Chapter 3 Amarah

357 58 2
                                    

Lana memasuki ruangan manajer, wajahnya memerah dan tegang karena dilanda amarah. Lupakan kesopanan saat ini, karena rasanya, dia tidak perlu sopan di hadapan lelaki itu. Lana tidak akan keberatan kalau seandainya atasan barunya adalah orang yang benar-benar berdedikasi di bidang ini, atau rekan kerjanya yang lain.

Tapi lihatlah, siapa pria ini? Dia bahkan tidak benar menyebut salah satu produk perusahaan mereka. Lana tertawa saat itu, dia mengejek sia-sia Lazuardi berkuliah S2 di luar negeri saat menyebut produk saja dia salah.

"Ada apa Ibu Lana?"

Pria itu sekarang memanggilnya dengan embel-embel ibu, satu hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Sehari setelah Lazuardi menginjakkan kaki di perusahaannya dan diperkenalkan sebagai pengganti Rika, para perempuan di kantor bergosip. Lazuardi memang sosok yang sangat sempurna, secara fisik mungkin. Tetapi sikap dan kepribadiannya, tidak ada bagus-bagusnya.

"Kenapa bapak menarik saya dari proyek Coffee Morning?" Lana menelan ludah.

Ide proyek ini adalah miliknya dan dia sudah berusaha keras agar pengajuan proposal event coffee morning diterima oleh kantor pusat dengan dana yang lumayan besar. Sekarang bisa-bisanya dia dikeluarkan dari tim.

Lazuardi tersenyum simpul, Lana tidak tahu apa yang dipikirkan oleh pria itu. Yang pasti saat ini, emosinya berada di ubun-ubun. Lazuardi malah menyesap kopinya, seolah ingin mengejek Lana kalau dia bisa melakukan apapun di hadapan wanita itu tanpa peduli apa yang Lana rasakan.

Wangi kopinya terasa menyenangkan, Lana belum sempat minum kopi pagi ini karena terburu-buru, sekolah Mawar akan mengunjungi kebun buah naga. Lana harus mempersiapkannya sejak pagi sekali.

"Memangnya kenapa kalau aku menarikmu dari proyek ini? Aku lihat pekerjaanmu sudah cukup banyak, Lana." Lazuardi akhirnya berkata.

"Apa bapak tahu kalau proyek ini diinisiasi oleh saya?"

"Setahuku biasanya orang pintar lebih rendah diri untuk nggak mengungkapkan hasil kerjanya sebagai hasil dari personal tapi merupakan kerja tim," ejek Lazuardi.

"Bapak membalas saya?" tanya Lana. Memang salahnya, manusia mana yang rela ditentang oleh manusia lain, terutama saat berada di posisi yang lebih tinggi, apalagi dia seorang laki-laki.

"Sekarang kamu tahu, sebenarnya aku nggak mencoba untuk membalasmu. Aku hanya ingin melihat sejauh apa tim tanpa ada dirimu, Lana. Aku dengar kamu banyak memberikan kontribusi, namun aku belum percaya kalau nggak melihatnya sendiri."

Lana mendengus sinis, "jadi kenapa bapak mendepak saya dari proyek ini?"

"Aku rasa kabar mengenai dirimu itu terlalu berlebihan, jadi aku ingin membuktikannya proyek ini akan sukses, dengan atau tanpa dirimu."

Sepertinya sia-sia Lana datang ke ruangan Lazuardi, yang dia terima hanya kata-kata menyakitkan. Padahal, Lana membutuhkan pekerjaan dalam proyek ini bukan karena dia ingin selalu menjadi yang terbaik ataupun eksistinsi diri. Dia membutuhkannya untuk anaknya Mawar, setelah proyek selesai tim akan mendapatkan bonus yang lumayan.

Lana sebagai seorang tua tunggal tidak memikirkan apapun saat ini kecuali anaknya sendiri, bagaimana cara agar anaknya bisa hidup dengan sangat baik dan Lana tidak naif, dia membutuhkan uang untuk itu.

Baru saja Lana ingin membantah lagi kata-kata Lazuardi, sekretaris pria itu masuk ke dalam ruangan.

"Ibu Lana."

Lana menoleh, "ada apa?"

"Saya baru saja mendapatkan kabar kalau ada telepon ke ponsel Bu Lana, mereka bilang teleponnya berkali-kali sehingga rekan satu ruangan mengangkatnya sepertinya ada kabar penting," jelas sekretaris.

Pendar (Masa Lalu Berselimut Jelaga)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang