungkan kedua jempolnya ke udara dengan tatapan bangga. "Makasih juga nasihat dari kak Jennie."
         Tidak perlu menjadi seorang ber-IQ tinggi untuk mengetahui junior itu sedang menyindir Jennie. Reaksi dari anggota pemandu sorak yang lain adalah kekehan kecil sembari melirik Jennie.
       Orang bilang jika si A dan si B tidak menyukai si C maka si A dan si B akan menjadi sahabat dekat sehidup semati. Peran Jennie adalah si C, tentunya.
     Sebenarnya Jennie sudah terbiasa disisihkan seperti ini. Hal yang sudah sangat akrab untuk nya. Dia belajar hal ini berawal dari rumah nya. Kedua orang tuanya adalah pengusaha. Meski Jennie dan mereka tinggal satu atap yang, dia tidak pernah bertemu dengan mereka. Selalu berselisih waktu.
        Makanya hal semacam ini tidak ada apa-apanya. Dia tidak akan rugi kalau tidak punya teman.
       Menjaga raut wajahnya, Jennie itu. Dia tidak mau ada guratan halus muncul hanya karena persekongkolan kecil Nicky dan semua anggota pemandu sorak lainnya. Dia ingin menunjukkan bahwa hal itu tidak berpengaruh pada hidup nya. Selama mereka tidak mencelakakan Jennie sedang naik ke puncak piramida, rasanya tidak ada yang perlu di cemaskan.
      Hanya saja mereka memberikan sesuatu yang tidak ingin dirasakan kembali oleh Jennie. Dia merasa kesepian karena sendirian.
       Jennie memikirkan kedua orang tuanya.
       Dia teringat dengan keadaan keluarganya.
       Orang kedua maju ke tengah untuk memberikan testimoni. Itu Nicky.
     Bagi Jennie, sudah tidak ada lagi alasan mengapa dirinya perlu terjebak disini lebih lama. Diam-diam dia geser tubuh nya kebelakang, lalu keluar melalui pintu. Rasanya dia juga cocok menjadi ninja, selain menjadi pemandu sorak.
      Sudah berada diluar gimnasium, Jennie bisa bernapas lega. Dia mulai melangkahkan kakinya tak tentu tujuan. Hanya mencari tempat yang tersembunyi, dia itu.
       Langit sudah gelap. Matahari sudah mulai terbenam. Seharusnya Jennie tidak pergi sendirian di daerah kamp pelatihan yang berada di kabupaten Bogor. Tapi tidak tidak peduli dengan hal itu. Kerjaannya adalah menonton film horor di kamarnya yang gelap gulita. Jadi dia tidak merasa takut akan hal seperti itu.
       Merasa sudah aman, Jennie merogoh saku jaket nya. Dia meraih ponsel. Punggung nya bersandar pada pohon. Pemandangan di hadapan nya adalah kaki gunung Salak. Berbeda sekali dengan pemandangan keseharian nya yang merupakan gedung dan kendaraan mengantri dijalanan Jakarta.
        Jennie menarik napas dalam-dalam sebelum menekan tombol panggilan. Seolah dia akan menelepon pujaan hati. Kali ini, yang pertama, dia menghubungi ibunya. Tangannya mengarahkan ponsel ke telinga.
     Hanya nada sambung yang terdengar.
     Belum ada jawaban.
     Jennie bertanya-tanya apa ibunya lupa menyimpan nomor nya sehingga tidak langsung diangkat? Soalnya biasanya nomor tidak dikenal jangan harap diangkat oleh ibunya.
      Kalau Nicky kemarin berkata bahwa dirinya seperti tidak memiliki ibu, mungkin perkataan itu ada benarnya juga.
     Yang kedua, Jennie mencoba menghubungi ayahnya, masih nada sambung saja yang terdengar. Kedua orangtuanya tidak memberikan jawaban. Akhirnya Jennie menyerah dan memilih untuk melihat media sosialnya. Mencoba mengalihkan suasana hati dari kegagalan menelpon orang tuanya.
        Baginya, memiliki segala akun media sosial hanya bertujuan untuk mengintip kehidupan orang lain tanpa mengumbar miliknya.
       Lagipula apa yang perlu dipamerkan olehnya?
       Dia melihat update-an sepupunya yang sedang makan menjelang malam bersama keluarganya. Ada perasaan panas yang menjalar ke seluruh tubuh Jennie. Sampai rasanya dia ingin melempar ponsel nya saja jauh-jauh.
       Kenapa itu bukan aku sih?
       Tetapi ponsel nya sama sekali tidak bersalah. Yang salah itu semesta.
      Jennie mendongakkan kepalanya seolah menantang langit dan Dia. Telapak tangan nya terkepal. Ponsel nya di genggam erat. Matanya menatap nyalang. Rahang nya mengeras.
     "Dari segala yang ada di dunia, apa sulit nya ngasih yang bisa nemenin tanpa keinginan menusuk dari belakang? Tinggal ngasih yang enggak akan biarin aku ngerasa sepi? Yang selalu siap ada dimana dan kapan pun yang aku mau?"
     Yang berseru itu sudah habis kesabarannya. Semua uneg-uneg ditumpahkan begitu saja. Dia berharap perasaannya bisa lega setelah ini.
      Apa keinginan nya itu terlalu menuntut?
     "Aku cuma ingin bisa disambut pas pulang kerumah dan ada yang menunggu-nunggu kehadiran ku,"bisiknya. Kepalanya kini tertunduk. Ada perasaan konyol karena mendapati dirinya berbicara sendiri seperti ini.
      Dibandingkan memohon, Jennie menuntut. Dia sudah lelah mengharapkan kehadiran orang tuanya.
         Rasanya dadanya menjadi lapang setelah marah-marah seperti itu. Melepaskan beban pikiran memang harus dilakukan sekali-kali. Dia ingin mencegah otaknya mengepul karena terlalu panas.
     Jennie menarik napas dalam dan panjang.
     Kemudian Jennie memutuskan untuk kembali ke gimnasium. Siapa tau acara itu sudah selesai dan sudah waktunya mereka menaiki bus. Jennie tidak mau tertinggal di tempat ini.
         Dugaannya benar. Jennie melihat anggota lain sudah berjejer membawa tas-tas mereka untuk menaiki bus. Lantas Jennie segera berlari mengambil tasnya, lalu bergegas ambil posisi mengantri paling belakang. Napasnya agak tersengal-sengal. Sibuk mengatur napasnya kembali, Jennie tidak menyadari pelatih mendekatinya. Siap mengabseni kehadiran anggota pemandu sorak.
         "Saya kira kamu udah masuk," kata pelatih. Matanya meneliti. Kedua alisnya terpaut membuat kerutan halus semakin banyak di wajahnya. "Soalnya dari tadi enggak terlihat."
        "Oh, tadi saya ke toilet dulu, Bu,"jawab Jennie, berusaha menjaga suaranya tetap tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bahkan dia menambahkan senyum simpul, meski sekejap. "Daripada nanti repot."
       Pelatih mengangguk seolah mengerti betul maksud Jennie. "Bener, itu langkah yang bijaksana. Daripada kebelet ditengah jalan."
      Refleks, Jennie menghembuskan nafas panjang. Lega pelatih nya tidak menaruh curiga lebih. Dia menaiki tangga bus dan masuk. Dari kaca bus, dia lihat pelatih kembali mengarah gimnasium. Sepertinya pelatih sedang mengecek ulang lokasi, memastikan tidak ada yang tertinggal.
          Bagi Jennie yang tertinggal hanyalah keinginan kecil yang konyol itu. Seiring langkah nya didalam bus dan saat menempatkan diri dibangku kedua dari terakhir, dia melupakan apa yang tadi diucapkannya.
        Keluh kesah yang diteriakkan pada udara hampa.
       Jennie memasang earphone-nya. Dia memutar playlist di ponselnya dengan volume cukup keras. Lebih baik seperti ini dibandingkan mendengar percakapan cewek-cewek lainnya. Dia juga berniat untuk tidak sepanjang perjalanan. Salah satu strategi untuk mencegah dirinya mengalami mabuk perjalanan.
       Kalau dipikir-pikir, pelatihan ini memang melelahkan. Kelopak matanya sudah berat dalam waktu cepat.
       Kemudian dia merasa berada antara bangun dan terlelap. Matanya berat, tapi dia masih terjaga. Dia ragu apakah sudah tidur atau belum.
     Jennie berusaha agar tidak mabuk perjalanan. Dia mengambil permen dari tasnya. Permen bisa meredakan perasaan ganjil ini.
      Dari balik jendela, Jennie mencoba melihat keluar. Tidak ada yang bisa dilihat karena sudah gelap.
       Kemudian Jennie melihat bayang-bayangan aneh di luar sana.
    Kelebatan-kelebatan warna-warni dengan latar belakang hutan gelap. Atau kelebatan wajah-wajah?
    Mungkin kecapekan. Mungkin salah lihat.
     Jennie kembali memejamkan matanya dan berharap dia akan cepat tiba di Jakarta. Dia sudah kangen tempat tidurnya. Meskipun tanpa rindu rumah besar yang sepi itu...........

Menemani Setiap Detik Rasa Sepi (Jensoo Version )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang