011

100 14 3
                                    

"mau jajan apalagi?" tanya lino kepada sabina yang terlihat masih memandangi jajaran pedagang kaki lima di seberang jalan.

"apa ya.." sabina menggembungkan sebelah pipinya sambil berpikir.

"emang masih laper?"

"nggak sih, laper mata doang."

"yaudah, ayo cari kursi kosong."

sabina menengok heran, "tapi kan jam makan siang udah abis, no?"

lino sekilas melirik jam di tangan kirinya, "ngaret dikit mah gapapa kali, bi, kita hirup udara seger taman dulu sebentar."

"yaudah deh."

setelah menemukan kursi taman yang kosong, lino duduk terlebih dahulu lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya sembari menatap sabina. tapi sabina malah diam, terlihat tidak fokus.

"bi? sini duduk," ucap lino kembali menepuk tempat kosong di sebelahnya, "atau mau dipangku?"

"hah?" lamunan sabina pun pecah, ia akhirnya ikut duduk di sebelah lino.

"ngelamunin apa sih?"

"rahasia. tapi gak ada yang bilang gue pengen dipangku ya, lino, gue denger."

lino hanya terkekeh dengan netranya yang masih terpaku pada sabina.

"bulan depan gak ada tanggal merah ya, no?"

"emang iya?" timpal lino seraya meraih kepala sabina, bermaksud merapikan rambut di puncak kepalanya yang tertiup angin.

sabina mengangguk, "sampe akhir tahun tanggal merahnya kebanyakan di hari sabtu sama minggu, payah."

"ya gapapa lah, bi."

"gapapa apanya? capek, lino, gue pengen libur. sabtu minggu kan gue gak libur, masih ada freelance. lo juga ada kan? emang lo gak capek, no?"

"ya capek sih, bi.." lino mulai agak setuju dengan pernyataan sabina, "si raka sama mika punya kerjaan sampingan?"

"si raka ada sih, dia kalo weekend jadi fotografer WO. kalo si mika kayaknya belom, tapi kemaren-kemaren sempet ngomong sama gue dia pengen nyoba jualan bento, dia kan suka masak," jelas sabina.

lino mengangguk tanda mengerti.

"gue gak maksa mereka buat kerja juga sih, mereka fokus kuliah doang juga gapapa sebenernya."

"terus kenapa masih ambil freelance, bi?"

"awalnya sih cuma iseng karena hobi, gue kan suka nulis. tapi ternyata kerjaan gue banyak yang suka, kepake sama klien-klien gue, yaudah. lagian uangnya lumayan juga."

meskipun sebenarnya keadaan hidup marselino dengan sabina bisa dibilang mirip, tapi lino tetap kagum pada sabina. karena sabina itu perempuan. lino pikir tidak semua perempuan bisa semandiri sabina.

"gak ada libur tapi seenggaknya kan kita jadi bisa ketemu terus, bi."

sabina menoleh cepat, "dih? bosen gak sih?"

"emangnya kamu bosen?" tanya lino balik.

sabina mengangkat sebelah alisnya, "emang gak boleh kalo bosen?"

"kalo nanti pas kita udah nikah sih gak boleh, bi," jawab lino datar, tapi sukses membuat bulu kuduk sabina merinding.

"balik kantor sekarang gak sih, no?"

lino kembali melirik jam di tangan kirinya, ternyata sudah lewat 15 menit dari jam masuk.

"bentar lagi ya, bi.." rengek lino.

sabina ikut melirik jam di layar ponselnya, "udah lewat 15 menit, lino, gue masih banyak kerjaan."

sabina segera beranjak dari tempat duduknya kemudian merapikan pakaiannya, sedangkan lino malah kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi taman.

sabina menatap tajam lino yang terlihat tidak punya niat untuk kembali ke kantor, ia hanya bisa menghela nafas panjang.

"ntar kalo udah nikah aku harus ngomel-ngomel kayak gini terus setiap hari?"

kalimat terakhir yang diucapkan oleh sabina langsung berhasil membuat lino beranjak dari kursi taman.

"nggak dong, sayang, yuk balik ke kantor."

sabina menatap lino tidak percaya. tapi lino tidak mengacuhkannya dan malah meraih tangan kanan sabina, menyatukan jari-jari mereka berdua lalu menariknya perlahan, memulai perjalanan mereka untuk kembali ke kantor.



***

kapan nikah? ; leeknow sinbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang