007

146 17 1
                                    

"sabina?"

sang pemilik nama menoleh kaget ke asal suara di belakangnya, "lino?"

"kenapa lo gak pulang ke rumah?"

sabina merengut, "kenapa lo bisa tau kalo gue ada disini?"

mata lino mengerjap gugup, "lo pernah bilang.. lo biasanya suka ngelamun di taman ini kalo lagi mumet atau banyak pikiran."

sabina membuang wajah, mencoba mengingat kapan ia pernah memberi tau lino tentang hal ini.

"lo lagi mikirin apa?" tanya lino lembut.

lino melembutkan nada bicaranya seperti mengerti keadaan sabina yang sekarang terlihat lemah dan kosong, tidak seperti biasanya.

sabina memandang lino sesaat lalu kembali melempar pandangannya ke arah lain, enggan menjawab pertanyaan dari lino.

"gue boleh ikut duduk?"

kali ini sabina menjawab dengan anggukan pelan. lino pun mengambil tempat kosong di sebelah sabina, menyisakan sedikit jarak agar sabina merasa nyaman.

"gapapa kalo lo gak mau cerita, tapi biarin gue temenin lo disini ya."

keduanya pun terduduk dalam diam seraya mengamati apapun yang ada di hadapan mereka. kendaraan yang lalu lalang, lampu-lampu taman, bunga-bunga, para penjual kaki lima yang lewat.

sampai 10 menit berlalu..

"gue lagi kangen sama ibu," akhirnya sabina buka suara.

lino langsung menaruh seluruh atensinya pada sabina, memandangnya sayu.

"dunia rasanya udah gak sama," lanjut sabina, suaranya sedikit bergetar.

hati lino rasanya ikut sakit setelah mendengar apa yang baru saja sabina ungkapkan. ia belum pernah melihat sabina serapuh ini sebelumnya. sabina yang selama ini ia kenal sifatnya keras, berpendirian, ceplas ceplos, sangat jenaka seperti dirinya. ternyata di balik itu semua sabina menyembunyikan sisi lemahnya. lino mengerti kalau sekarang yang sabina butuhkan hanyalah untuk didengarkan.

"besok hari ulang tahun ibu. aku udah mulai belajar baking loh, bu, biar bisa bikin kue ulang tahun sendiri buat ibu," ucap sabina sembari tersenyum pahit, dengan air mata yang perlahan memenuhi kedua pelupuk matanya.

"bina kangen, bu.."

akhirnya air mata sabina pun mulai tumpah. sebenarnya sabina tidak ingin menangis apalagi di hadapan lino, ia tidak mau terlihat lemah. tapi kali ini sudah tidak bisa sabina tahan, ia pun menangis tanpa suara.

melihat air mata sabina yang terus mengalir membuat insting melindungi lino muncul. tanpa meminta izin dari sabina, perlahan tangan lino merangkul tubuh mungil sabina, menghapus jarak di antara mereka berdua, membawa sabina ke dalam dekapannya. sabina pun tidak memberi penolakan, karena jujur yang paling ia butuhkan saat ini adalah sebuah pelukan.

lino menempatkan dagunya di pucuk kepala sabina yang tangisannya semakin menjadi. tangan kanannya mengalung di bahu sabina, sedangkan tangan kirinya mengusap-usap kepala sabina lembut, berharap bisa memberi sedikit ketenangan.

nyaman. itulah yang sabina rasakan sekarang.

momen ini berlangsung cukup lama sampai akhirnya sabina berhenti menangis.

"no," panggil sabina seraya menengadah ke wajah lino.

"hm?" sahut lino yang ikut menunduk untuk menatap sabina.

sekarang jarak wajah mereka berdua hanya sekitar 10 cm, jarak yang sangat dekat yang sukses membuat jantung keduanya berdegup lebih kencang. karena takut lino bisa merasakan denyut jantungnya yang sekarang sudah tidak karuan, pelan-pelan sabina melepaskan dirinya dari pelukan lino.

seusai keduanya kembali ke posisi duduk mereka yang semula, lino menilik wajah sabina lekat, "kok bisa sih?"

"kok bisa apa?" tanya sabina sambil mengusap kedua pipinya yang basah karena air mata.

"kok bisa lo masih secantik ini meskipun udah nangis kayak tadi?"

sabina refleks mencubit keras lengan lino yang cukup kekar.

"aw!"

"mau gue cubit lagi?"

"asal lo gak sedih lagi."

sabina kembali terdiam.

"lo gak perlu nyembunyiin sisi vulnerable lo lagi dari gue, bi. lo boleh jadi diri sendiri selama lo lagi sama gue," ucap lino lalu tersenyum manis.

jawaban lino membuat sabina terenyuh. ia seperti baru saja menemukan sesuatu yang ia cari selama ini, rasa aman dan nyaman, dua hal yang sama yang hilang darinya setelah ibunya pergi untuk selamanya.

sabina malah menunduk malu, "thanks ya, no."





***

kapan nikah? ; leeknow sinbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang