sebelas

117 11 0
                                    

Hari sudah malam. Pestanya sudah lama selesai. Tamu-tamu sudah pulang. Anak-anak sudah terlelap.

Rachel duduk di anak tangga paling atas dari teras. Cahaya lampu berwarna oranye keputihan berpendar menyelimutinya. Angin bertiup pelan-pelan dan penuh sayang, bermain bersama rambut Rachel dengan lembut. Wanita itu menautkan kedua tangannya di atas kedua lututnya yang ditekuk ke atas.

Pukul 20. Suara jangkrik mengisi keheningan yang melingkupi Rachel. Ishak sang penjaga panti masih di posnya. Ia menonton bola. Pria tua itu tidak menyukai bola, tetapi ia tidak bisa meninggalkan Rachel sendirian. Sejak dulu ia selalu menjaga anak itu karena dilihatnya bahwa bapak dari anak itu tidak terlalu ada dan ibunya apalagi.

Entah di menit ke berapa Rachel terhilang, tapak kaki terdengar mendekat dari belakangnya. Tapak itu terlalu familier bagi Rachel, menemaninya sejak dulu. Perasaan hangat serta-merta menjalari hati wanita itu.

"Rach," sapa suara berat itu. Rachel menoleh dan tersenyum samar. Saat hal itu terjadi hembusan angin tidak nyata. "Menunggu Jared?"

"Ya."

"Kenapa tidak di dalam?"

Itu pertanyaan sederhana. Dan senyuman Rachel memang stabil, tetapi tatapannya tidak. "Panas."

Arya mengangguk paham.

Seruan komentator bola terdengar samar-samar dari televisi di pos Ishak. Menyisip di tengah itu, suara jangkrik-jangkrik terus konsisten, seperti tepukan teratur di pundak mereka. Tidak ada yang berbicara, tetapi Arya dan Rachel di dalam hati mereka masing-masing tahu bahwa hal ini mengingatkan mereka akan apa yang biasanya mereka lakukan dulu.

Mereka akan duduk saja di tangga teras, mengobrol dan terkadang memandangi kunang-kunang. Arya akan menunggu ibu dan ayahnya menjemputnya, dan Rachel akan menunggu kesempatan untuk menunggu lagi.

"You see, Rach..." buka Arya tiba-tiba di tengah keheningan yang menguasai mereka, terdengar begitu goyah untuk seseorang yang begitu solid yang sudah lama Rachel kenal. "Gue minta maaf."

Rachel menoleh lagi. Ia memandangi sahabatnya. Untuk beberapa lama ia terdiam karena ia menyadari bahwa kekelaman yang ia lihat di sobatnya itu siang tadi memang nyata, dan baru saja bertambah intens.

Pria itu menghela napas panjang dan membuangnya kasar. "Yang gue katakan waktu itu sangat kejam," akunya berat, seolah ada yang patah di dalamnya sebelum melanjutkan, "itu jujur, tapi itu sangat kejam. I'm sorry, Rach."

"Oh." Rachel tampak tenang. "That's okay," hiburnya sehalus usapan angin, setulus malam yang setia. "Wasn't my first time."

Kedua alis Arya tertukik naik. "Is that supposed to make me feel better?"

"That's supposed to make you feel."

Tanpa bisa dicegah, air muka Arya berubah drastis. Tatapan matanya bertambah dalam. Ia seolah terisap, tenggelam, dan tersesat di dalam pusaran yang gelap gulita dan seram. Sesuatu di dalamnya telah benar-benar patah.

Kontras dengan itu, seuntai tawa mengalir geli dari Rachel. Jika tawa itu menyentuh hati yang tepat, mereka akan tahu bahwa itu adalah duka dan sukacita yang sama kentalnya. Rachel sudah tiba di sana. "Gue hanya bercanda."

Hal itu tidak banyak mengubah tekanan pada Arya. Mendengar Rachel berguyon memang membuatnya sedikit rileks dan pulih, tapi isi dari lelucon itu entah bagaimana menjadikan penyesalan itu kian nyata.

Pria itu menarik napas panjang. "Rachel, gue benar-benar menyesal."

Rachel berusaha menghapus senyum di wajahnya. "Dan gue sudah bilang tidak apa-apa, Arya."

Rachel Assad & SonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang