Bab 30. Luluh

824 21 0
                                    

Bab 30. Luluh

Selama masa menjaga jarak dan memberi Indana ruang, Elang menjalani hari seperti biasa. Namun, tidak dimungkiri hari-harinya terasa ada yang berbeda. Jika setiap hari ia bisa bertemu dengan Indana, kini ia harus sadar diri untuk tidak melewati batas. Mungkin bagi sebagian laki-laki di luar sana akan terusik egonya jika ada yang memperlakukan mereka seperti Indana lakukan padanya. Namun, entah kenapa Elang memaklumi itu dan tanpa protes menerima keputusan Indana. Padahal mereka baru saja mulai dekat.

Meski begitu, Elang tetap merasa khawatir, bagaimana jika Indana tidak memilihnya. Bagaimana jika Indana tetap belum siap membuka hati dan tidak mau memberi kesempatan padanya untuk melakukan pendekatan lebih jauh? Semua tanya itu melayang-layang di pikirannya.

"Apa ini semacam karma buat aku, ya?" gumam Elang yang sedang duduk di tempat ngopi tongkrongannya bersama Haris.

"Bisa jadi." Haris yang sedang sibuk dengan ponselnya mengetik balasan pada Sasti hanya menjawab asal.

"Padahal, setelah melihat Indana aku udah insyaf, lho." Elang menyesap kopinya yang masih mengepulkan asap panas.

Haris meletakkan ponselnya di meja setelah selesai berbalas pesan dengan calon istrinya. "Jadi, Indana nih yang beneran bikin kamu tobat? Kok, bisa?"

"Kamu ingat cerita tentang pertemuan pertamaku dengan Indana?" tanya Elang yang dibalas dengan anggukan oleh Haris.

"Itu pertama kalinya aku melihat perempuan yang begitu terluka karena laki-laki," Elang memperbaiki posisi duduknya, "ekspresi Indana membuatku mengingat dosaku pada perempuan yang menjadi korban permainanku. Hanya karena aku ingin balas dendam atas sakit hatiku pada Bella, aku malah menyakiti banyak perempuan dengan hubungan yang main-main."

Haris sangat tahu dan paham apa yang Elang bicarakan karena ia sendiri menjadi saksi sepak terjang Elang saat itu. Haris dan Elang pernah tinggal bersama dalam satu kontrakan di Jogjakarta. Haris menjadi saksi perubahan Elang sejak terluka karena Bella, sahabatnya itu menjadi laki-laki yang tidak menghargai perempuan. Elang yang saat itu sedang koas sangat sering berganti-ganti perempuan yang menjadi teman kencannya.

"Mungkin ini cara Tuhan ngasih tahu kamu kalau dipermainkan dan di-PHP itu nggak enak."

Elang hanya mengangguk karena memang begitu kenyataannya. "Kamu bener, Ris. Hal itu sekaligus ngingetin aku kalau aku punya kakak perempuan dan keponakan perempuan juga. Aku bayangin hal itu terjadi ke mereka, pasti aku bakalan nggak terima banget."

Elang menyeruput kopinya lagi sementara Haris tetap setia menyimak.

"Itulah mengapa aku bisa menerima langkah yang diambil Indana saat ini," Elang menghela napas sejenak lalu melanjutkan, "aku hanya berharap semoga Indana bisa melihat kesungguhanku."

Haris melihat kesungguhan Elang yang serius dengan apa yang dikatakannya, setidaknya itulah yang ia lihat dan rasakan selama berinteraksi dengannya selama ini.

"Kalau Indana kasih kamu kesempatan, apa yang mau kamu lakukan?" tanya Haris dengan serius. Ia juga ingin tahu sejauh apa keseriusan sahabatnya untuk mendapatkan Indana.

"Aku mau lakukan apa yang sudah aku niatkan sejak awal. Aku mau ngajak serius sama dia," jawab Elang dengan penuh keyakinan. Haris mengangguk dengan tersenyum.

"Goodluck, Bro! Aku dukung aja, sih, sebagai teman," ucap Haris dengan menahan sesuatu untuk dikatakan lagi.

"Tapi? Pasti ada lanjutannya, kan?" cecar Elang yang menangkap gelagat itu.

Haris mengangguk, "Yang penting kamu juga harus yakin dengan perasaan dan niat kamu itu. Jangan sampai hanya karena kamu merasa iba melihat Indana saat itu atau hanya karena kamu ingin merasa dibutuhkan oleh seseorang. Pastikan, perasaan kamu itu tulus sama Indana, kamu yang butuh dia untuk melengkapi hidupmu. Itu, sih menurutku."

Mendengar petuah bijak dari seorang Haris yang jarang bersikap serius, membuat Elang merenung. Sepertinya ia perlu mengevaluasi perasaannya sebelum semua telanjur.

"Mumpung saat ini kalian memang sedang menjaga jarak, saranku kamu juga perlu bertanya pada dirimu sendiri tentang perasaanmu pada Indana," lanjut Haris pada Elang yang masih terdiam, "sebelum semuanya menjadi telanjur." Haris menepuk pundak Elang memberi dukungan.

Sesampainya di rumah, Elang masih terngiang-ngiang dengan apa yang Haris katakan. Berkali-kali ia memikirkan pun tetap saja perasaannya tidak goyah. Ia telanjur jatuh cinta pada Indana, sosok yang terlihat kuat di luar, tapi sebenarnya sangat rapuh. Indana juga selalu berusaha menjaga diri saat berinteraksi dengannya. Tidak banyak bicara yang tidak perlu dan juga tidak banyak menuntut.

Merasa penat, Elang merebahkan badan di tempat tidur setelah melepas kacamata dan mematikan lampu. Dalam hening dan gelap kamarnya, Elang mencoba memutar kembali pertemuannya dengan Indana. Bagaimana usahanya untuk mendekati Indana sampai akhirnya bisa menjadi dekat dan kembali berjarak. Apa yang Elang khawatirkan bukanlah perasaannya, melainkan perasaan Indana. Selama Indana belum memberinya kabar baik, selama itu pula Elang tidak akan tenang.

***
Indana memencet tombol remote saluran televisi tanpa tujuan. Ia hanya menatap kosong layar LED sebesar 29 inch yang menempel di dinding ruang tengah rumahnya. Sebenarnya ia tidak terbiasa menonton televisi jadi tidak punya referensi tontonan untuk dinikmati. Beberapa kali terdengar helaan napasnya.

"Kamu kenapa, sih Na. Dari tadi gonta ganti saluran nggak jelas," tegur Kakaknya yang duduk di samping Indana. Ibunya sudah tertidur sejak tadi karena masih dalam tahap pemulihan.

"Eh, maaf," Indana terkejut, "Mas di sini sejak kapan?" seolah baru menyadari kehadiran kakaknya.

"Kamu tuh kebiasaan banget ngelamun sekarang," omel kakaknya sembari mengambil remote dari tangan Indana.

"Nggak ngelamun, kok," bantah Indana membela diri.

"Cuman lagi mikirin sesuatu. Sama aja, kali Na," sahut kakak lelakinya tersebut.

Indana tidak membantah lagi, kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa yang ia duduki.

"Mas, gimana caranya kita tahu perasaan kita nyata terhadap seseorang?" Indana meluncurkan sebuah pertanyaan yang membuat kakaknya menoleh.

"Masih tentang Elang?" tanya kakak Indana yang dijawab dengan anggukan.

"Saat aku merindukan dia ketika tidak bertemu, merasa ada yang hilang dan selalu kepikiran ingin tahu kabar dia. Sesimpel itu, sih, Na," ujar kakaknya, "soal rasa nggak usah kebanyakan mikir berat. Jalani dan nikmati aja perasaan yang ada. Kamu akan tahu dengan sendirinya, kok, apakah kamu suka atau hanya sekadar simpati," pungkasnya.

Indana hanya terdiam menatap layar televisi yang sekarang sedang menayangkan berita malam. Apa yang kakaknya ucapkan sama seperti yang Indana rasakan saat ini. Bahkan tanpa sadar setiap saat Indana selalu mengecek notifikasi di ponselnya, melihat apakah ada pesan dari Elang.

Sejujurnya Indana bukan tidak menyadari perasaannya. Namun, setelah menjaga jarak ia makin jelas melihat perasaannya sendiri. Selama ini ia terlalu overthinking, dikuasai oleh kekhawatiran yang tak perlu.

Indana tersenyum menyadari apa yang dirasakannya kini. Ia tidak sabar untuk segera menghubungi Elang besok. Semoga saja ia belum terlambat.
***

Terima kasih yaa sudah membaca dan mengikuti kisah Indana dan Elang sampai di sini. Bakalan ada yang lebih seru lagi dari seseorang di masa lalu Elang. Sebenarnya gimana sih Elang di masa lalu?

Kisah mereka bisa dibaca di Karyakarsa, sudah tamat sampai bab 50.
https://karyakarsa.com/fitrianelestari/patah-bab-31

Terima kasih semuanya 🥰

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang