Setelah cerita itu berakhir, Ingrid tidak bisa keluar dari keterpanaan itu.
Ia sungguh terkejut. Otaknya membeku, juga seluruh aliran darah ke sana, juga seluruh apa yang bergerak di dalam setiap sel sarafnya. Wanita itu mematung total, bahkan tidak akan bernapas jika itu membutuhkan kesadarannya, tidak akan hidup jika jantungnya bekerja di dalam kendalinya.
Banyak hal mengejutkan yang ia dengar. Namun, yang ini yang menggentarkan Ingrid hingga ke tulang: "Tante Magdalene bunuh diri?"
Pertanyaan itu keluar dari Ingrid tanpa sadar, lebih seperti desahan tak tertahankan seolah-olah itu baru terjadi tadi pagi. Kedua mata besarnya memandangi Rachel dengan tidak berkedip.
"Ya. Bukankah kalian semua tahu soal itu?" Rachel kaget, karena untuk alasan itulah ia menceritakan kejadian hidupnya.
Ingrid tidak menjawab. Ia memutar duduknya ke depan, menghilang di dalam lamunan dalam.
Selama ini, yang ia tahu dari neneknya adalah bahwa Tante Magdalene-nya meninggal karena salah minum obat. Yang membuatnya benar-benar mengasihani Rachel adalah bahwa alasan kematian itu benar-benar sepele dan sungguh sayang. Sekarang, setelah Ingrid mengetahui kebenarannya—bahwa alasan kematian Magdalene sama sekali tidak sepele—tidak ada lagi yang bersisa darinya.
Perselingkuhan.
Ingatan Ingrid tentang pembantu itu tidak terlalu jelas.
Ia hanya ingat pernah berkunjung ke rumah Rachel membawa krayon yang baru dibelikan neneknya sepulang ibadah rumah tangga semalam. Ia sungguh tidak sabar menggunakan satu pak krayon itu bersama temannya. Jadi ia datang pukul tujuh pagi, baru selesai mandi dan minum susu.
Membuka pagar seolah ia pemilik rumah, anak tiga tahun itu berjalan masuk melalui taman yang cantik dan undakan tangga yang tidak banyak. Ia mengetuk pintu rumah, kemudian membukanya tanpa benar-benar menunggu. Pintu itu tidak tertutup sempurna, jadi mudah untuknya mendorong pintu kayu berwarna putih dengan sentuhan abu-abu kebiruan itu.
Ingrid berjalan melintasi ruang tamu, menyusuri lorong, dan berhenti di tengah-tengahnya karena ia menemukan temannya itu duduk di depan TV, sedang makan.
Rachel duduk dengan sangat nyaman di sana, bersandar pada punggung sofa yang sungguh empuk sehingga anak itu tampak tertelan ke dalamnya. Di atas pangkuannya ada bantal sofa berbentuk persegi superbesar, dan di sebelahnya ada neneknya yang jarang datang. Wanita itu sedang menyuapinya dengan ikan goreng serta nasi kecap. Di depan anak yang tumben anteng itu ada acara kartun bebek.
Dengan pak krayon di dalam dekapannya, Ingrid berjalan mendekat. Ia lihat-lihat sangat nikmat santapan Rachel pagi itu.
Rachel memang fokus menonton, tapi ketika Ingrid berada cukup dekat, anak itu melihat gerakan itu. Diliriknya temannya itu sebentar sebelum lanjut menyimak film. Keduanya bertingkah seolah rumah itu milik mereka bersama.
Susan, nenek Rachel, mengambil sesendok dari piring dan mengarahkan itu pada cucunya. Bukannya membuka mulutnya, Rachel yang masih fokus pada kartun malah mengulurkan tangannya demi menunjuk temannya yang berdiri agak ke pinggir itu.
Susan tidak banyak tanya. Ia mengarahkan suapan itu pada anak perempuan yang tidak ia ketahui itu. Ingrid maju dan melahap suapan itu.
Ternyata ikan goreng dan nasi kecap itu benar-benar enak. Mereka jadi duduk bersebelahan, dan sekarang Susan menyuapi dua anak. Itu adalah pagi yang tenang. Tidak ada yang bersuara, tetapi mereka bertiga menikmati ini.
Cahaya matahari begitu manis menyinari tiga orang itu melalui pori-pori vitrase, menyoroti debu yang berputar-putar dengan romantis di depan jendela. Aroma yang berputar di sana terasa seperti rumah, dan aroma itu menyelubungi karpet yang lembut, furnitur dari kayu-kayu tua, juga koran-koran di kolong meja dan tabung televisi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel Assad & Sons
RomanceRachel Helena sudah memasuki titik putih. Setelah titik abu-abu itu kalah mengenaskan di dalam mata Jared Assad suaminya, Rachel Assad memilih untuk beranjak ke titik putih dan mengandung bayi bagi pria itu. Dari sana, mereka memiliki lima orang an...