Bab 21. Danuh

220 19 2
                                    

Bab 21. Danuh

"Kamu gimana, Lang. Udah mulai pedekate sama Indana?" tanya Haris melanjutkan topik pembicaraan. Sekarang mereka pindah ke kedai kopi sebelah lapangan futsal.

"Udah. Beberapa hari yang lalu aku bahkan kasih dia kucing," jawab Elang setelah memesan kopi.

"Hah, Kucing? Dapet ide dari mana?" tanya Haris yang heran dengan pilihan hadiah Elang.

Elang tersenyum lebar menampakkan giginya. Kemudian Elang menceritakan semua dengan detail, pada Haris.

"Bagus juga, sih idenya. Jarang-jarang orang pedekate kasih hewan piaraan. Mentang-mentang Dokter Hewan." Haris mengapresiasi pilihan Elang.

"Ya, kan udah aku jelasin tadi sejarahnya. Selain itu, aku ingin Indana nggak merasa kesepian lagi di rumahnya. Alasan lainnya aku sudah suka sejak pertama kali melihatnya, dulu. Dan Kitty itu seperti perantara yang ditakdirkan."

"Yaampun orang kalau lagi jatuh cinta itu manis banget bahasannya." Haris tertawa meledek.

"Biasa aja, kok. Semua orang akan bucin pada waktunya," sanggah Elang membela diri.

Elang sendiri baru kali ini bertindak impulsif saat pedekate dengan seseorang, yang sudah jelas ia suka. Entah kenapa kali ini Elang merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumya.

"Ya, semoga lancar pedekatenya. Kamu orang ke sekian yang pedekate sama Indana setelah hubungannya yang terakhir, dan semua mental. Jadi, kalau sampai Indana balas perasaanmu, jangan sekali-kali kamu patahkan lagi hatinya. Terus terang aja, nih, aku ngomong dari awal biar kamu nggak akan menyakitinya." Haris lebih terlihat seperti seorang kakak yang melindungi adiknya.

"Kalo denger cerita kamu, aku makin respek sama Indana. Itu artinya dia banyak yang sayang karena dia pasti perempuan yang baik. Selanjutnya, aku ingin jadi orang terakhir yang terus menjaganya." Elang berkata serius pada Haris. Ia ingin menunjukkan bahwa perasaanya pada Indana tulus.

"Good luck, Lang! Aku siap jadi pendukungmu." Haris menepuk pundak Elang dengan mantap sebagai bentuk dukungannya.

"Thanks." Elang merasa lega kini Haris mendukungnya.

***
Pernikahan Sasti semakin dekat, jadi Indana mulai sering bantu-bantu persiapan di rumah sahabatnya itu. Seperti kali ini ia sedang membantu mempersiapkan undangan.

Sasti sedang memandangi layar ponselnya ketika Indana datang menghampiri.

"Kenapa, Sas? Kok bengong gitu? Lagi ada yang dipikirin?" tanya Indana yang tiba-tiba sudah ada di samping Sasti.

Sasti terlonjak saking kagetnya. Memang benar ia sedang memikirkan tentang pernikahannya. Bukan masalah yang lain karena persiapan sudah hampir 80 persen. Hanya saja, Sasti masih bingung apakah ia harus mengundang Raka dan Rani atau tidak.

Kalau Sasti ceritakan pada Indana, kemungkinan besar Indana akan memaksanya untuk mengundang mereka. Tapi, Sasti tahu Indana belum sepenuhnya sembuh dari luka hatinya.

"Emm, Sas, kalau kamu bingung mau undang 2R atau nggak. Saranku undang saja, kamu toh nggak ada masalah sama mereka. Jangan pikirkan aku bakal gimana, aku nggak selemah itu, kok." 2 R adalah singkatan inisial untuk Raka dan Rani yang sengaja mereka buat.

"Kok, kamu bisa tahu apa yang aku pikirkan, Na?" Sasti jelas merasa takjub.

"Kelihatan dari mukamu," jawab Indana santai.

"Beneran, Na. Kamu nggak apa-apa?" Sasti bertanya lagi untuk memastikan. Ia tidak mau kalau Indana merasa terpaksa karena tidak enak dengan dirinya.

"Beneran. Serius, aku nggak apa-apa. Sudah berlalu lama juga, jadi kalau ketemu mereka lagi nggak akan bikin aku sakit lagi. Lagian, harusnya mereka yang risih bukan aku," jawab Indana dengan senyum menghias wajahnya.

Sasti lega terlihat lega mendengar jawaban Indana.

Bagi Indana kebahagiaan Sasti lebih penting dibandingkan dengan perasaanya. Karenanya Indana akan berusaha kuat dan tegar menghadapi mereka di pernikahan Sasti nanti. Sebenarnya Sasti sudah tidak sakit hati lagi, tapi tetap saja akan terasa aneh saat melihat orang yang dulu menjadi tunangan, sekarang menjadi kekasih sahabat sendiri. Indana belum tahu akan seperti apa reaksinya, ia hanya berharap tetap bisa mengendalikan diri.

"Emm, Na. Sebenarnya beberapa hari yang lalu Rani meneleponku. Dia lagi pulang ke Purwokerto dan minta buat ketemu. Dia minta tolong buat nemuin dia sama kamu. Dia bilang, mau minta maaf dan kangen sama kita yang dulu." Sasti mengatakannya dengan rasa yang campur aduk. Ia khawatir kalau Indana akan marah atau tersinggung.

"Oh, gimana ya. Aku masih males ketemu dia, Sas. Ya, memang aku sudah tidak menyimpan amarah lagi sama mereka, cuman buat deket lagi, kayaknya nggak dulu, deh," ucap Indana. Ia memang tidak mau memaksakan diri berteman lagi selama belum merasa nyaman.

"Iya, udah, Na nggak apa-apa. Nggak usah dipaksa," timpal Sasti.

"Tapi, itu tidak menutup kemungkin suatu hari nanti aku bisa menerima mereka dengan lapang dada." Indana menambahkan.

"Siaplah," jawab Sasti dengan senyum terkembang. Ia memang kadang merasa serba salah menjadi pihak yang berada di tengah-tengah, meski tidak sepenuhnya begitu karena selama ini Sasti justru selalu berada di samping Indana.

"Oh, iya. Hari minggu kemarin Mas Haris main futsal, trus karena pemainnya kurang dia ngajakin Mas Elang buat ikut tim dia. Nah di tim lawan itu ada Raka, kenalan deh mereka berdua. Hmm ini ceritanya battle antara mantan sama calon, ya Na." Sasti bercerita dengan penuh semangat, tidak lupa menambahkan tawa di akhirnya.

"Hah, kok bisa ya. Eh, betewe siapa yang calon siapa sih?" tukas Indana pura-pura nggak paham.

"Halaah, kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu, padahal dalam hati sukaa tuh," goda Sasti yang semakin menjadi. Kemudian Sasti menghindar sebelum Indana mendaratkan cubitan lagi.

Tentu saja Indana tidak marah betulan, ia justru merasa senang digoda Sasti tentang Elang. Aneh memang, Indana sendiri masih bergelut dengan perasaannya sendiri. Satu sisi ia merasakan debaran yang tidak biasa saat bertemu Elang, tapi di sisi lain ketakutannya selalu mengiringi.

Indana masih sibuk dengan undangan-undangan di kamar Sasti, ketika calon pengantin itu memanggilnya.

"Na, ke depan, Yuk. Liat siapa yang dateng, deh." Sasti berdiri di luar pintu kamarnya.

Indana menurut dan mengikuti Sasti ke teras rumahnya. Lelaki berkacamata yang sekarang sering menghampiri pikirannya, tengah duduk di kursi rotan teras rumah Sasti.

"Eh, Na. Di sini juga?" sapa Elang sebelum Indana menyapanya.

Senyum Indana terkembang, "Iya, Dok. Sama siapa ke sini?" Indana ikut duduk di kursi yang lain.

"Sama aku, Na." Haris muncul dari dalam rumah bersama Sasti, rupanya dia numpang ke toilet dulu.

"Oh, tumben bareng terus sekarang," ujar Indana.

"Iya, nih. Emang tadinya lagi nongkrong sama anak-anak, trus aku pamit mau ke sini. Waktu aku bilang kamu juga ada di sini, eh dianya maksa minta ikut," ungkap Haris yang disambut tawa oleh semuanya.

Elang hanya tersenyum-senyum, tidak membantah. Melihat itu hati Indana kembali berbunga, tapi ia tidak berani memandang Elang. Sejak ia merasa ada perasaan yang berbeda, Indana tidak pernah beradu tatap dengan Elang. Demi menjaga hatinya juga untuk tidak terlalu berharap karena ia sedang belajar untuk hal itu.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang