Aku dan Keluargaku

9 0 0
                                    

Hai, semua. Kenalin, namaku Nayla Almeera Nur Budiyanto, temen-temen biasa memanggilku Nayla atau Nay sebagai sapaan singkat. Aku lahir dan besar di Kota Solo, sebuah kota yang kaya akan budaya dan kearifan lokalnya. Warganya ramah, fasilitas umum tersedia 24 jam, wisatanya juga tidak diragukan kualitasnya, hingga menjadi favorit warga mancanegara. Aku tinggal di daerah Manahan, di sebuah rumah besar di sekitar Stadion Manahan. Yap, stadion besar yang kini sudah tampil molek dan cantik berkat sentuhan renovasi.

Ayahku bernama Budiyanto, usianya 50 tahun, berbadan besar, tinggi, berkulit kecoklatan, dan memiliki tiga kerutan di dahi. Ayah lahir dari kalangan keluarga yang sederhana di pedalaman Wonogiri. Meski begitu, Ayah mampu lulus S1 dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM. Ibuku bernama Nur Hasanah, usianya 45 tahun, berbadan kurus, tinggi, berkulit cerah dan halus, dan bermata bulat. Kalau tersenyum, senyum Bunda (panggilan akrabku) pasti bisa menyejukkan hati. Bunda sendiri bukan orang Solo Raya, melainkan orang Banyumas yang dahulu satu fakultas dengan Ayah. Berbeda dengan Ayah, Bunda berasal dari keluarga yang kaya. Bahkan dahulu, uang kuliah Ayah terkadang di-cover oleh Bunda.

Namaku diambil dari perpaduan nama ibuku dan ayahku, yaitu di bagian Nur Budiyanto. Nama Nayla sendiri diharapkan agar aku menjadi anak yang sukses di masa depan. Yah, begitulah orang tua. Pasti tidak mau memberikan nama anaknya dengan makna yang buruk. Nama Nayla sendiri juga tidak terlalu asing bagi anak-anak di usiaku yang ke-17 tahun karena aku lahir di bulan Desember 2006.

Oke, sekarang aku akan menceritakan latar belakang keluargaku. Alhamdulillah, aku sendiri lahir di kalangan orang berada. Di mana, segala sesuatu bisa tercukupi, bisa makan enak, dan bisa berwisata ke manapun yang aku mau. Yah, mungkin begitu kata orang-orang yang melihat kehidupanku secara sekilas. Aku tidak memiliki kakak atau adik karena aku adalah anak tunggal. Yah, anak-anak tetangga di sekitarku sampai bilang gini, "Eh, kamu itu enak banget, sih? Tinggal minta ini itu, anak tunggal pula." Hei, asal kamu tahu, ya, Dek!

Sayangnya, semua yang dilihat oleh orang-orang tidak seindah yang mereka kira. Meski aku lahir di kalangan atas, tetapi Ayah dan Bunda selalu berseteru. Entah pagi, siang, atau malam aku masih mendengar Ayah dan Bunda masih bertengkar di kamar sebelah. Aduh, berisik banget! Terkadang, aku sampai menangis terdiam di kamar meratapi nasib. Ya, nasib bahwa aku dilahirkan di tengah keluarga broken home. Suara tangis Ibu dan jeritan Ayah yang menggelegar sudah tak asing lagi di telingaku.

***

Aku merasa bingung. Aku sebenarnya ingin memberontak Ayah karena aku merasa diriku sudah dewasa, tetapi di sisi lain mereka adalah orang tuaku. Apalagi kalau tidak punya saudara, seakan bingung ingin melampiaskan perasaan ini ke mana. Biasanya, di saat mereka bertengkar, aku akan menuju ke kamar, menangis, dan bersedih.

Sebetulnya, tidak hanya itu yang kukeluhkan. Aku juga terlahir di tengah Ayah yang strict. Ayah selalu menuntut anaknya menjadi yang terbaik di antara yang paling baik. Kalian pasti berpikiran bahwa ini adalah sesuatu yang normal bukan? Memang, sih. Cuma, Ayah melakukan hal tersebut dengan hal yang kurang tepat. Ayah berpandangan bahwa anak yang terbaik adalah ketika anak bisa dan mampu berprestasi di bidang akademik.

Pernah suatu ketika aku mendapatkan ranking dua di kelas waktu SMP kelas 2. Ketika menerima rapor, Bunda tidak masalah tentang nilai anaknya. Bahkan Bunda sampai menenangkan hatiku karena menurut Bunda anak yang berprestasi cukup dengan menjaga nama baik dari tingkah lakuku sehari-hari. Ketika sampai di rumah, Ayah kaget dengan hasilnya dan seketika langsung merobek-robek kertas hasil raporku, memarahi Bunda karena kurang becus mendidik anak, dan mengurungku di kamar, tanpa makan dan minum selama satu hari. Kejam bukan?

Kini, yang kubutuhkan hanya kasih sayang dari orang tuaku. Urusan harta dan kekayaan itu urusan belakangan. Percuma saja kalau aku pandai, cerdas, berprestasi, dan lahir di kalangan orang berada, tetapi kehilangan kasih sayang dari orang tua. Aku terkadang malah iri dengan anak-anak yang hidupnya sederhana saja, tetapi mereka bahagia dan menikmati hidup dengan tenang.

NAYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang