Chapter 8 Keinginan

293 37 3
                                    

"Berapa tabunganmu, Nia?"

Pertanyaan mendadak Lana cukup membuat Rania mengerutkan kening.

"Apa?" Ulangnya seolah ragu.

"Tolong, aku butuh uang," sahut Lana. "Akan aku ganti secepatnya."

Rania melipat tangan, "kamu masih anggap aku sahabatmu?"

"Jangan mulai lagi, Nia." Lana mencengkeram keningnya.

"Aku tanya baik-baik."

Lana menghela nafas. "Lebih dari apapun, kamu sahabatku, juga keluargaku."

"Apa arti keluarga kalau setiap ada masalah nggak pernah mau bicara apapun." Rania mulai kesal. "Tiba-tiba butuh uang, untuk apa?"

"Aku mau pindah, ke luar kota."

Rania tertawa. "Benar dugaanku. Kamu bertemu dengan bapaknya Mawar? Jadi di sini dia sekarang. Si bangs*t itu?"

Wajah Lana pias, dia mendekap tubuh seolah aliran darahnya membeku.

"Pekerjaanmu?"

"Aku akan resign besok."

"Pergi saja sendiri, tinggalkan Mawar bersamaku."

"Nia."

"Lari dan jangan bawa-bawa Mawar, dia sudah kuanggap anakku. Aku nggak mau psikisnya terganggu karena punya ibu yang labil."

"Jahat kata-katamu." Lana terperangah.

"Memang."

"Mama, Tante Nia." Suara pelan tampak membuyarkan obrolan mereka. Mawar menatap bingung. "Mama sama tante bertengkar?"

"Mawar." Lana tercekat. Mawar ternyata sudah pulang bermain dari rumah tetangga mereka. Rania buru-buru mendekati Mawar. "Kita jalan-jalan dulu beli eskrim."

Mawar mengangguk setuju. "Tapi mama?"

"Nggak apa Mawar. Mama nggak bertengkar, cuma capek karena urusan kantor."

Sepeninggal Rania dan Mawar, Lana buru-buru mengecek harga tiket penerbangan ke Gorontalo. Tidak apa-apa dia lari selamanya, asalkan pria itu tidak melihat Mawar. Di manapun Lana bisa bertahan, asalkan dia tidak perlu melihat lelaki itu.

***

"Ma, bagaimana cara memenangkan hati wanita?" Pertanyaan Lazuardi saat sarapan membuat ibunya nyaris tersedak.

"Lazu." Dia tertawa.

Wajah Lazuardi memerah, ternyata dia cukup malu saat ini. Syukurlah, ayahnya dan Gio sudah berangkat sejah dini hari.

"Maksudnya bukan untuk pacar, Ma. Cuma rekan sekerja."

"Rekan sekerja? Mama kira untuk tunangan kamu," ledek beliau.

"Tunangan apa? Merinding aku dengar istilah mama." Lazuardi menyelesaikan sarapannya, dia jelas sudah tidak berselera. Senin yang tidak dia nantikan. Heran, dia jelas berharap Lana hengkang dari kantornya. Dia masih kesal dan marah terhadap perempuan itu. Tapi kenapa sekarang berubah? Benarkah hati manusia secepat itu berubah? Lana terlihat rapuh saat itu dan instingnya sebagai lelaki seolah memandu untuk melindunginya.

"Hayo!" Ibunya tertawa. "Udah jangan melamun, mama kasih tips."

Untunglah ibunya peka dan segera memahami, godaan sekecil apapun akan membuat Lazuardi berhenti bicara.

"Kalau teman kerja, berarti nggak adalagi  kesan pertama." Ibunya tampak berpikir.

"Kesan pertama kami hancur, Ma. Sekarang kami sering bertengkar dan dia mau resign," keluh Lazuardi.

Pendar (Masa Lalu Berselimut Jelaga)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang