Bab 11. Taruh

307 23 0
                                    

Bab 11. Taruh

Saat memasuki rumah sepulang sekolah, Indana merasa ada yang kurang ketika Muezza tidak menyambutnya.

"Bi Surti, Muezza kemana, kok sepi?" tanya Indana pada asisten rumah tangganya yang sedang membereskan cucian kering.

"Itu, Mbak di rumahnya. Saya juga heran seharian ini dia nggak mau makan dan hanya tiduran," tutur Bi Surti. Rumah yang dimaksud adalah tempat khusus yang Indana sediakan untuk Muezza.

Indana merasa ada yang tidak beres dan segera berlari ke kandang Muezza. Benar saja, kucing kesayangannya itu sedang tergolek lemas. Makanan yang diberikan untuknya masih utuh hanya air minumnya yang berkurang. Indana tahu kucingnya sakit, ia hanya tidak tahu apa sakitnya.

Gegas ia pergi ke kamarnya untuk berganti baju dan manaruh tas yang tadi dipakainya ke sekolah. Muezza harus segera dibawa ke dokter, hanya itu yang ada di pikirannya. Setelah salat Asar lebih dulu, Indana pun bersiap untuk pergi.

Karena tidak mungkin naik bus, ia memesan taksi online agar cepat sampai di klinik hewan langganannya.

"Bi, saya mau bawa Muezza ke dokter hewan dulu, kalau nanti Bibi mau pulang tinggalkan kunci di tempat biasa, ya," ucap Indana saat berpamitan pada asistennya yang sebentar lagi akan pulang juga.

"Mbak Na, nggak makan dulu?" Bi Surti mengingatkan.

"Nanti saja, Bi. Ini mau ngejar jam buka klinik yang biasa, takut keburu tutup," jelas Indana yang sudah menggendong Muezza.

Selang beberapa saat Indana sudah di dalam mobil yang dipesannya. Sepanjang jalan hatinya tak tenang, ia tidak mau terjadi sesuatu dengan Muezza. Indana semakin khawatir saat sampai di depan klinik langganannya, yang ternyata sudah tutup. Sementara itu Muezza sudah mulai merintih dan mengeong terus menerus. Rintihannya semakin membuat Indana cemas sekaligus panik. Sekuat hati ia menahan air matanya sendiri untuk tak jatuh, malu rasanya kalau sampai harus menangis di depan pak sopir.

"Gimana, Mbak jadi turun atau balik lagi?" suara pak Sopir menyadarkannya.

"Maaf, apa Bapak tahu ada klinik lain di dekat sini?" tanya Indana berharap pak Sopir tahu atau minimal pernah melihat saat melewatinya.

"Ada, Mbak. Jam segini juga masih buka. Kliniknya malah gabung sama petshop."

Indana lega sekali mendengarnya. "Ya, sudah, Pak, tolong antarkan saya ke sana sekalian, ya," ucap Indana penuh harap.

Sepanjang perjalanan Indana berdoa semoga klinik itu masih buka dan Muezza bisa segera ditangani. Ia tidak sanggup membayangkan kalau sampai Muezza pergi. Siapa lagi yang akan jadi pelipur hatinya di rumah nanti.

Tepat seperti informasi yang disampaikan sopir itu, klinik yang gabung dengan petshop itu masih buka. Setelah membayar ongkosnya, Indana segera memasuki bangunan yang ada di depannya.

Indana memasuki klinik tersebut dengan tergesa. Ia pun segera mendaftar ke meja pendaftaran. Setelah itu seorang perawat hewan melakukan pemeriksaan awal.

"Ada kemungkinan terkena virus, tapi untuk memastikan itu kita tunggu pemeriksaan dari Dokter," kata perawat laki-laki tersebut.

"Memangnya Dokternya kemana, Mas?" tanya Indana yang semakin khawatir dengan keadaan Muezza.

Perawat memindahkan Muezza ke boks perawatan.

"Itu dia Dokternya sudah datang."

Indana mengikuti arah yang ditunjuk oleh perawat itu.

Indana terkejut melihat lelaki yang disebut Dokter hewan itu. Ia datang bersama dengan Arasha.

"Pak Elang?" tanya Indana sambil memandang ke arah perawat.

"Iya betul, Mbak sudah kenal?"

Indana hanya mengangguk, bertepatan dengan Elang sampai di depannya.

"Lho, Bu Indana?" Arasha yang lebih dulu menyapa. Elang yang ada di sampingnya hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

"Iya, Arasha. Kaget juga kita ketemu di sini. Kucing saya sakit." Indana menunjuk Muezza yang terbaring lemah di tempatnya.

"Coba saya periksa dulu, ya," sahut Elang seraya menuju ke ruang pemeriksaan.

Indana mengikuti di belakangnya dan menyaksikan pemeriksaan Muezza. Ia ingin segera tahu apa yang terjadi dengan Muezza.

Indana memperhatikan perubahan wajah Elang saat memeriksa kucing kesayangannya itu dan semakin khawatir.

"Siapa namanya?" tanya Elang yang hanya ditanggapi dengan bingung oleh Indana. "Maksud saya nama kucingnya," terangnya lagi.

"Oh, Muezza."

"Muezza terkena virus Panleukopenia. Virus ini cukup bandel. Saya sarankan untuk di rawat inap, nantinya akan kami beri infus untuk menghindari dehidrasi."

Demi mendengar itu, tubuh Indana seketika lemas. Jelas terlihat kalau Indana menahan air mata agar tak keluar, tapi tetap saja ada yang merembes di ujung mata.

"Apakah ada kemungkinan bisa sembuh total?"

"Saya tidak bisa janji karena ini sedang masuk masa kritis, jika Muezza bisa melewatinya kemungkinan besar akan segera sembuh."

"Tapi?" sahut Indana ingin tahu meski ia tidak mau membayangkan ada kemungkinan terburuk.

Elang menarik napas panjang lalu berkata, "Jika Muezza tidak bisa melewatinya, kita bahkan tidak akan tahu kapan waktu kematiannya terjadi karena virus ini bisa menimbulkan kematian mendadak." Meski berat bagi Elang untuk mengungkapkan, tapi ia selalu berusaha jujur terhadap semua pasiennya. Ia tidak mau memberi harapan palsu jika memang kemungkinan untuk tetap hidup kecil.

"Tolong, Dok. Bantu saya sembuhkan Muezza, ia harus sembuh. Tolong." Indana memohon sambil terus mengusap Muezza.

Bagi Elang pemandangan seperti itu sudah biasa, ada banyak orang yang tidak rela kehilangan hewan peliharaannya. Namun, melihat Indana yang nyaris putus asa takut kehilangan Muezza membuat hati Elang trenyuh. Betapa besar arti Muezza bagi Indana.

"Saya akan usahakan semaksimal mungkin," jawab Elang yang lebih sebagai tekad pada dirinya sendiri.

"Terima kasih, Dok. Kalau gitu saya pulang dulu. Titip Muezza. Jika terjadi sesuatu tolong segera kabari saya," kata Indana. Kemudian ia menuliskan nomor teleponnya pada secarik kertas bekas nota belanja, lantas menyerahkannya pada Elang.

Elang menerimanya dengan senang hati, seolah mendapatkan kesempatan langka. Elang Seolah mendapatkan durian runtuh, bisa bertemu dengan Indana ditambah mendapatkan nomornya.

"Bu Indana!" Suara Arasha memanggilnya saat Indana hampir keluar dari Klinik.

"Gimana kucingnya, Bu?" tanya Arasha.

"Muezza terkena virus dan harus dirawat inap dulu di sini." Indana tersenyum mengatakannya, berusaha tampak tegar.

"Semoga cepat sembuh, ya Bu. Ibu mau pulang?"

Indana mengagguk. "Iya, saya duluan ya," pamit Indana.

Indana pulang ke rumah dengan gontai. Ia tak bisa membayangkan jika harus kehilangan Muezza. Jika itu terjadi, tidak akan ada lagi yang setia menunggunya pulang ke rumah. Tidak ada lagi yang diajaknya bicara di rumah, dan tidak ada lagi yang menghibur hatinya.

Indana hanya terus berharap Muezza akan baik-baik saja, meski harapan itu terasa jauh.

***
Masih terbayang di mata Elang bagaimana Indana sangat sedih di klinik tadi. Elang seperti terlempar ke saat pertama kali melihat Indana dulu. Entah kenapa ia merasa khawatir padanya, Elang merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Di mata Elang, Indana terlihat kuat di luar rapuh di dalam membuatnya ingin melindungi. Perasaan itu mincul mungkin karena Elang terbiasa melindungi perempuan dalam hidupnya. Sejak ayahnya meninggal, Elang menjadi satu-satunya lelaki di keluarganya. Ia mau tidak mau mengambil tanggung jawab menjaga ibunya, kakak perempuannya sekaligus putrinya, Arasha.

Dengan pengalaman itulah Elang menjadi lebih peka dengan perasaan perempuan.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang