Bab 4. Jauh
Kenapa, Na? Kamu kenal cowok tadi?" tanya Sasti saat Indana duduk setelah memesan lontong opor untuk mereka berdua.
"Eh, enggak. Emang kenapa?" tanya Indana heran.
"Kok, kamu dari tadi ngelihatin dia terus sampai tuh cowok naik ke motornya. Nggak nyadar?" Sasti mengambil beberapa lembar tisyu dan mengelap meja yang akan mereka tempati untuk makan.
Indana sendiri heran kenapa ia sampai sebegitunya memperhatikan lelaki yang tidak dikenalnya.
"Aku nggak kenal, tapi aku ngerasa nggak asing lagi sama dia. Kayaknya aku pernah ketemu dia, tapi entah di mana dan kapan itu aku nggak ingat, Sas." Indana berusaha menjelaskan walaupun ia sendiri tidak yakin.
"Mungkin kalian pernah bertemu di kehidupan sebelumnya," ujar Sasti sambil lalu.
"Itu, sih, di drama Korea kali, Sas." Indana menimpuk Sasti dengan gumpalan tisyu bekas. Sasti hanya terkekeh.
Bersamaan itu pesanan mereka datang. Indana langsung menyeruput minumannya lebih dulu, lemon tea hangat seperti biasa. Diikuti oleh Sasti meneguk es teh favoritnya.
"Tapi, Na. Aku seneng sih kalau lihat kamu mulai mau membuka hati lagi." Sasti melanjutkan obrolan dengan topik yang sama.
Indana yang sedang asyik mengunyah, menoleh dengan cepat.
"Kesimpulan dari mana, tuh?"
"Ya, kan tadi kamu udah merhatiin tuh cowok, itu udah kemajuan, kan?"
"Astaghfirullah, pikiran kamu tuh emang visioner, udah kayak motor juga, selalu terdepan alias kejauhan." Indana geleng-geleng kepala, sedangkan Sasti seperti biasa hanya tertawa geli.
Selanjutnya mereka makan tanpa mengobrol lagi sampai selesai.
Selesai makan sambil menikmati es teh manis, Sasti mulai mengutarakan isi pikirannya lagi.
"Na, aku mungkin nggak bisa bener-bener ngerasain sakitnya luka yang kamu rasain, sampai bikin kamu mati rasa dan skeptis sama yang namanya cinta, kesetiaan dan komitmen. Tapi, dari lubuk hati yang paling dalam aku berharap dan berdoa, semoga kamu cepet pulih, Na. Semoga segera dipertemukan dengan cowok yang bisa menghidupkan rasamu yang telah mati itu, yang nggak akan ninggalin kamu dan menjadikanmu bidadari surganya."
Mendengar perkataan Sasti yang dalam dan tulus, tanpa sadar air mata Indana menetes. Ia tidak bisa berkata-kata selain mengaminkan dalam hati dan menangis dalam pelukan Sasti.
Sejujurnya, Indana juga berharap dan ingin bisa kembali mencinta. Ingin memberikan kesempatan pada mereka yang datang padanya dengan serius dan mengajak berkomitmen. Namun, Indana masih belum mampu membuka hatinya. Belum mampu menguatkan hati untuk siap menanggung risiko terluka lagi. Indana masih ingin menikmati harinya, menjaga hatinya dari patah untuk kesekian kali.
"Makasih, Sas. Kamu nggak perlu ikut ngerasain dan jangan sampai kamu ngalamin seperti aku. Dengan kamu terus berada di sampingku selama ini, udah berarti banget buat aku. Setidaknya, aku masih punya alasan untuk bertahan." Indana mengatakannya dengan tulus.
Sasti tersenyum mengangguk. "Sama-sama. Sekarang saatnya kita window shopping." Sasti segera bangkit dari duduknya. Menyusul Indana di belakangnya.
Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang memperhatikan mereka berdua dengan perasaan masygul.
***
Elang masih merasa takjub karena bisa melihat perempuan itu lagi. Setelah beberapa bulan ia tidak melihatnya di mana-mana padahal katanya dunia ini tak selebar daun kelor. Tapi nyatanya dunia memang sempit, buktinya hari ini ia bisa bertemu dengannya di tempat tak terduga.
Kalau saja tidak sedang ditunggu oleh ibunya di rumah, ia pasti akan makan di tempat, bukannya dibawa pulang. Meski begitu, Elang bisa merasa sedikit lega karena sepertinya perempuan itu baik-baik saja. Tidak seperti saat dulu melihatnya pertama kali, seolah tidak ada lagi harapan untuk hidup.
Terakhir kali melihatnya saat perempuan itu naik bis sedangkan Elang masih berkutat dengan kucing yang ia tolong. Sampai sekarang kucing itu masih ada bersamanya, menjadi peliharaan di rumah. Elang memberinya nama Kitty, tidak ada alasan lain selain karena memang dia adalah kucing. Sesimpel itulah pikiran Elang. Bagi Elang kucing itu istimewa.
"Kenapa bengong saja, Mas? Katanya tadi udah lapar." Suara lembut ibunya membuyarkan pikiran Elang.
Elang hanya tersenyum dan segera menyendok lontong opor di hadapannya.
"Iya, tuh Mbah, pulang dari GOR, Om jadi aneh," sahut Arasha keponakan Elang yang tinggal bersama mereka.
Arasha adalah anak dari kakak perempuan Elang satu-satunya yang kini tinggal di Jakarta. Arasha sengaja disekolahkan di sini agar bisa terjaga pergaulannya, katanya. Kakaknya sangat takut jika Arasha terjerumus pergaulan bebas.
Elang sendiri kurang sependapat. Bagaimana pun juga seorang anak akan lebih baik bersama ibunya. Arasha masih butuh figur seorang ibu. Jangan sampai sudah tidak mendapatkan figur seorang ayah, tapi juga kehilangan sosok ibu. Sudah berkali-kali ia meminta kakaknya untuk pulang dan membuka usaha di sini atau membuka jasa konsultasi keuangan.
"Aku masih butuh waktu, Lang. Nitip Arasha sama Ibu, ya. Tolong jagain mereka. Semoga ntar kamu juga cepet dapet jodoh yang terbaik." Begitu jawab kakaknya waktu itu saat Elang mengutarakan usulnya, sebelum kakaknya kembali ke Jakarta.
"Apa ada yang lagi kamu pikirkan, Mas? Perempuan mungkin?" tanya ibunya sambil tersenyum berusaha menyerempet pembahasan yang sering Elang hindari.
Sejak hubungannya yang terakhir tidak berhasil, Elang seperti menutup diri. Waktunya ia habiskan untuk menyelesaikan koas dan setelah itu bekerja di suatu perusahaan swasta yang bergerak di bidang peternakan di Bandung. Sampai akhirnya enam bulan yang lalu memutuskan untuk pulang. Membuka klinik praktik sendiri sekaligus merintis usaha petshop.
"Iya, perempuan, tapi Elang juga belum tahu dia siapa," jawab Elang berusaha jujur. Ibunya mengernyit keheranan.
"Gimana, sih, Om. Mikirin perempuan tapi nggak tahu siapa," sahut Arasha sambil berlalu ke dapur untuk mencuci piring bekas makannya.
"Apaan, sih, bocil ikutan komen aja." Elang berteriak membalas ledekan Arasha.
Mereka berdua memang lebih seperti kakak beradik ketimbang paman sama ponakan. Sesekali bertengkar, saling meledek, tapi mereka saling peduli dan menyayangi. Elang juga yang selalu mengantar ke mana saja Arasha pergi termasuk mengantar jemput ke sekolah.
"Sudah, sudah jangan pada ribut. Tadi gimana maksud kamu, memikirkan perempuan tapi tidak tahu siapa?" tanya ibunya yang semakin penasaran. Kalau sudah menyangkut soal perempuan ibunya jadi semangat. Pasalnya, ibunya khawatir Elang tidak mau menikah.
Elang menatap wanita paruh baya penj yang terlihat penuh harap. Selama ini Elang selalu menghindari topik pembicaraan tentang jodoh.
Memang setelah hubungannya yang terakhir, ia masih belum mau mencari seseorang untuk dijadikan pasangan. Bukan karena trauma, tapi memang belum ada yang kena di hati. Sampai akhirnya enam bulan yang lalu ia terusik oleh seorang perempuan yang hingga sekarang belum ia tahu namanya. Jangankan nama dan informasi lainnya, bertemu saja baru dua kali.
"Ntar aja deh, Bu. Kalau sudah jelas, Elang ceritain ke Ibu. Sekarang ini Elang belum bisa kasih tahu apa-apa karena Elang sendiri belum tahu." Elang bukan sedang menghindar, tapi karena faktanya memang seperti itu.
"Kamu, ini membuat Ibu tambah penasaran saja. Ya sudah, secepatnya kasih tahu Ibu kalau sudah ada kabarnya." Elang mengangguk seraya menatap punggung ibunya yang berlalu menuju dapur.
Elang menghabiskan lontong opor yang tersisa ditemani Kitty yang bergelung di dekat kakinya. Elang mengangkat Kitty lalu meletakkan di pangkuannya. Ia sengaja memelihara Kitty sejak pertama kali menemukannya. Suatu saat Elang ingin menghadiahkan pada seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH
RomanceIndana menjadi skeptis dengan yang namanya cinta, komitmen, dan kesetiaan, setelah dikhianati oleh tunangan dan sahabatnya sendiri. Ditambah lagi perselingkuhan ibunya, membuat Indana semakin tidak percaya dengan komitmen dan kesetiaan. Namun, takdi...