Ah, Aku Sudah Capek!

6 0 0
                                    

Karena aku sudah bingung dan lelah dengan semua ini, aku merasa stress dan depresi. Aku pernah ingin berkonsultasi dengan psikiater. Husna pernah aku ajak ke RSJD Surakarta. Aku berani melakukan hal ini karena aku sebelumnya pernah memiliki kartu pasien RSJD Surakarta. Aku saat itu berkata, "Husna, aku capek banget sama kehidupanku yang sekarang." Husna tahu akan perasaan hatiku. Ia berusaha menggenggam tanganku, menguatkanku, hingga Husna memelukku karena ia tahu betapa sedihnya aku. "Nayla, kamu kuat dan kamu hebat! Kamu keren, lho, udah bertahan sejauh ini. Kamu perlu banyak bersyukur karena Allah sudah kasih kehidupan yang mapan buat kamu, fasilitas yang cukup, dan kamu juga udah banyak berprestasi untuk sekolah ini. Gak semua orang bisa kaya kamu, lho. Kamu tau nggak, kalau di luar sana banyak banget anak-anak yang pengen sekolah kaya kamu, les sana-sini sampai kamu lelah, punya prestasi banyak, yaa kamu harusnya bangga dong. Inget, kalau prestasi banyak itu bisa jadi kupon untuk SNBP."

Atas quotes bijak Husna, aku ternyata tak kuat menahan kesedihanku. Tangisku pecah dan sontak aku langsung mendekap di pelukan Husna. Setelah aku menenangkan diri, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatiku. "Husna, gimana kalo kamu nemenin aku ke psikiater atau ke RSJ gitu? Ya, cuma buat konsul aja," kataku. Husna menyetujuinya dengan mengangguk kecil. "Nah, itu juga boleh kok. Aku bakal siap temenin kamu," Husna menghentikan pembicaraannya sambil menelan air minum lalu berkata kembali, "kamu juga boleh kok ajak Evan. Biar Evan tahu kekurangan kamu. Dia juga bisa antisipasi kalau kamu misal baru mengalami masalah psikologi." Boleh juga, nih. "Aku ke XI 3 dulu, ya. Mau ketemu sama Evan," kataku pada Husna.

***

Setelah aku berkonsultasi pada Husna, aku langsung menuju ke kelas XI 3. Kucari Evan di situ. Dia tidak ada, entah ke mana. Kucarilah dia ke perpustakaan. Cukup capek, sih. Apalagi aku harus turun ke lantai 1, berbelok ke lapangan rumput, dan langsung bertemu dengan perpustakaan. Kucarinya dia di dalam. Tak ada juga.

Aku tidak habis piker, lalu terlintas di pikiranku kalau dia di kantin IPA. Aku naik lagi ke lantai 2. Aduh, hasilnya nihil. Evan tidak ada juga di kantin IPA. Karena capek, aku menelepon dia menggunakan iPhone XR-ku. Lama sekali memanggilnya. Kira-kira setelah 1 menit, Evan menjawab, "Hai, Sayang. Ada apa?" Aku agak sebel sambil menjawab, "Kamu ke mana aja??!!" Evan malah tertawa terbahak-bahak dan mengatakan kalau dia sedang menunggu COD Telolet Basuri di depan Smansa. Ya, dia emang agak aneh hobinya dibandingkan dengan teman laki-laki yang lain.

Oh, ya, aku izin cerita, ya. Evan sendiri adalah anak tunggal dari seorang pengusaha bus di daerah Jepara. Ia begitu suka bus sejak kecil. Saking sukanya, ia sempat bercita-cita menjadi pengusaha bus dan meneruskan usaha ayahnya itu. Namun entah mengapa, ketika SMA kelas 10 berubahlah cita-citanya menjadi seorang dokter. Akan tetapi, ternyata setelah kucari tahu, Evan ingin menjadi dokter untuk mendapatkan modal tambahan sebagai pengusaha bus.

Lalu buat apa dia COD corong dan modul telolet Basuri di Smansa? Aku yang penasaran langsung ke Pos Satpam. Kulihat Evan sedang duduk di kursi depan Pos Satpam. "Kamu ngapain COD-nan telolet Ya Allah?" kataku sambil mencubitnya. "Ya terserah aku lah. Wong ini kata ayahku aku dibeliin satu bus buat dikendarai besok pas kelas 12. So, ya aku nyicil beli Basurinya dulu," katanya. "Kamu buat apa beli alat kek gitu???!!! Boros uang tau!" kataku sebel. "Haha, ini mumpung ayah kasih aku duit 7 juta, nih. Ya manfaatin aja."

Setelah pembicaraan random itu akhirnya kuakhiri dengan pembicaraan serius. "Mmm, Evan," ucapku lirih, "kamu mau nemenin aku ke psikiater atau ke RSJ gak?" Evan heran dan sedikit bingung, "Hah, memang kenapa?" Aku sedikit ragu, tapi oke lah. Akhirnya, kuceritakan semuanya kepada Evan, mulai dari Ayahku yang sangat strict dan menyiksa anaknya hingga keluargaku yang berantakan. "Makanya, aku kadang ngerasa stress dan aku sampai bingung harus ngapain," kataku sambil bersedih di depannya. "Kalau gitu, yaa..." aku menghentikan pemicaraanku sejenak, "aku mati aja dengan bunuh diri." Evan syok dan kaget, "Hah? Bundir? Please lah jangan gitu. Hidupmu masih berharga lho buat orang-orang." Aku tahu, tapi aku sudah lelah dengan ini semua. Perlahan, tangisku pecah dan aku terjatuh di pundak Evan. "Udah, kamu gak usah menangis. Ada aku di sini. Besok kutemenin yah." Aku sedikit lega dan ternyata Evan akan ikut denganku.

NAYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang