chapter 11

35 8 2
                                    

Melirik jam yang menunjukkan pukul 4 sore. Meraih jaketnya yang tergantung di almari, Jimin pun beranjak untuk menuju ke suatu tempat. 

Jimin tak menyerah begitu saja. Ia kembali mendatangi tempat Lisa bekerja. Namun kali ini Jimin hanya memandangnya dari dalam mobil yang ia parkir di seberang jalan. Di dalam kafe itu, ia melihat Lisa yang sedang mengelap jendela kaca yang besar. Senyuman manis tak pernah luntur dari wajahnya yang ayu. Ia berjalan kesana-kemari untuk mengganti air yang kotor, sambil sesekali menyeka keringatnya. Dengan luwes ia melakukan pekerjaannya. Sesekali Lisa nampak bercanda dengan Jihyo yang sedang membersihkan kaca bagian dalamnya.

Semakin sering Jimin melihat Lisa yang tertawa bahagia, semakin ia merasa sakit pada dadanya. Ia mengira kalau ini hanyalah hal biasa yang terjadi karena penyesalannya pada gadis itu. Yang ia tak tahu, rasa sakit ini berasal dari kecemburuannya. Melihat Lisa bahagia, sama saja menggoreskan pisau pada nadinya. Bagaimana bisa gadis itu berbahagia sedangkan saat ini Jimin sedang berduka? Secara tidak langsung, Lisa sudah berhasil membalas Jimin lewat rasa sakit yang perlahan-lahan.

"Ji gue berangkat dulu!"

Jimin melihat Lisa yang sedang menaiki sebuah sepeda setelah menata pesanan dari pelanggan pada kotak yang bertengger di boncengannya. Dengan santai, Lisa mulai mengayuh sepeda mini itu. Menyusuri jalanan yang sepi, ia masuk ke dalam area perumahan. Berhenti di beberapa alamat yang sudah ia kantongi. Sampai sejauh ini, Jimin masih membuntuti gadis itu. Melihat surainya yang berkibar membuat senyum di wajah Jimin merekah. Gadis itu sangat manis ketika ia menyapa seorang pelanggan setelah menyerahkan pesanananya. Atau ketika Lisa sedang meminum sebotol air sambil menahan sepedanya. Meskipun ia memakai masker, Jimin tahu dari kedua matanya nya menyipit dengan tulus.

Dilihat dari sisi manapun, tak banyak yang berubah dari gadis itu. Dia tetaplah Lalisa yang ia kenali dulu. Perbedaan hanya terletak pada rambutnya yang dulu berwarna coklat panjang, kini menjadi hitam pekat, pendek sebahu dan diikat ke belakang.

Hingga akhirnya Lisa telah kembali ke kafe. Mengumpulkan segenap keberanian, akhirnya Jimin turun dari mobil dan berjalan ke arah sana. Ketika berada di depan pintu, Jimin sedikit ragu. Langkah kakinya langsung terhenti ketika mendengar suara Lisa yang sedang bercanda ria dengan rekan kerjanya itu. Ia menggigit bibir bawahnya. Haruskah ia masuk dan memohon pada gadis itu untuk mau bertemu dengan ibunya, atau ia berbalik dan pergi dengan wajah konyol? Jimin tidak bisa memilih di antara keduanya, karena belum sempat ia berpikir pintu sudah terbuka.

"O-oh... Lo?"

Jihyo terbengong di ambang pintu sambil kedua tangannya menenteng sebuah kantung sampah. Jimin yang terlanjur tertangkap basah pun mau tak mau berlaku seadanya saja. Ia tersenyum canggung kepadanya.

"Eung... Lisa nya ada?" ucapnya dengan suara yang begitu parau karena tenggorokannya yang tiba-tiba mengering parah.

"A-ada sih? Mau apa emang?" Jihyo nampak tidak senang. Pertemuan pertama mereka tempo hari masih menyisakan emosi pribadi untuknya.

"Belum cukup lo udah sakitin Lisa dulu? Masih berani nunjukin muka setelah kejadian waktu itu hah? "

"B-bukan gitu, gue cuma mau bicara sama dia. Ngg-nggak ada niat buat nyakitin Lisa lagi kok?"

"Harus banget gitu gue percaya? Dih! Nggak! Udah sana pergi! Lisa nya sibuk! Huss huss!" Jihyo mengibas kedua tangannya seakan sedang mengusir seekor anak ayam.

"Hey, tolonglah! Gue serius mau bicara penting sama Lisa. "

"Gue bilang enggak ya enggak. Udah sana pergi! Mau gue panggilin keamanan?"

"Please, ayolah... Setidaknya kasih gue kesempatan. "

"Enggak! Ngapain sih?!"

"Ji ada apa ribut-ri... Lo ngapain di sini?! "

Nobody Knows You're a JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang