Bias Cahaya

189 29 7
                                    

Jaehan duduk termenung di ruang tengah unit apartemen nya. Ini sudah tengah malam, lampu seluruh ruangan sudah dimatikan menyisakan lampu dapur yang masih menyala. Kopi yang tadi masih panas kini sudah tidak mengepulkan uapnya lagi.

Pandangannya kosong ke depan.


"Jaehan-ah.. Kau.."
"Tidak jual diri kan?"

Eomma nya yang mendengar ucapan asal dari Jaein hampir saja melayangkan tamparannya, mungkin jika tangan Jaehan tidak cekatan, pipi milik Nuna nya itu kini sudah memerah karena tertampar.

"Eomma.." Jaehan menggelengkan kepalanya, ia menoleh kearah Jaein dan mencoba memberikan penjelasan pada Kakak keduanya. "Nuna, bahkan setidakmampunya aku dalam menghidupi diriku sendiri, aku tidak pernah berpikir untuk menjual diri."

Mata Jaehan sempat bergetar sebelum melanjutkan ucapannya, "Namun jika Nuna berpikir seperti itu, maka teruslah berpikir seperti itu."

Ia berdiri dan meninggalkan keluarganya di depan ruangan rawat Appa nya, tanpa berpamitan terlebih dahulu. Meninggalkan Eomma dan kedua Nuna nya dalam keheningan.





Menghela napas, tangan Jaehan mengusak kepalanya. Ia sungguh tidak bermaksud berkata sarkas seperti itu tadi, tapi dia pun juga merasa sakit hati atas ucapan Nuna nya yang sama sekali tidak berdasar itu.

Deruan napasnya memberat, kemudian matanya terasa panas dan berkaca-kaca.

Jaehan mengangkat kakinya, meringkuk diatas sofa dengan menyembunyikan kepalanya diantara lipatan tangannya.

Hampir mengeluarkan isakannya, namun tertahan ketika merasakan elusan lembut di kepalanya. Ia menemukan Yechan tengah berdiri dihadapannya dan mengusak rambutnya. "Menangislah, kalau itu membuatmu lebih tenang."

Seutas senyum dari sosok yang bahkan bukan siapa-siapa nya ini, menggetarkan hati Jaehan. Tanpa disadari Jaehan membuka lengannya, memberikan isyarat jika ia perlu pelukan untuk saat ini.

Dengan senang hati, Yechan menerima pelukan itu, bahkan tanpa sungkan duduk disampingnya dan mengelus-elus punggung ringkih milik Jaehan.

Jaehan pun tidak menghiraukan rasa malu yang ia miliki, ia hanya ingin membagi emosi nya saat ini. Jaehan menelusup kan kepalanya di perpotongan leher milik Yechan. Membaui aroma yang menimbulkan rasa nyaman didalam relung hatinya itu, meski ia yakin air matanya ini membasahi dapat bahu Yechan.

Yechan tidak membuka suara sama sekali, hanya saja tangannya tak berhenti membuat gerakan mengelus dan sesekali menepuk halus punggung Jaehan. Terkadang membawa wajahnya ke rambut halus milik Jaehan, hanya untuk membaui aroma shampo yang masih tertinggal di helaian halus itu.

Keduanya sama sekali tidak ada yang tertidur, yang satu hanya diam di ceruk leher Yechan, dan yang satunya memandang jauh kearah langit dimana bulan sedang bersinar terang sekali.

Waktu semakin berlalu, bahkan sinar matahari mulai sedikit membias.

"Kenapa Yechan-ssi begitu baik padaku?" Suara Jaehan memecahkan lamunan Yechan yang memandang kedepan. Jaehan mendongak mencoba melihat Yechan, posisinya yang masih memeluk sosok yang lebih tua daripada dirinya itu, membuat nya dapat merasakan debaman jantung dari Yechan.

Yechan yang merasa diperhatikan itu, menundukkan sedikit kepalanya. Matanya berfokus pada mata sayu milik Jaehan yang masih basah.

Bagaikan terhipnotis oleh pandangan polos Jaehan, mengundang Yechan untuk masuk lebih dalam kepada manusia ini. Kepalanya ia bawa menunduk hingga kedua bilah labium yang berbeda bentuk itu bertemu.

Hanya menempel, namun dapat memacu kerja jantung mereka semakin cepat. Karena terkejut, Jaehan memilih untuk memejamkan matanya, namun tidak juga menghindar.

Dua menit dengan posisi bibir saling menempel, Yechan memilih melepaskan tautan itu, namun tidak juga menjauhkan wajahnya. "Maaf." Bisiknya pelan sekali, hembusan napasnya bahkan dapat dirasakan oleh Jaehan.

Perlahan Jaehan membuka matanya, dan menemukan Yechan dihadapannya. Wajah pria bergigi gingsul itu memerah, namun ia tidak bisa memalingkan wajah dari orang dihadapan nya ini.

"Maaf jika aku memiliki perasaan padamu, Jaehan-ssi." Bisik Yechan sekali lagi, tangannya ia naikkan untuk menyibak helaian rambut halus milik Jaehan.

Yechan menyelipkan helaian rambut yang menghalangi mata indah itu, untuk dibawa ke belakang telinga. "Jaehan-ssi, kau pernah bilang jika kau ingin melihat pelangi setelah badai, bukan?"

Perlahan Yechan menjauhkan badannya, tanpa melepas pelukannya. "Bagaimana jika aku menemanimu?"

















Kedua orang yang sedang berpelukan itu tertidur lelap, jam sudah menunjukkan pukul 10.00, dan sinar matahari sudah meninggi. Namun, kedua orang itu masih betah berkelana didalam mimpi mereka.

Sosok yang lebih tinggi bangun terlebih dahulu, ketika ia membuka mata, ia menemukan rambut hitam pekat berada dihadapannya.

Elusan lembut ia berikan pada helaian itu, sesekali mengecup ujung kepala milik orang tersebut. Menghasilkan erangan dari sosok yang lebih mungil.

"Selamat pagi." Sapa Yechan pada sosok itu.

Jaehan yang masih memproses semuanya masih nampak linglung. Sebelum akhirnya ia segera melepaskan pelukannya dan berlari keluar kamar untuk menuju kamar mandi. "Astaga, Hati-hati.." Ujar Yechan yang terkejut akan pergerakan Jaehan.

Sekilas Yechan dapat melihat jika wajah pemuda bergigi gingsul tadi memerah, pasti sedang malu.


***











IRIS IS BACK
Hehehehe.. it's been a long time, right?
Terlalu fokus dengan RFM hingga hayuka melupakan book satu ini ☹️
Jadi kita mulai sedikit dulu ya, ☹️

Enjoy your reading 💞

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang