Ujian Hidup (Chapter II)

1 0 0
                                    

Setelah dari masjid, aku kembali ke ruang isolasi untuk mengerjakan soal ujian. Di sana, tampak Ayah sudah menunggu di depan ruangan. "Nak, hari ini tetep semangat, ya! Ayah yakin kamu hanya dijebak temenmu kok. Jangan khawatir," kata Ayah menyemangatiku. Karena Ayah percaya kalau aku adalah anak yang baik, jujur, dan pandai dari hasil cucuran keringat sendiri.

Pengawas hari itu ternyata guru PAI-ku. Aduh, malu banget! Padahal dulu di kelas aku dikenal sebagai anak yang cerdas. Eh, sekarang malah masuk ruang isolasi. "Lho, Nayla kok ada di sini? Setahu saya kamu anak yang jujur, kok bisa tersesat di ruang ini?" kata guru PAI-ku. "Hehe, iya, Pak. Maaf kalau mengecewakan Bapak," kujawab dengan malu.

Sebetulnya aku tidak bersalah di sini. Aku mudah sekali terjebak dengan rayuan Dea saat itu untuk meletakkan papan lembar jawab di meja. Bodoh banget! But, mungkin Allah memberiku ujian hidup untuk kedua kalinya. Justru karena itulah tanda kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang berusaha kembali ke jalan kebaikan.

Setelah ujian selesai, aku keluar ruangan dan bertemu Pak Anung, guru olahraga sekaligus Waka Kesiswaan di tempatku. "Lho, Nayla, kok kamu di ruang isolasi kenapa?" tanya beliau. "Kemarin diminta sama Bu Rini ke situ, Pak. Saya dituding membawa contekan saat ujian. Padahal, yaa, aslinya tidak," kataku kepada Pak Anung. "Duh, gimana, ya. Mmm, kalo menurut saya, kamu lebih baik fokus sama ujianmu dulu. Saya percaya kok, kamu anak yang jujur. Ibarat wayang kulit, pasti ada skenario dan dalangnya di sini. Kamu udah cek CCTV?" tanya Pak Anung. "Sudah, Pak. Sayangnya, video di ruangan saya waktu kejadian hilang, Pak. Kurang tahu yang mencuri videonya siapa," balasku. "Ya sudah, kamu fokus ujianmu dulu. Setelah selesai ujian, kalau kamu ingin cari bantuan bilang ke saya, ya."

***

Seminggu telah berlalu. Tidak terasa, aku sudah selesai melakukan ujian di ruang horor tersebut. Kasihan Ayah. Setiap hari harus menemani anaknya di ruang isolasi karena terbukti (tertuduh) melakukan kecurangan. Namun, ternyata selama aku di ruang isolasi tersebut, aku merasa bahwa orang-orang masih percaya padaku. Mereka beranggapan kalau aku tidak mungkin melakukan kecurangan selama ujian.

Singkat cerita, pada saat penerimaan rapot. Ayahku datang ke sekolah. Suasana sangat ramai di kelasku. Di depan kelas, Husna, Haris, dan Farida sudah menungguku. Mereka saling bertukar cerita soal nilai mata pelajaran mereka. "Eh, nilaimu berapa, Far?" tanya Husna. "Oh, alhamdulillah, sih. Tadi habis kuhitung ada 93,45. Yang bikin minus itu nilai Bahasa Inggris wajib. Kata Bu Yuli, aku ranking 4 di kelas," kata Farida. "Kamu berapa, Ris?" tanya Husna. "Aku aman, sih. Dapet 94,01. Kata Bu Yuli, aku ranking 2. Kamu berapa, Husna?" Husna membalas, "Aku aman aman aja. Dapet 93,98. Yaa ranking 3 lah. Kalo kamu, Nay?" Aku membalas, "Oh, aku masih nanti. Habis ini paling."

Dan 5 menit kemudian, Ayah keluar dengan murung. Tidak marah marah seperti dulu. Aku tahu, aku pasti dapat nilai jelek karena efek tertuduh curang saat ujian. "Yang sabar, ya, Nak. Kamu cuma ranking 15. Rata-ratamu turun drastis. Kamu hanya dapat 78,31," kata Ayah. Aku kaget. Bingung harus sedih atau bagaimana. Aku yang biasanya menguasai di peringkat 1 kelas, kini harus duduk di peringkat 15.

"Gais," kataku, "aku bener-bener bingung harus gimana lagi. Mau daftar SNBP kayanya juga gak mampu. Lihat nilaiku, turun anjlok." Husna mengelus pundakku, "Tenang, Nayla. Kan kamu gak terbukti bersalah selama rekaman CCTV itu belum ditemukan. Kamu masih bisa memperbaiki nilai kamu kok. Setauku, kalo belum daftar SNBP, nilai di Dapodik masih bisa diedit atau diganti."

***

Aku pulang ke rumah dengan lemas. Bunda sudah menungguku di pintu rumah. "Sayang, nilai kamu gimana?" tanya Bunda. "Nice try, Bunda. Gak nyangka banget nilaiku anjlok jadi 78,31. Rankingku jadi cuma ranking 15 di kelas. Nay jadi capek banget mau mati aja," kataku. "Lho lho lho, Nay kesayangan Bunda kok kepikiran bundir lagi. Ayo dong, kamu udah dikasih kesempatan kedua buat hidup lho. Lebih semangat dong! Lagipula, kan kamu belum sepenuhnya bersalah. Selama rekaman CCTV itu belum ada di depanmu, yaa kamu masih punya kesempatan untuk bebas dari kasus ini," kata Bunda menyemangatiku. "Tapi, Bunda, SNBP ku nanti gimana? Udah terlanjur anjlok kaya gini. Padahal dulu semester 2 dapet 93,36. Eh, malah turun drastis sampai ke 78. Itu mah gak sekedar anjlok, terguling mah iya," kataku. "Sudah sudah, sekarang kamu istirahat dulu aja, Nay. Ayah percaya kok, usahamu udah keras selama ini," kata Ayah.

NAYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang