Jennie mencari tempat untuk menjernihkan pikiran dan meredam emosinya yang sempat terpancing. Ingin menjauh dari Jisoo dan pertanyaannya yang membuat kesal, Jennie itu. Dia tidak mau menjawab pertanyaan yang menyangkut orang tuanya.
Dia menuju taman komplek, tidak jauh dari rumah nya. Dulu dia sering ke taman ini bersama orangtuanya. Bahkan sangat sering saat Jennie berada di bangku kelas 5 SD. Waktu itu bisnis orang tuanya belum sebesar sekarang. Ternyata semakin sukses bisnis, semakin menyita waktu.
Masih belum terlalu gelap, Jennie tidak perlu panik. Lagipula banyak kendaraan berlalu lalang. Belum terlihat tanda-tanda yang akan membuat nya panik.
Atau tanda kehadiran Jisoo.
"Apa-apaan sih cowok itu? Main nanya-nanya hal pribadi aja," gerutunya pada dirinya sendiri. Menyibukkan diri.
Selama perjalanan ke tempat ini, Jennie hanya fokus ke langkah kakinya. Dia tidak mau memandangi sekitar karena tidak mau melihat mereka.
Dulu taman ini punya banyak permainan untuk anak kecil. Perosotan dan jungkat-jungkit. Sekarang taman ini tidak punya area permainan seperti itu. Hanya ada tempat duduk dan bebatuan untuk refleksi. Mungkin sekarang tidak banyak orang tua mengizinkan anak mereka bermain di luar untuk waspada kasus penculikan atau sebagainya.
Sempat terpikir apakah dirinya lebih baik diculik saja agar orangtuanya jadi peduli dengan nya. Pikiran itu segera ditampik mentah-mentah. Jennie tidak ingin berpikir seperti orang yang putus asa.
Dia berbeda. Dia harus kuat.
Jennie baru saja akan duduk di bangku taman saat langkah nya terhenti begitu saja. Dia melihat seseorang yang duduk disana. Darah memenuhi seseorang itu sehingga Jennie tidak bisa menebak apakah dia cowok atau cewek.
Jennie menahan napas. Bahkan dia tidak mau membayangkan bagaimana cara orang ini meninggal sehingga bisa berpenampilan seperti itu. Kedua kakinya sama sekali tidak bisa bergerak. Jennie memejamkan matanya.
Beberapa orang yang berlalu-lalang melihat Jennie yang mematung. Mungkin mereka berpikir kenapa cewek ini terlihat ketakutan padahal tidak ada apa-apa.
Jennie mendengar bisik-bisik.
"Kenapa tuh cewek?"
"Abis putus cinta kali."
Coba saja mereka bisa melihat apa yang dilihat Jennie. Bisa jadi mereka lari terbirit-birit.Kemudian Jennie mendengar suara lain.
"Jennie... Ini Jisoo." Suara itu berasal dari balik punggung nya. Tidak diduga, suara itu cukup membuat Jennie merasa tenang. "Jangan takut. Ada gue disini. Gue enggak bakal biarin sesuatu terjadi sama Lo."Jennie menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Seolah itu bisa menghilangkan rasa takutnya seketika. Dia kurang yakin apakah bisa mengandalkan seorang hantu. Mungkin selama yang dihadapi sesama hantu, Jisoo memang bisa menghalau hal buruk terjadi kepada Jennie. Mungkin Jisoo bisa melakukan sesuatu, selain menembus tembok atau pintu kamarnya.
"Pokoknya Jennie, ingat kata gue ini. Jangan pernah kontak mata dengan mereka. Biar mereka enggak tahu kemanapun lo sekarang. Lo mending pura-pura nggak lihat mereka aja."
Mulutnya ingin bertanya mengenai apa yang terjadi jika mereka tahu tentang kemampuan nya. Tapi Jennie hanya bisa terdiam dan mengangguk tanda mengerti. Mungkin dia akan menanyakan detailnya kepada Jisoo jika sudah tidak lagi di taman ini. Jauh-jauh dari sosok yang membuat bulu kuduknya meremang hebat.
"Sekarang lo berbalik, deh. Lo lihat gue aja biar enggak takut."
Secara reflex Jennie mendengus. Tapi dia menuruti Jisoo dengan memutar tubuhnya ke arah cowok itu.
"Kalau liat lo enggak takut, tapi kesel."
Jisoo terkekeh. "Jadi lo memang takut, ya? Enggak usah takut, gue pasti ngelindungin lo, kok."
Gengsi Jennie itu setinggi langit ketujuh. "Eng-enggak takut! Gue cuma belum kebiasa aja."
"Memangnya kenapa kalau lo takut?"
"Pokoknya enggak. Gue cuma butuh waktu buat berhadapan dengan pengelihatan gue ini. Terutama kalau kemampuan ini untuk jangka waktu yang lama."Siapa yang tidak butuh adaptasi kalau hidupnya tiba-tiba menjadi film horor? Melihat sosok berdarah-darah seperti tadi itu sangat membuat syok. Untung saja Jennie tidak pingsan ditempat.
Jisoo tidak mengomentari pembelaan Jennie lebih lanjut. "Yang bikin lo kaget udah enggak ada, kok."
Tetap saja Jennie tidak mau menoleh ke bangku itu lagi. Kalau bisa, dia tidak akan datang lagi ke taman ini. Taman ini sudah tidak seperti yang ada didalam memorinya.
"Iya, gue kaget. Bukan takut."
Jennie tidak ingin terlihat lemah meskipun didepan seorang hantu. Memang yang dia katakan benar adanya, Jennie yakin itu. Jika sudah terbiasa dengan semua ini, Jennie pasti bersikap biasa saja.
Akhirnya Jennie kembali melanjutkan langkahnya. Rasanya pikirannya sudah cukup jernih untuk kembali kerumahnya. Lagipula Jisoo meski cerewet dan banyak tanya, dia satu-satunya yang bisa membantu Jennie.
Jennie menoleh kearah belakangnya. Disana Jisoo seperti ragu untuk mengekori Jennie.
Agar tidak terlihat aneh oleh orang yang berpapasan dengannya, Jennie menaruh ponselnya di telinganya. Seolah Jennie terlihat sedang berbicara dengan orang di telepon, bukan hantu ganteng yang berjalan bersisian dengannya.
"Ngapain diem aja?" Tanya Jennie.
"Eh?" Sepasang mata itu membulat. Sesekali mengerjap cepat."Katanya lo mau ngelindungin gue, kan?" Jennie kembali melempar tanya. "Katanya mau nemenin gue, kan?" Jennie membesut. "Atau mau gue tinggal aja?" Nadanya terdengar mengancam.
Jisoo hanya menyeringai. "Oh, iya nyonya." Kemudian dia melangkah ala militer mengekori Jennie.
Jennie memutar bola matanya. Ponsel masih menempel pada telinga nya. "Enggak usah panggil pakai nyonya bisa?"
"Siap, bos." Tangan kanan Jisoo terangkat ke depan dahinya. Menunjukkan sikap hormat.Sayangnya Jennie semakin jengkel. "Lo benar-benar pengen ditinggal?"
"Sori, sori, bercanda. Jadi manusia jangan serius amat kek." Kali ini, wajah Jisoo terlihat bersalah.
"Lo tuh jadi hantu jangan nyebelin."Baru saja kata itu terucap oleh Jennie, Jisoo masih tetap nyinyir. "Lo nelpon siapa, sih? Lagi ngobrol ama gue juga. Enggak sopan."
"Berisik!" Jennie tidak bisa menahan diri untuk tidak mencak-mencak. Padahal, dia mengarahkan ponselnya ke telinga sebagai kamuflase untuk mengobrol dengan Jisoo.
Siapa suruh enggak kelihatan?
Jennie harus mengakali agar dirinya tidak terlihat seperti berbicara dengan diri sendiri di mata orang yang tak sengaja berpapasan dengannya.
"Mending berisik atau yang berdarah-darah?" Canda Jisoo. Matanya mengedip genit. Rasanya Jennie ingin melemp ponselnya ke wajah Jisoo. Sayangnya, ponselnya hanya akan menembus cowok itu. Kasihan juga ponselnya kalau dilempar-lempar.
Jennie tidak menjawab. Dia hanya mempercepat langkah kakinya diikuti oleh Jisoo.

KAMU SEDANG MEMBACA
Menemani Setiap Detik Rasa Sepi (Jensoo Version )
FantasyJennie cantik dan anggota pemandu sorak terbaik di sekolahnya. Tapi setiap latihan dan pertandingan dia merasa kesepian di dalam keramaian. Dia punya teman-teman, dulu. Dia punya keluarga sangat bahagia, dulu. Semua berubah setelah setiap detik rasa...