tiga

188 20 2
                                    

Di dalam mobil peninggalan ibunya, dengan jalanan yang direngkuh langit abu kebiruan, Rachel meninggalkan rumahnya. Sorot matanya mengantuk, bukan karena ia bangun pagi-pagi sekali demi mencari buku merah muda itu, melainkan karena ia benar-benar menemukannya.

Setelah buku lama yang ternyata terselip di dalam sebuah Alkitab besar itu ditemukannya, Rachel menghabiskan waktu yang terasa seperti delapan belas tahun untuk menyelaminya. Tubuh wanita itu bersandar pada kaca jendela besar di salah satu sisi ruang kerja suaminya. Matanya menyorot datar pada bukunya yang masih tertutup, yang dirabanya dengan lembut seperti seekor anak ayam. Tinta emas yang dicetak di kovernya tidak lagi menyala, dan warna merah jambunya sudah tidak setegas dulu. Meski begitu, Rachel masih ingat bagaimana nampaknya buku itu ketika ia pertama kali menjumpainya.

"Selamat ulang tahun, Rachel."

Mendengar suara itu, Rachel mengangkat pandangannya dari tanah yang ia tapaki. Langkahnya terhenti di gerbang. Omanya berada di sana, berdiri di samping mobil dan memandanginya.

Rachel tidak menduga wanita itu akan muncul di depan gerbang sekolah. Biasanya ia jalan kaki. Kalaupun dijemput, supir panti asuhan yang akan datang dan membawanya pulang beserta anak-anak lain dari sekolah mereka masing-masing.

"Terima kasih, Oma," jawab Rachel singkat.

"Apa yang kamu inginkan hari ini?"

"Pulang."

"Ini ulang tahunmu yang ketujuh belas," Susan mengingatkan Rachel seolah anak itu lupa, padahal anak perempuan itu tidak pernah berhenti menghitung sejak ulang tahunnya yang keempat. "Mau merayakannya?"

Setiap ada yang berulang tahun, Panti akan menyelenggarakan pesta perayaan yang melibatkan seluruh warga panti. Pesta Rachel tidak pernah terjadi karena anak itu tidak pernah mau. Karena sedih akan hal itu, Panti akhirnya mempersiapkan sebuah pesta rahasia di ulang tahun Rachel tahun lalu.

Mereka membuat sebuah pesta yang sangat meriah. Tidak pernah semeriah itu mengingat yang berulang tahun adalah si anak raja. Semua anak kesenangan akan kue-kue dan makanan yang dihidangkan. Mereka semua juga bersemangat untuk bersembunyi dan mengejutkan kakak tertua mereka yang sangat mereka segani itu.

Sayangnya, kejutan itu berujung petaka. Disambut dengan teriakan penuh sukacita, Rachel hanya berdiri di ambang pintu utama dengan sorot yang berubah dingin, yang lama-kelamaan membuat anak-anak panti mengkeret ketakutan dan membuat para staf sadar bahwa perayaan itu adalah ide yang celaka. Selanjutnya, anak perempuan itu berlari keluar dari panti, masih dalam seragam sekolah putih-abu-abunya. Air mata menumpuk di pelupuk matanya. Wajahnya sakit menahan bangkitnya seluruh emosi yang sudah ia kubur dalam-dalam. Seolah berusaha mengubur emosi itu lagi, kedua tangannya terkepal kuat-kuat di sisi tubuhnya.

Di pekarangan panti itulah, Rachel berpapasan dengan ayahnya yang baru keluar dari dalam mobil. Di dalam jalinan tatap yang berlangsung tak seberapa lama itu, Reagan terperangah memandangi putrinya. Mata anak sulungnya itu begitu menderita. Anak itu seperti kesakitan. Lebih dari itu, tatapan itu seolah mengadu kepadanya, menjerit mati-mati bahwa ia tidak mau dirayakan. Ia tidak bisa.

Karena tatapan itu, Reagan mengultimatum Panti untuk tidak merayakan anak itu atau bahkan mencoba melakukan itu. Sejak itu pula, Reagan berhenti berharap bahwa, di ulang tahun yang ke-17, putrinya mau merayakan ulang tahunnya bersamanya seperti dulu.

Susan tidak tahu ini. Jadi ia berada di sana, menunggu apakah cucunya mau merayakan ulang tahun bersamanya.

Rachel menatap neneknya. "Di mana?"

Susan mengedikkan bahunya. "Terserah."

"Di taman kota."

"Oke."

Rachel Assad & SonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang