lima

283 17 2
                                    

Petang hari itu, Jared tidak langsung pulang. Ia sudah mencoba menghubungi istrinya demi meminta wanita itu untuk tidak memasak apa-apa. Teleponnya memang tidak diangkat dan pesannya tidak mendapatkan balasan, tetapi Jared tetap menyetir mobilnya ke batas kota demi membeli makanan.

Jalanan sungguh padat. Ketika Jared tiba di sana, langit yang semula berwarna jingga semanis teh melati, telah berubah menjadi merah gelap seperti amarah yang tidak disetujui. Pria itu turun dari mobilnya bertepatan dengan selesainya si pedagang mempersiapkan jualannya.

Bapak-bapak itu mengangguk dan tersenyum menyambut pelanggan pertamanya petang hari itu. "Mau pesan apa, Pak?"

Jared membalas senyuman itu singkat dan mengucapkan pesanannya: seporsi nasi goreng tanpa kecap dan bawang-bawangan, serta seporsi makanan pesanannya.

Rachel bilang, sejak dulu, tempat ini yang menjadi langganannya dan ia selalu memesan nasi goreng seperti itu. Ketika Jared menanyakannya, Rachel bercerita bahwa ia mendapatkan tempat itu berkat perjalanannya bersama Arya Salbatier. Mereka berkeliling berdua di suatu malam di penghujung usia delapan belas, dan berakhir di sana. Makanannya enak. Jadi sejak malam itu, Rachel dan Arya semakin sering ke sana, terutama ketika sekolah kedokteran menghimpit mereka hingga tipis. Menghabiskan malam-malam di sana bersama pemuda yang ia taksir sukses membuat nasi goreng itu menjadi makanan kesukaannya.

Sebetulnya, setiap kali ia mengingat cerita itu, Jared agak ingin membakar tempat itu sampai habis.

"Oh, untuk Mbak Rachel?" Seketika, tatapan pria tua itu bersinar dan senyumannya melebar.

"Benar."

"Ia langganan di sini," bapak itu semringah sementara ia mempersiapkan pesanan pertamanya. "Bagaimana kabarnya, Pak? Waktu itu sepertinya ia datang kemari, tapi sayangnya bukan saya yang sedang berjaga."

"Ya, waktu itu kami bertemu dengan Ibu." Jared memperhatikan bagaimana pria itu bekerja. "Istri saya menanyakan Bapak pada saat itu."

Tiba-tiba seluruh pergerakan bapak itu berhenti. Ia menatap ke samping, memandang Jared heran. "Istri Anda?"

Jared membalas tatapan bapak itu lurus-lurus. "Ya."

"Wah..." Bapak itu geleng-geleng. Tatapannya berubah ke depan dan menerawang. "Ternyata benar yang diceritakan istri saya. Tadinya saya tidak percaya bahwa Mbak Rachel tidak berakhir dengan Mas Arya. Tapi ternyata betulan."

Jared memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Tidak. Ia istri saya."

Seolah berusaha menerima putaran tak terduga itu, bapak penjual itu mengangguk-angguk berulang kali. "Awalnya dia sering sekali ke sini. Dulu, ketika ia masih bersama Mas Arya," kata bapak itu, entah pada dirinya sendiri atau pada Jared yang mulai membenci skenario sialan yang bapak ini hidupi. "Tapi lama-kelamaan mereka jarang datang, sampai akhirnya hanya Mbak Rachel yang datang. Dulu, kalau saya keluputan dan di piring Mbak Rachel ada bawang, ia akan memindahkannya ke piring Mas Arya. Tapi sejak mereka kandas, bawang-bawang itu ada di piringnya." Bapak itu terkekeh-kekeh penuh kenangan.

Jared tidak merespons apa-apa karena ia hanya sejengkal jauhnya dari menumpahkan seluruh keletihannya setelah satu hari bekerja kepada tempat ini.

Bapak itu sepertinya merasakan suhu di sekitarnya naik beberapa derajat, jadi ia tidak membahas apa-apa lagi tentang Rachel Helena kepada suami wanita itu. Lagipula, ia juga disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan di benaknya.

Istrinya bersaksi bahwa, waktu ia melayani Rachel tempo lalu, ia melihat wanita itu tersenyum. Itu adalah hal yang besar, karenanya bapak itu mencari-cari lewat ujung matanya apakah ada wanita itu di dalam mobil putih pria ini, dan apakah ia berkesempatan melihat wanita itu tersenyum. Dan karena itu juga, bapak itu mulai memperhatikan pria penuh tato yang tampak mengerikan ini.

Rachel Assad & SonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang