Bab 12. Repih

284 21 0
                                    

Bab 12. Repih

Berkali-kali Elang memandang layar ponselnya sejak sepuluh menit yang lalu. Hatinya diliputi gundah sejak tadi. Hal tersulit yang selama ini ia hadapi sebagai dokter hewan adalah saat tidak bisa menyelamatkan kucing pasien dan memberi kabar pada pemiliknya bahwa hewan kesayangannya tidak dapat diselamatkan. Itu juga yang terjadi pada Muezza. Elang tahu kematian Muezza akan membuat Indana terpukul. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Indana.

"Bu Indana, ada yang ingin saya sampaikan tentang Muezza. Bisakah mampir ke klinik siang nanti sepulang mengajar?"

Setelah mempertimbangkan beberapa kali, Elang memutuskan untuk mengirim pesan saja dulu pada Indana. Lebih baik ia sampaikan kabar tentang Muezza secara langsung.

"Baik, Dok. Terima kasih." pesan jawaban Indana menyusul kemudian.

"Kalau tidak keberatan, nanti bisa ikut saya sekalian saat menjemput Arasha." Elang kembali mengirim pesan.

Tidak lama Indana membalas dengan singkat. "Baik, Dok. Jika tidak merepotkan. Terima kasih."

Elang gemas sendiri karena Indana masih begitu formal padanya. Memangnya seakrab apa yang kamu harapkan dari Indana, Elang? Tanyanya pada diri sendiri. Sebenarnya wajar dan Elang pun sadar mreka baru kenal secara resmi dua kali pertemuan. Namun, bukan itu yang penting sekarang. Ada yang lebih penting yaitu bagaimana reaksi Indana tentang Muezza nanti.

***
"Kita langsung ke klinik, kan Dok?" tanya Indana yang tak sabar ingin segera bertemu Muezza.

Elang mengangguk. "Betul, Bu. Kita akan langsung ke klinik." Setelah berkata begitu Elang kembali fokus.

Dalam hati Indana sudah tidak tenang, ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi dengan Muezza atau justru sudah terjadi. Ia hanya menguatkan diri untuk terlihat tenang.

Sesampainya di klinik, Indana tidak mendengar suara Muezza.

"Bu Indana, ada yang mau saya sampaikan," ucap Elang sesampainya di dalam klinik.

Hati Indana mencelos, ia merasa akan ada kabar buruk. Ketika dokter sudah berkata demikian kemungkinan besar apa yang akan disampaikan adalah kabar buruk.

Dengan berat hati Elang menyampaikan. "Saya minta maaf tidak bisa menyelamatkan Muezza. Ternyata dia tidak bisa melewati masa kritisnya dan hari ini kami mendapati Muezza sudah berhenti bernapas."

Seketika dada Indana terasa sesak, ia berusaha menarik napas dengan berat. Ulu hatinya sakit bagai dihantam godam. Tidak bisa lagi air matanya bertahan untuk tidak jatuh.

Dengan berlinang air mata Indana menghampiri Muezza, mengangkatnya dengan kedua tangannya yang gemetar dan memeluknya seperti bayi. Hanya sedu sedan yang kemudian terdengar untuk beberapa lama. Bagi orang lain, kematian Muezza mungkin hanya kematian kucing seperti biasa. Namun, bagi Indana kematian Muezza adalah sebuah kehilangan yang dalam.

Bagi Indana, Muezza bukan hanya sekadar hewan kesayangan, tapi juga keluarga tempat ia berbagi kasih sayang. Muezza adalah sahabat yang selalu menemani kesendiriannya tanpa kenal lelah, setia, dan pelipur segala penat dalam hidupnya.

Indana tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya hari-hari yang akan dijalaninya tanpa Muezza. Kesendirian yang selama ini ia rasakan di rumah akan terasa semakin menyakitkan. Muezza adalah lambang kesetiaan bagi Indana.
Indana mengusap air matanya perlahan.

***
Elang bisa memahami apa yang Indana rasakan. Bagi sebagian pecinta hewan, kehilangan hewan peliharaan sama seperti kehilangan keluarga. Tapi, Elang tidak menyangka reaksi Indana akan sesedih itu. Dapat Elang rasakan betapa terpukulnya Indana harus kehilangan Muezza. "Mungkinkah Indana selama ini kesepian?"

Elang meninggalkan Indana di ruangan untuk membiarkannya merayakan kesedihannya. Mendengar sedu sedan dan bahu Indana yang berguncang, Elang merasa de javu. Sejak melihatnya pertama kali dulu, Elang sudah menaruh perhatian khusus pada Indana. Namun, Elang tidak mau menyimpulkan perasaannya terlalu jauh. Bisa jadi apa yang ia rasakan hanya sekadar empati.

"Permisi Dok, apa Muezza sudah boleh saya bawa pulang?" tanya Indana.

Elang yang memang sedang menunggu Indana keluar segera beranjak dari duduknya. Arasha juga ada bersamanya.

"Oh, sudah. Silakan dibawa," jawab Elang.

"Bu, saya ikut sedih untuk Muezza," sahut Arasha sambil memeluk Indana.

Indana tersenyum mengangguk. "Terima kasih, ya."

"Ibu mau pulang sekarang? Apa ada yang jemput?" tanya Arasha.

"Tadi saya sudah telepon teman, kok. Mungkin sebentar lagi sampai," jawab Indana. "Kamu setiap hari ke sini?" lanjut Indana bertanya pada Arasha. Elang sudah masuk kembali ke ruangannya karena ada pasien. Mengobrol sebentar dengan Arasha mungkin akan sedikit menghiburnya.

"Nggak selalu, sih, Bu. Biasanya kalau nggak les, ya langsung pulang."

"Jadi kamu tinggal sama Dokter Elang juga?" Indana ingin mengenal Arasha lebih dekat karena masalah kemarin.

"Iya, bertiga sama Nenek. Ada juga Mbak yang bantu-bantu di rumah, tapi nggak nginep," jelas Arasha.

Lalu Arasha kembali berkata,
"Kadang saya iri sama kucing peliharaan," ungkapnya yang membuat Indana menoleh dan mengerutkan alisnya.

"Kok, bisa?" tanya Indana. Perhatiannya kini penuh tertuju pada gadis di sampingnya itu.

Arasha mengedikan bahu dan tersenyum miris.

"Di sini saya sering melihat orang-orang yang begitu mencintai dan menyayangi kucingnya. Memberi mereka makanan mahal, merawat mereka ke petshop, rela mengeluarkan banyak uang untuk banyak hal demi kucingnya. Bukan cuma itu, mereka tulus mencurahkan waktu dan kasih sayangnya pada hewan peliharaannya. Mau nungguin makan, mau main bareng. Padahal kalau dipikir itu cuma hewan."

Indana masih menyimak dan membiarkan Arasha bicara. Ia tahu Arasha sedang mencurahkan isi hatinya.

"Di sisi lain, ada orang yang boro-boro bisa main dan makan bareng anaknya, tinggal bersama saja, nggak. Menurut Ibu apakah orang tuanya nggak menginginkan kehadiran anaknya?" Arasha menatap Indana.

Indana melihat ada kepedihan di mata Arasha dan kesepian yang entah kenapa terasa sama seperti dirinya. Ia paham bahwa Arasha sedang menceritakan tentang dirinya. Indana harus hati-hati menjawabnya.

"Menurut saya, setiap orang tua pasti punya alasan kenapa mereka terpaksa, misalnya ya, menitipkan anaknya pada orang tuanya karena ia harus bekerja. Saya yakin itu bukan berarti mereka nggak sayang, tapi karena dituntut keadaan. Atau bisa juga ada alasan lain yang kita belum tahu. Selama kita belum tahu, yang harus dilakukan adalah berprasangka baik, mempercayai bahwa mereka menyayangi kita," ungkap Indana.

Melihat Arasha menyimak, Indana melanjutkan. "Kita nggak pernah tahu, kan, seberapa dalam kepedihan dan luka mereka karena harus meninggalkan anaknya. Pasti tidak mudah buat mereka mengorbankan waktu kebersamaan dengan anaknya. Bisa jadi mereka lebih sakit, hanya saja mereka memendamnya sendiri," ucap Indana yang membuatnya merenungi ucapannya sendiri.

"Apa Bu Indana kesepian?" tanya Arasha yang membuat Indana terkejut.

"Kenapa kamu tanya begitu?" Indana heran bagaimana bisa Arasha dapat membacanya.

"Aku lihat Ibu begitu terpukul dan sedih sekali saat pertama kali tahu Muezza mati, tadi. Seolah-olah hanya Muezza satu-satunya yang Ibu miliki. Padahal keluarga ibu masih lengkap."

Analisa dari Arasha membuat Indana terpana karena apa yang Arasha katakan memang benar. Arasha dapat memahami Indana seperti Indana juga dapat memahami Arasha. Mungkin karena mereka memiliki kesamaan, sama-sama kesepian.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang