Bab 16. Gaduh

260 19 0
                                    

Bab 16. Gaduh

"Tumben baru pulang, Na?" sapa Hesti sesampainya Indana di dalam rumah. Indana agak kaget karena belum jam sembilan malam, tapi ibunya sudah ada di rumah.

"Iya, Bu. Tadi bareng Sasti nyoba baju yang dipake buat nikahannya nanti. Ibu tumben sudah di rumah?" Indana mencium tangan ibunya lalu duduk di sampingnya.

"Iya. Sesekali di rumah lebih awal. Kamu sudah makan?" tanya Hesti.

"Belum sih, tapi masih kenyang. Sudah makan roti bakar, Bu. Tadi mampir ke Kafe sama Sasti dan Mas Haris juga." Indana berterus terang pada Hesti.

"Termasuk sama cowok yang barusan nganterin juga?" goda Hesti yang membuat Indana kaget ternyata Ibunya melihatnya.

"Oh, itu Dokter Elang yang ngurus Muezza kemarin, kebetulan dia temenya Mas Haris. Dia juga Om dari salah satu siswa Indana, Bu. Aku ikut bareng dia karena Sasti dan Mas Haris mau ngurus sesuatu ke WO. Jadi Indana nebeng Dokter Elang," jelas Indana secara rinci pada Hesti. Ia tidak mau ibunya salah paham.

"Ibu kira itu cowok baru kamu, Na. Menurut kamu dia ada peluang nggak jadi kandidat calon suami kamu?" Hesti memang berharap Indana bisa segera menemukan calon suami pengganti Raka.

"Aku belum mikir ke arah sana, Bu," jawab Indana yang mulai tahu ke mana arah pembicaraan ibunya.

"Lho, kenapa? Umur kamu sudah lebih dari cukup untuk memikirkan hal itu. Apa kamu ...."

"Kita sudah pernah membahasnya, Bu. Aku tidak mau mengulang apa yang sudah aku jelaskan ke Ibu," potong Indana.

"Ibu hanya ingin kamu segera mendapatkan pasangan yang baik, Na. Ibu ingin melihat kamu bahagia." Hesti mencoba membujuk Indana.

Indana tahu dan paham apa yang jadi harapan ibunya. Masalahnya, ia masih belum siap untuk membuka hati. Setiap orang yang hatinya pernah patah bahkan menjadi kepingan, akan selalu butuh waktu. Begitu juga Indana masih butuh menyatukan kepingan hatinya yang terserak.

Bukan Indana tidak ingin menikah, keinginan itu tetap ada, tapi tidak mau terburu-buru. Belajar juga dari pengalaman sebelumnya, Indana tidak mau gegabah asal ada yang mau serius main oke saja. Banyak yang jadi faktor pertimbangan baginya untuk memilih calon pasangan.

"Indana tahu yang ibu khawatirkan, tapi percayalah, Indana tidak bakal aneh-aneh. Kalau sudah waktunya pasti Indana akan sampaikan pada Ibu. Intuk saat ini biarkan Indana menjalani hari dengan tenang." Indana menoleh pada ibunya dengan raut wajah memohon.

Hesti hanya diam menatap Indana pasrah.

"Aku masuk kamar dulu ya, Bu. Mau istirahat," lanjut Indana seraya beranjak dari duduknya meninggalkan Hesti yang masih tertegun.

Sebenarnya Indana masih ingin ngobrol santai dengan ibunya. Jarang-jarang ibunya ada di rumah sebelum jam sembilan malam. Namun, ia tidak mau membahas perihal urusan laki-laki untuk saat ini. Meskipun laki-laki itu dokter Elang sekalipun.

Indana meletakkan tasnya di meja, kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Ia mencoba memutar kembali tentang pertemuannya dengan Elang tadi.

Sejauh yang ia pahami, Elang orang yang baik, peduli dan penuh tanggung jawab, terlihat dari caranya menjaga Arasha. Dan yang pasti Elang juga sayang pada keluarganya, terbukti ia mau kembali ke kampung halaman dan membuka klinik demi dapat menjaga ibunya. Namun, Indana tidak mau berharap apa pun selama hatinya sendiri belum siap menerima lelaki mana pun.

Indana tidak habis pikir kenapa menikah seolah adalah perlombaan, siapa yang lebih cepat dia yang akan menang. Kenapa pula perempuan harus memiliki tanggal kadaluwarsa, usia 30 tahun sudah dianggap perawan tua. Bukankah jodoh sudah diatur oleh Tuhan? Lantas mengapa manusia yang hanya seorang sahaya ikut campur menentukan takdirnya.

Sebenarnya Indana masih punya peer untuk terus memperbaiki diri karena ia ingin mendapatkan lelaki yang juga baik.
"Perempuan yang baik untuk lelaki yang baik pula." Begitu menurut petuah bijak.

Masihkah ada lelaki yang pantas untuk dijadikan pendamping hidup? Masih adakah lelaki yang pantas untuk mendapatkan cinta dan kesetiaannya? Pertanyaan itulah yang kerap berkecamuk di dalam kepalanya.

Indana hanya menghela napas. Ia bangkit dari posisi tidurnya dan keluar kamar. Indana hendak mengambil minum di dapur saat sayu ia mendengar percakapan di ruang tengah. Satu suara ibunya dan satu lagi suara seseorang. Ia seperti tidak asing dengan suara tersebut.

"Mas Dimas? Kapan datang kok tumben malam-malam gini. Mbak Dini mana?" Indana menyalami kakaknya sembari tengak tengok mencari istri kakaknya.

"Halo, Na. Apa kabar? Udah dapet pacar baru belum?" Dimas memeluk adiknya.

"Alhamdulillah. Kabar baik, Mas. Mas sendiri gimana sehat?" Indana kembali bertanya tentang kakak iparnya.

"Duduk dulu sini, Na." sela Hesti.

Indana menurut dan mendekat duduk di samping ibunya. Dimas duduk di seberang kursi mereka.

"Untuk sementara, Aku akan tinggal di sini lagi, Na. Mas lagi proses cerai," ucap Dimas yang membuat Indana terkejut.

Pernikahan kakaknya baru menginjak satu tahun dan belum juga dikaruniai anak. Setahu Indana hubungan mereka sangat manis dan romantis jauh sebelum mereka menikah. Ternyata hubungan lama tidak menjamin pernikahannya akan langgeng juga.

"Kenapa Mas? Apa masalahnya udah nggak bisa diatasi lagi selain cerai?" Indana merasa prihatin atas apa yang menimpa kakaknya itu.

Dimas menggeleng, wajahnya tampak muram.

"Bukan Mas yang minta cerai, tapi Mas juga nggak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan Dini," ungkap Dimas yang terlihat putus asa.

"Sebagai orang tua tentu Ibu merasa sedih, tapi kembali lagi ini keputusan kalian. Ibu sudah tidak bisa ikut campur lagi. Ibu hanya bisa berpesan, jika memang masih bisa diperbaiki cobalah, tapi jika tidak bisa tidak perlu dipaksakan. Sebab melanjutkan pernikahan karena terpaksa itu hanya akan semakin membebani langkah kalian."

Indana menatap lekat ibunya. Di matanya seolah ibunya sedang mencurahkan perasaannya sendiri.

"Apakah itu juga yang ibu rasakan? Terpaksa melanjutkan pernikahan dengan Ayah?" tanya Indana yang membuat Hesti terkejut. Namun, Hesti berusaha mengendalikan diri.

"Ibu kadang lupa kalau kamu sekarang sudah dewasa, sudah bisa menilai sendiri. Ibu tahu kamu mungkin masih kecewa pada pada kesalahan Ibu dulu. Tapi, Na, ada banyak pertimbangan bagi orang tua memutuskan untuk berpisah. Dan untuk saat ini Ibu dan Ayah masih bersepakat untuk tetap menjalani pernikahan kami, meski itu sulit. Semoga suatu saat nanti kamu mengerti."

"Kenapa harus bertahan? Buat apa tetep bersama jika tidak ada lagi kasih sayang. Ini bukan hanya tentang ibu dan ayah saja, tapi juga aku. Bayangkan rasanya jadi aku saat melihat orang tuaku hidup serumah tapi seperti orang asing? Apa yang harus aku contoh dari pernikahan semacam itu?" Indana menatap nanar ibunya kemudian beranjak kembali ke kamarnya.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang