Perut kosong yang berteriak bahkan mencaci maki membangunkan Jennie dari tidurnya. Alarm alami memang sepantasnya lebih jitu dibandingkan alarm ponsel. Tangannya meraba-raba nakas untuk mencari ponselnya.
Tidak ada di tempat biasa.
Jennie beranjak dari tempat tidur. Lalu dia mulai merapikan tempat tidurnya. Kakinya tidak sengaja menendang sesuatu. Ponselnya, ternyata. Tubuhnya membungkuk untuk memungut.
Lalu Jennie mengecek ponselnya. Layarnya tidak menunjukkan jumlah panggilan masuk ataupun pesan sama sekali. Tidak ada yang mencarinya, intinya.
Sudah biasa.
Melihat jam pada ponselnya, Jennie paham mengapa dia lapar sekali. Waktu menunjukkan pukul satu siang dan belum ada asupan yang masuk ke dalam pencernaan nya.
Masih mengenakan piyama bercorak garis berwarna abu-abu, Jennie membuka pintu kamarnya. Dia melangkah dengan menyeret kakinya. Badannya masih terasa berat. Kelopak matanya pun masih tak kalah beratnya. Seolah kasur di kamar nya masih memanggil agar dia tidur kembali, tapi perut harus diisi.
Suasana rumahnya agak gelap karena lampu-lampunya tidak menyala. Bukan hemat listrik, tapi minim penghuni.
"Bi?" Panggil Jennie.
Hanya ada dua alasan mengapa Jennie memanggil bibi. Pertama, menanyakan makanan. Kedua, menanyakan kabar orang tuanya. Bibi lebih sering bertemu dengan orang tuanya karena selalu ada dirumah.
"Bibi?" Jennie mencoba memanggilnya sekali lagi.
Jennie makin mengeraskan suaranya. "Bi?"
Panggilan nya tidak ada yang menyahut.
Rumah Jennie berlantai dua. Kamarnya ada di lantai satu. Tepatnya di dekat tangga. Kamarnya mengahadap ruang keluarga yang terlalu luas tapi jarang dijadikan tempat untuk keluarga nya berkumpul bersama. Dapur dan ruang makan ada di sisi lain rumah. Jika menghitung langkah nya, ada dua puluh langkah untuk tiba di ruang makan.Entah apa dalam pikiran orangtuanya sehingga memilih meja makan besar dan panjang dengan delapan kursi. Terutama, hanya satu orang yang menggunakannya. Hanya Jennie.
Dimeja makan berlapis kaca itu, dia melihat ada makanan ditutup tudung plastik. Dipenutup nya terdapat secarik kertas. Tulisan Bibi.
Non, ini makanannya silahkan dihangatkan dulu. Bibi udah izin, Ibu untuk pulang dulu. Anak saya sakit. Besok semoga sudah kembali.
Berkomunikasi dengan seluruh orang dirumahnya, Jennie harus menggunakan secarik kertas seperti itu. Setidaknya Bibi masih meninggalkan pesan dibandingkan orang tuanya. Mereka bahkan tidak menelpon Jennie ataupun menjawab teleponnya.
Tangannya mengangkat penutup makanan. Dia melihat sepiring spaghetti meatballs. Kesukaannya. Kemudian dia meraih piring itu dan memanaskan nya di microwave yang berada di atas meja dapur terbuat dari marmer. Lengannya tidak sengaja menyentuh permukaan marmer yang terasa sangat dingin.
Setelahnya, dia kembali ke meja makan membawa santapan yang mengepulkan uap putih. Niat hanya mengahangatkan, tapi Jennie malah memanaskannya lebih dari yang diinginkan. Dia memilih kursi yang biasanya untuk diduduki. Kursi sang penjamu, begitu sebutan Jennie. Sayangnya, tidak ada orang yang dijamu.
Jennie sudah terbiasa dengan hal itu semua.
Jennie memikirkan apa kedua orangtuanya semalam pulang atau tidak. Jika di pikir-pikir, dua hal itu tidak jauh berbeda. Jika pulang pun, mereka tidak benar-benar ada dirumah. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing.
"Kamu makan sendirian aja? Kasihan sekali."
Suara itu.
Suara yang tadi pagi.
Jennie tersedak. Dia mengangkat wajahnya dan matanya menemukan cowok yang membangunkan nya tadi pagi. Wajah itu sedang menunjukkan ekspresi yang biasa dimunculkan orang untuk memberikan rasa simpati.Jennie terbatuk dan kepalan tangan nya menepuk dadanya agar sakit akibat tersedak itu reda.
Sekali lagi, Jennie mencoba mengamati cowok yang duduk di kursi tepat berhadapan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menemani Setiap Detik Rasa Sepi (Jensoo Version )
ФэнтезиJennie cantik dan anggota pemandu sorak terbaik di sekolahnya. Tapi setiap latihan dan pertandingan dia merasa kesepian di dalam keramaian. Dia punya teman-teman, dulu. Dia punya keluarga sangat bahagia, dulu. Semua berubah setelah setiap detik rasa...