CALL - 32 | THE LONGER WE IGNORE IT

3.1K 364 57
                                    


"Aku kangen banget sama masakan kamu, Bu. Rasanya di sana aku selalu kelaparan karena enggak ada yang cocok di lidahku selain masakan buatan kamu."

Manusia suka bersandiwara. Entah itu pada diri sendiri maupun pada orang lain. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu, sandiwara menjadi kemampuan yang paling diminati—misalnya, bersandiwara terhadap sesuatu yang ada menjadi tidak ada.

Tidak terkecuali dengan Jan Lakis. Tentu saja, pria itu malah sangat menggemari bersandiwara. Hampir seluruh hidupnya ia harus bersandiwara pada dirinya sendiri—juga terutama pada papanya, menjadi anjing peliharaan yang bersandiwara begitu penurut.

Begitu juga ketika ia harus bersandiwara di depan kamera. Jan Lakis tidak pernah membenci dunia entertainment yang menaungi dirinya untuk bisa bersandiwara secara bebas, meski dunia itu pula yang membuat ruang pribadinya menjadi semakin menyempit. Contohnya, ancaman rumor yang akan menyebar tiga minggu lalu.

Ancaman yang semakin memperkeruh isi kepala Jan Lakis hingga detik ini.

Namun, sekali lagi, kemampuan sandiwara Jan Lakis memang patut diacungi jempol. Ketika ia kembali dari Lombok dan menemui istrinya, senyum itu tidak pernah luntur untuk berhenti mengembang dengan baik. Seperti sebelum ini mereka memang baik-baik saja, seolah mereka tidak pernah tidak baik-baik saja. Mahir sekali Jan Lakis menutupi isi kepalanya yang kian hari kian berkecamuk dengan dugaan-dugaan tak berdasar.

Tentu saja Jan Lakis memiliki alasan mengapa ia tidak menyuarakan dugaan-dugaan itu meski ia sudah bertemu dengan istrinya—sosok yang menjadi alasan mengapa dugaan-dugaan itu muncul. Hanya satu, yaitu ia tidak ingin menuduh tanpa alasan jelas seperti yang sudah pernah ia lakukan pada Samira.

Jan Lakis tidak ingin mengulangi kesalahannya. Itu bagus, tetapi dia tak sadar bahwa apa yang menumpuk di sebuah keranjang penuh suaktu-waktu akan memecahkan keranjang itu sendiri.

Dalam rangkulannya yang ramah, Samira tidak bereaksi apapun terhadap ucapan suaminya barusan. Terlalu aneh untuk disambut sama hangatnya ketika ia telah menyadari memang sejak tiga minggu lalu, mereka sedang tidak baik-baik saja. Samira menanggapinya dengan diam, hanya tersenyum membalasnya.

Anehnya, Jan Lakis justru semakin bawel. Dia mengabaikan hal itu, bersikap ramah seperti sebelum-sebelumnya. Dia menciptakan keadaan aman dan baik yang palsu. Namun, Samira adalah seorang wanita. Dia dapat menangkap situasi dengan jauh lebih sensitif dibandingkan Jan Lakis.

"Papa tega banget sama aku, Bu. Disuruh extend tiga minggu di Lombok rasanya menyiksa. Enggak bisa dekat kamu, nggak bisa ngobrol langsung karena tiap hari pekerjaan ada aja terus." Raut wajah Jan Lakis terlihat murung. Kali ini ia tampak jujur. Ucapannya pun tidak terdengar seperti manuskrip film.

Pria itu menjatuhkan diri duduk di sofa ruang tengah. Dia lantas menarik lembut tangan Samira untuk duduk di sisinya. Matanya mengedar pandangan pada seisi kondominium yang sudah ditinggalkannya selama tiga minggu. Rasanya lama sekali ia pergi.

Tata letak semakin rapi, bersih dan harum ruangan yang selalu Jan Lakis rindukan. Terlihat sekali Samira—yang tidak suka pekerjaan bersih-bersih rumah diambil alih orang lain—selalu membersihkannya dengan rutin. Sementara itu, di sampingnya, Samira masih dalam raut wajah yang sama. Kerutan tanda kebingungan yang tidak mampu wanita itu tutupi.

"Mas," panggil Samira pelan. Dia menunduk, menyentuh kecil tangan suaminya dengan jari telunjuk.

Jan Lakis menoleh, dia lantas mengembangkan lagi senyumnya. "Kenapa, Bu?" tanyanya lembut.

Senyuman itu membuatnya tergugu, kembali terbelenggu dengan ragu yang pintarnya membuat Samira urung untuk bersuara.

Membalas senyuman, Samira menggeleng kepala dan berkata, "Enggak ... gak ada apa-apa. Rasanya ... aku ... rindu sama kamu, Mas," cicit Samira pelan di akhir kalimatnya. Tangannya mulai mengelus telapak tangan kasar suaminya.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang