Sungguh, Gue Itu Temen Lo

162 18 1
                                    

Ini tidak seperti bayangan nya saat berharap. Ini sama sekali bukan keinginan nya. Tapi Jennie tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak tahu sampai kapan bisa melihat hal-hal yang seharusnya tidak terlihat.

Bagaimana dirinya menghadapi kenyataan yang seharusnya tidak ada menjadi begitu nyata?

Bohong kalau Jennie bilang dirinya tidak takut. Buktinya, dia sudah entah berapa lama berada di dalam kamarnya. Mengurung dirinya sendiri. Sama sekali tidak ada niat untuk keluar dari kamarnya.

Agaknya dia menyesal tidak menghabiskan makanan tadi. Sekarang dia merasa lapar bukan main. Hanya saja dia tidak mau beranjak dari tempat tidur.

Di sini dia merasa aman.

Perut nya keroncongan seolah menjerit kelaparan. Yang punya perut hanya bisa usap-usap diri dengan sabar. Setidaknya Jennie bisa bersyukur karena kamarnya tidak ada penghuni lain selain dirinya.

Jangan sampai ada. Kalau ada, nanti dia akan tidur dimana?

Kedua lengannya memeluk bantal dengan erat. Jadi nanti dia tinggal membenamkan wajahnya ke bantal jika ada yang masuk ke dalam kamarnya.

Dugaannya benar. Tak lama, satu kepala menyembul di daun pintu.

Jennie memejamkan matanya meski bantal sudah menjadi pelindung. Selama ini dia menganggap dirinya selalu sendirian dan sekarang perasaannya tidak akan pernah sama lagi. Dia tahu bahwa dirinya tidak benar-benar sendiri.

"Permisi," ujar Jisoo. "Boleh masuk?"
Mengetahui pemilik suara ini, Jennie mengangkat wajahnya. "Mau apa lo? Jangan ganggu gue!"
"Gue enggak ada niat ganggu lo, kok." Suara nya terdengar kalem, tapi tidak membantu Jennie sedikit pun.
Jennie masih gusar. "Terus mau lo dan temen-temen lo apa? Mau ada niat jahat?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Jennie, Jisoo malah meminta izin. "Gue boleh masuk?"

Jennie memicingkan matanya. Kecurigaan nya semakin bertambah. Kedua alisnya mengerut nyaris bertemu di pertengahan dahi. "Bener ya, mau nyeret gue ke alam sana apa, ha?" Nada bicara nya di beri penekanan. Jennie berharap hal itu bisa mengintimidasi seorang hantu. "Kurang temen apa lo?"

"Jangan sewot, ah. Gue masuk biar lo enggak teriak-teriak gitu. Nanti tetangga pada nganggap lo aneh-aneh."

Jennie tak menjawab juga tak menolak. Lalu dia melihat Jisoo berjalan ke arahnya.

Seolah tahu Jennie merasa risi, Jisoo memilih duduk di kursi meja belajar Jennie. Dia memberikan jarak yang memang diperlukan Jennie antara kursi belajar dan tempat tidur. Cowok itu menatap pandangan mata Jennie yang masih menunjukkan rasa waspada.

Jennie menyadari bahwa Jisoo tidak benar-benar duduk di kursi itu. Tubuhnya melayang.

"Gue dan yang bisa lo lihat lainnya enggak ada niat jahat, kok. Kami juga enggak mau ganggu. Ya, enggak jauh beda lah ama manusia. Kalau enggak ganggu, yang enggak bakal balas ganggu. Selama ini juga hidup di dunia masing-masing, kan? Penghuni rumah lo itu justru baik-baik."

Jisoo lalu menjelaskan bahwa dia dan mereka itu hal yang biasa. Padahal ada alasan nya mengapa manusia yang masih hidup tidak bisa melihat mereka.

Karena itu bukan biasa!

Seberapa keras otaknya mencoba menerima, tidak langsung berhasil membuat Jennie memaklumi.

"Jadi lo penghuni rumah gue juga?" Tanya Jennie. Kedua alisnya masih mengerut. Tidak ada perubahan ekspresi pada mimik mukanya. Masih penuh kecurigaan.

"Kalau gue, bukan."
"Jadi lo itu apa?"
"Jodoh lo. Cantik-cantik jangan lemot, dong."

Bukannya merasa tenang dijelaskan seperti ini, Jennie merasa emosi dengan ucapan si hantu ini. Ganteng, tapi hantu. Sama aja bohong.

"Ya, selama ini lo dimana?" Jennie mendengus.
"Gue enggak ingat. Pokoknya waktu lo nantangin Tuhan dengan permintaan lo... Tiba-tiba gue kayak kesambar listrik dan langsung ketemu sama Lo." Kedua tangan nya mendramatisasi ucapannya.

Menemani Setiap Detik Rasa Sepi (Jensoo Version )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang