Bab 26 Agih

219 15 0
                                    

Bab 26. Agih

Indana dan Nuri duduk di bangku taman yang terletak di samping rumah.

"Bu Indana, gimana Arasha di sekolah?" tanya Nuri pada Indana.

Indana sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan adalah tentang Arasha.

"Kalau yang ditanya tentang perundungan teman-temannya, sudah selesai kasusnya. Arasha dan mereka sudah berdamai," jelas Indana.

"Bukan itu. Saya ingin tahu apa yang Bu Indana pahami tentang Arasha. Apakah dia pernah curhat tentang saya atau hal yang lain, mungkin? Karena saya dengar dari Elang, Arasha cukup dekat dengan Bu Indana."

Indana menatap prihatin ke arah Nuri. Ibu mana yang tidak sedih harus bertanya tentang anaknya pada orang lain. Indana dapat memahami perasaan Nuri yang sedang berusaha untuk dekat dengan putrinya.

"Iya, Bu. Arasya pernah beberapa kali curhat dengan saya. Dari apa yang dia ceritakan, saya ambil kesimpulan antara lain, dia merasa kalau kehadirannya itu tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya. Dia juga merasa Mamanya tidak sayang dan malu mempunyai anak dia," tutur Indana yang membuatnya merasa tidak enak melihat ekspresi terluka dari Nuri.

"Ya Tuhan, padahal selama ini semua yang saya lakukan semata hanya untuk dia," sahut Nuri sembari mengusap air mata yang merembes.

Indana sengaja diam menunggu. Terkadang menghadapi orang menangis, kita hanya harus bersabar dan memberinya waktu.

"Kalau menurut Bu Indana, apakah sebaiknya saya bicara terus terang pada Arasha? Sudahkah Arasha siap menerima pernyataan yang sekiranya akan saya sampaikan?"

Indana menatap Nuri dan melihat ada kekhawatiran di matanya.

"Saya rasa Arasha sudah berhak untuk tahu, dia sudah cukup dewasa untuk mengerti dan memahami. Lebih baik disampaikan oleh Mamanya secara langsung dari pada dia nanti tahu dari orang lain." Indana mencoba memberi saran yang sekiranya terbaik untuk kedua belah pihak.

Nuri tampak merenungi apa yang disampaikan oleh Indana.

"Kira-kira apakah Arasya sudah bisa menerima apa yang akan saya sampaikan? Saya takut dia terguncang dan itu akan mengganggu sekolahnya."

Indana maklum terhadap perasaan yang sedang dihadapi Nuri. Namun, kebenaran harus tetap disampaikan meski memang menyakitkan.

"Terkadang apa yang kita takutkan itu tidak terjadi sama sekali, Bu. Bisa jadi Arasya justru sudah sangat siap untuk menerima kenyataan. Kita saja yang kadang menganggap bahwa mereka itu masih anak-anak dan masih belum siap punya masalah serius, padahal bisa jadi mereka justru bisa sangat pengertian."

"Betul juga, sebaiknya saya cari waktu untuk mengatakan secara langsung mumpung saya masih di sini," ujar Nuri, ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Apa Mbak akan kembali lagi ke Jakarta?" tanya Indana.

"Iya, segera setelah cuti saya habis. Pekerjaan dan tanggung jawab saya masih banyak di sana."

"Lalu, bagaimana tanggapan Arasha?" Indana yakin Nuri tidak tahu atau belum tahu bagaimana perasaan Arasha yang menginginkan Mamanya untuk tetap tinggal.

"Saya belum bilang, akan kembali ke Jakarta kapan. Tapi, itu sudah biasa jadi  saya rasa dia juga tidak keberatan seperti biasa. Kenapa, apa Arasha pernah cerita tentang ini?"

Tampaknya komunikasi antara ibu dan anak itu harus diperbaiki, pikir Indana.

"Iya, Mbak. Arasha ingin bersama dengan Mbak, ingin tetap tinggal bersama mamanya. Apalagi anak remaja seusia dia tentu sedang butuh untuk lebih dekat dengan mamanya." Meski tidak selalu yang tinggal serumah dengan orang tuanya bisa dekat hubungannya.

"Selama ini saya tidak pernah mendengar Arasha memyampaikan keinginannya untuk saya tinggal di sini. Jadi, saya pikir dia baik-baik saja," sahut Nuri

"Kenyataannya Arasha tidak baik-baik saja, Mbak. Semua rasa sakit hati akibat perundungan itu, ia bisa menanggungnya. Akan tetapi, kesepian karena jauh dari mamanya itu yang lebih menyedihkan buat dia."

Indana mencoba menyampaikan apa yang Arasha selama ini rasakan.

"Benarkah? Tapi Arasha nggak pernah cerita apa-apa pada saya setiap kali kami berkomunikasi melalui telepon atau pun lewat chat, dia tidak pernah mengungkapkan keluhan apa pun." Nuri mencoba membela diri.

Tidak bisa disalahkan memang karena hubungan Nuri dan Arasha tidak terlalu dekat.

"Maaf, Mbak bukan saya menggurui, tapi apakah mungkin anak remaja seusia Arasha tidak pernah punya keluhan apa pun pada orang tuanya? Sedikitnya pasti ada jika ada jalan untuk saling berkomunikasi dengan baik," terang Indana.

"Kenapa saya tidak sampai berpikir ke sana, ya? Jangan-jangan, selama ini Arasha memendam semuanya sendiri." Nuri tampaknya baru menyadari sesuatu, bahwa bisa saja Arasha hanya berusaha baik-baik saja.

"Memang betul Arasha menyimpannya sendiri rasa kesepiannya. Saat merasa diabaikan, merasa sendirian, dia nggak pernah ceritakan ke siapa pun bahkan ke nenek dan omnya. Dia nggak mau menambah beban karena dia berpikir bahwa kehadirannya di dunia ini hanyalah beban dan merasa tidak diinginkan."

"Ya, Tuhan. Seandainya dia tahu semua yang saya lakukan itu demi dia. Saya kerja keras banting tulang demi bisa memberikan kehidupan yang layak untuknya hingga dewasa," tutur Nuri dengan raut wajah yang penuh kesedihan.

"Arasha nggak akan pernah tahu selama tidak dikasih tahu, Mbak."

"Sejujurnya saya takut kalau saya berterus terang pada Arasha, akan semakin membuatnya merasa tidak percaya diri dan membuatnya tidak nyaman."

"Arasha tidak sarapuh yang terlihat kok Mbak, dia anak yang kuat. Jadi, saya yakin Arasha bisa menerimanya," terang Indana seraya tersenyum.

"Saya jadi iri sama Bu Indana, bisa lebih dekat dengan Arasha ketimbang saya sebagai mamanya," ucap Nuri seraya memandang ke dalam rumah dan tersenyum melambaikan tangan pada Arasha.

"Semua karena pas waktunya dan karena saya adalah gurunya, Mbak," sahut Indana yang ikut menoleh dan tersenyum pada Arasha.

"Iya, tapi kamu hebat bisa menaklukkan Arasha, nggak mudah pastinya."

"Memang tidak mudah bagi mereka yang tidak bisa memahaminya. Arasha hanya butuh dipahami, dimengerti dan dianggap berharga," tutur Indana yang membuat Nuri mengangguk-angguk.

"Terima kasih banyak untuk waktunya, Bu Indana. Pikiran saya terbuka sekarang dan ada banyak hal yang baru saya pahami terutama tentang Arasha. Seharusnya saya malu karena sebagai Mamanya tidak tahu apa-apa tentang Arasha," tutur Nuri lantas memeluk Indana.

Tidak berapa lama mereka berdua segera beranjak masuk ke rumah kembali. Dengan suasana gembira mereka semua menyantap hidangan yang disediakan.

Sementara itu Elang terlihat kurang bersemangat. Ia menghampiri Indana. "Harusnya kita yang ngobrol berdua, eh kenapa malah disabotase sama Mbak Nuri." Elang menggerutu pada Indana.

Indana tergelak melihat tingkah Elang yang seperti anak kecil. "Ngobrol ya tinggal ngobrol saja. Seperti ini juga ngobrol, kan?" ledek Indana sembari tertawa.

Elang hanya bisa tersenyum kecut menanggapi ledekan Indana.

"Nanti saya antar pulang, ya. Ada yang pengen saya omongin. Nggak boleh nolak," ucap Elang seraya beranjak dan pergi meninggalkan Indana yang tidak sempat menjawab apa pun.

Indana menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan, demi menetralisir debaran di dadanya yang tiba-tiba lebih cepat dari biasanya.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang