Bab 8. Gaduh

350 23 0
                                    

Bab 8. Gaduh

Elang hanya bisa memandang punggung Indana dari dalam mobil saat perempuan itu melewati mobilnya. Sekilas tadi ia melihat Indana turun dari mobil, tapi Elang tidak bisa melihat apakah laki-laki atau perempuan yang mengantarnya. Dalam hati Elang bertanya-tanya, jika memang ada yang mengantarnya kenapa perempuan itu selalu naik bus?
Elang mengangkat bahu lalu menginjak gas melajukan mobilnya. Sempat ia melihat Indana tersenyum saat Arasha menyapanya. Senyum yang manis.

Baru kali ini Elang melihatnya tersenyum. Sudah beberapa kali Elang bertemu dengannya, tapi tak pernah punya kesempatan untuk bertegur sapa. Ia berharap ada cara untuk bisa bertemu langsung melalui Arasha.

Sepertinya apa yang diharapkan Elang akan segera terjadi.

***

Indana sedang merekap hasil konsultasi beberapa siswa kelas 12 saat tiba-tiba pintu ruangannya diketuk. Tanpa basa-basi, salah satu siswi kelas 11 menerobos masuk.

"Bu Guru, ada siswi yang berkelahi di samping gudang alat olahraga," ucap siswi tersebut, napasnya terengah-engah sehabis berlari.

Indana segera beranjak dari duduknya dan meninggalkan berkasnya untuk sementara.

"Sudah ada yang melapor ke Satpam?" tanya Indana seraya mengambil ponselnya.

"Belum, Bu. Tadi saya langsung ke sini."

Indana langsung menelepon Satpam untuk menyingkat waktu. Agar Pak Satpam segera datang ke lokasi karena ruang penyimpanan ada di pojok belakang gedung sekolah, dekat dengan lapangan olahraga.

Indana bergegas mengikuti langkah siswi  yang melaporkan tadi. Setibanya di tempat kejadian, Indana masih sempat melihat mereka sedang saling jambak.

"Berhenti!" Suara tegas Indana mengagetkan kedua siswi yang sedang berkelahi tersebut.

Indana menghampiri mereka dan melepaskan tangan mereka yang masih saling menjambak. Masing-masing dari mereka membenahi rambutnya yang berantakan. Baju mereka juga sudah kusut.

Sekejap Indana terkejut karena salah satu dari siswi yang bertengkar itu adalah Arasha. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya di benak Indana bahwa Arasha akan terlibat perkelahian.

Selama ini, Arasha dikenal sebagai anak yang pendiam, tidak banyak tingkah, sopan dan selalu bersikap baik. Dalam hal pelajaran, nilai sekolah Arasha juga tidak buruk meski juga tidak terlalu menonjol. Pasti ada alasan kuat atau sesuatu yang tidak bisa diterima oleh Arasha sampai ia berani berkelahi.

Begitu juga dengan Cindy yang menjadi lawan berkelahi Arasha, setahu Indana, secara asministrasi Cindy belum pernah terlibat masalah. Memang Indana pernah dengar kasak-kusuk dari para siswa kalau Cindy kadang merundung temannya. Tapi, selama tidak ada bukti dan saksi yang melapor, Indana tidak bisa bertindak. Tidak mungkin ia menindak hanya berdasarkan gosip semata.

"Kalian ikut saya ke ruang BK sekarang juga, kita bicara di sana."

Sebagai guru, selain harus bisa bertindak tegas dan adil, Indana juga tetap harus menjaga harga diri mereka. Berbicara langsung di tempat hanya akan menjadi tontonan banyak orang. Kurang bijak dan tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi siswa dan siswi yang lain. Alih-alih mendapat keterangan justru sebaliknya mereka bisa saja malah bungkam.

"Pak Joko, tolong bubarkan murid yang lain untuk kembali ke kelas mereka," ucap Indana pada pak satpam yang sudah datang di lokasi. Kemudian Pak Joko segera menertibkan siswa siswi yang banyak datang ke tempat kejadian untuk menonton.

"Ada yang bisa jelaskan ke Ibu, apa yang terjadi?" tanya Indana tegas, memandang Arasha dan Cindy bergantian setelah mereka sampai di ruang BK.

"Itu, Bu, Arasha duluan yang jambak rambut saya." Cindy yang lebih dulu angkat bicara, sambil menunjuk Arasha.

Arasha memandang tajam ke arah Cindy dengan penuh emosi.

"Benar begitu Arasha?" tanya Indana pada gadis berambut lurus sebahu itu.

"Benar, Bu."

Indana salut sekaligus kecewa atas pengakuan Arasha. Salut karena dengan tegas dan tanpa rasa takut Arasha mengakui perbuatannya. Namun, Indana juga kecewa atas perbuatan Arasha. Hanya saja Indana masih mencoba berpikir positif dengan tidak langsung menyalahkan Arasha.

"Boleh Ibu tahu alasannya?" tanya Indana, memandang lurus pada Arasha.

Bukannya menjawab, Arasha hanya diam menunduk.

"Sudahlah, Bu. Toh, sudah jelas dia yang salah dan sudah mengakuinya. Saya mau Arasha meminta maaf pada saya secara tertulis," sergah Cindy yang membuat Arasha menatap marah padanya.

Indana merasa ada yang janggal dan ada sesuatu yang masih mereka sembunyikan.

"Cindy, saya belum minta pendapat kamu. Lagipula Arasha belum memberikan penjelasan apa pun. Jadi, tindakan apa yang harus diambil biar itu wewenang saya," jelas Indana pada Cindy yang bersikap sok kuasa hanya karena ayahnya salah satu donatur tetap di sekolah mereka.

Cindy terlihat tidak suka dengan penjelasan Indana. Wajahnya cemberut seperti anak kecil yang merajuk tidak dipenuhi permintaannya.

"Saya belum bisa ambil tindakan sekarang selama belum tahu duduk permasalahannya. Terlepas dari itu, kalian berdua tetap salah sudah berkelahi di lingkungan sekolah. Kalian sudah menimbulkan kegaduhan dan ketidaknyamanan bagi murid yang lain." Indana memandang Cindy dan Arasha bergantian, mereka berdua sama-sama menunduk.

"Apa kalian sadar kalau kalian salah?"

"Saya hanya membalas dan mebela diri saja, Bu. Sudah saya bilang kalau Arasha yang duluan," jawab Cindy masih tidak terima dianggap bersalah.

"Oke, Cindy. Katakanlah memang Arasha yang bersalah menjambak rambut kamu lebih dulu, tapi bukan berarti lanjut berkelahi seperti tadi. Ibu tidak sedang membela siapa pun." Indana paham Cindy bisa saja salah persepsi dan menganggapnya tidak adil.

"Untuk sementara ini, kamu boleh kembali ke kelas lebih dulu," ucap Indana pada Cindy.

Wajah Cindy berubah seketika menjadi lega. "Baik, Bu." Ia pun beranjak dari duduknya dan ke luar dari ruang BK meninggalkan Arasha dan Indana.

Sepeninggalan Cindy dari ruang BK Indana memandang Arasha yang masih bergeming.

"Cindy sudah pergi, bisa tolong jelaskan pada Ibu apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Indana dengan lembut, ia ingin memposisikan dirinya sebagai teman bicara.

"Bukannya Ibu sudah dengar sendiri dari Cindy dan saya juga mengakui kalau saya yang menjambak dia lebih dulu?" ujar Arasha, bersikap skeptis terhadap Indana.

Sebagai orang dewasa, Indana maklum dengan sikap Arasha. Umumnya anak remaja mudah curiga pada orang dewasa di sekitarnya, terutama pada gurunya. Mereka mudah merasa dihakimi jika berhadapan dengan orang dewasa.

"Tapi saya yakin kalian menyembunyikan sesuatu, terutama kamu Arasha," cecar Indana.

"Ibu, sok tahu. Kalau pun saya ceritakan, pasti Ibu juga akan tetap menyalahkan dan menganggap saya lebay."

"Kamu juga sok tahu, dengan berpikiran kalau saya akan tetap menyalahkan kamu." Indana membalik perkataan Arasha.

"Justru karena Ibu yakin kamu punya alasan kuat, makanya bertanya agar Ibu tahu kebenarannya dan bisa bersikap adil. Meski tetap, ya, berkelahi tidak dibenarkan, terlebih di lingkungan sekolah," lanjut Indana lagi.

Arasha tampak termenung dan berpikir, menimbang untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun, masih ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk menceritakan yang sebenarnya. Ia tidak mau makin banyak orang tahu perihal siapa sebenarnya dirinya.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang